Pendidikan

Dosen UMY Takdir Ali Mukti Teliti Sengketa Politik Paradiplomasi Pemerintah Aceh

Jumat, 16 Agustus 2019 - 08:56 | 158.19k
Dosen Ilmu Hubungan Internasional UMY, Takdir Ali Mukti (kanan) bersama Rektor UMY Dr Gunawan Budiyanto usai sidang terbuka promosi doktor. (FOTO: Humas UMT/TIMES Indonesia)
Dosen Ilmu Hubungan Internasional UMY, Takdir Ali Mukti (kanan) bersama Rektor UMY Dr Gunawan Budiyanto usai sidang terbuka promosi doktor. (FOTO: Humas UMT/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Dosen Ilmu Hubungan Internasional UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta), Takdir Ali Mukti tertarik dengan kemunculan perlawanan diplomatik dengan perbedaan persepsi dan wacana persengketaan hukum yuridis. Persengketaan yang dimaksud adalah antara hukum nasional dan hukum produk regional  salah satunya kebijakan Wali Nangroe yang merupakan fenomena konflik politik paradiplomasi yang dilakukan antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Indonesia.

Isu diatas pun diangkat sebagai tema disertasinya berjudul Sengketa Politik Paradiplomasi Antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Republik Indonesia Dalam Pembentukan Lembaga Wali Nangroe. Sehingga, ia meraih gelar doktor UMY setelah melalui sidang terbuka promosi doktor Takdir Ali Mukti beberapa waktu lalu.

“Penelitian ini memfokuskan untuk mengeksplorasi konflik paradiplomasi yang terjadi antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Republik Indonesia untuk menemukan alasan-alasan mengapa Pemerintahan Aceh menetapkan dan mempertahankan keputusan politik paradiplomasinya yang bertentangan dengan Pemerintah Republik Indonesia,” kata Takdir Ali Mukti.

Takdir menambahkan, ada keberlanjutan ideologi politik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam pemerintah Aceh. Hal ini terjadi karena ideologi GAM menjadi preferensi politik Pemerintah Aceh dalam mempertahankan keputusan tentang Lembaga Wali Nangroe.

Adanya ideologi GAM atau tiroisme ini juga menjadikan para pemimpin pemerintahan Aceh merumuskan pilihan rasionalitas politiknya dengan mengutamakan penghormatan kepada marwah bangsa Aceh.

Langkah konkrit pemerintahan Aceh tersebut tercermin pada pembuatan peraturan daerah (qanun) tentang bendera dan lambang Aceh, serta simbol kepemimpinan tertinggi Aceh dengan pembentukan Lembaga Wali Nangroe (LWN) yang dipimpin oleh Wali Nangroe dengan kewenangan yang semaksimal mungkin menuju Negara Aceh Merdeka.

“Maka dalam penelitian ini, ditemukan bahwa preferensi politik ideologi GAM berpengaruh positif terhadap upaya mempertahankan keputusan politik paradiplomasi yang bertentangan dengan pemerintah pusat, sebagai cara mereka untuk merealisasikan poin-poin dalam MOU Helsinki sesuai dengan cita-cita perjuangan GAM,” papar Takdir lagi.

Kebaruan dalam penelitian ini tergambarkan pada rasionalitas politik khas pada Pemerintah Aceh yang dipengaruhi oleh preferensi ideologi GAM tahun 2013 yang berbeda dengan keumuman teoritik rasionalitas politik suatu pemerintahan.

“Secara teoritis, keumunan rasionalitas politik dalam suatu pemerintahan akan memiliki urutan dari paling prioritas, yaitu survival, security, prestige, dan influence. Namun dalam Pemerintah Aceh terjadi perubahan dan pergantian urutan rasionalitas politik yaitu prestige, security, welfare, justice, dan survival,” jelas Takdir Ali Mukti, dosen UMY ini. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki
Sumber : TIMES Yogyakarta

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES