Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Refleksi Makna Berkurban dalam Keterbatasan

Kamis, 15 Agustus 2019 - 10:49 | 49.59k
Hayat, Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Publik FIA Unisma.
Hayat, Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Publik FIA Unisma.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANGBERKURBAN banyak dimaknai harfiah oleh kebanyakan orang. Kurban hanya dilakukan disaat perayaan idul adha. Kurban sesungguhnya adalah melawab hawa nafsunya. hal itu bisa terjadi kapan saja bahkan setiap hari. Perayaan kurban idul adha ada pijakan utama bagi umat islam untuk menjalankan segala perintah dan menjahui segala larangannya. Berkurbanlah sesuai dengan kemampuannya.

Sama halnya haji. Haji adalah pelaksanaan ibadah yang memiliki banyak syarat dan rukun termasuk ongkos haji yang lumayan besar. Namun demikian bagi orang fakir hajinya adalah melaksanakan shalat jumat secara baik.

Pun demikian menghatamkan alquran. Rasulullah pernah menganjurkan setiap malam diusahakan untuk menghatamkan alquran. Membaca surat alfatehah, alikhlas, alfalaq dan annas masing-masing 3 kali adalah dikatagorikan menghafalkan alquran.

Analogi nyata di atas menjadi qiyasan bahwa ibadah sesungguhny tidak hanya dilihat secara dhohir tetapi makna sesungguhnya adalah fspat dilihat dari aspek bathiniyahnya.

Berkurban sejatinya dilakukan secara ikhlas bagi yang mampu melaksanakannya. Bagi yang belum dimampukan maka berkurbanlah secara ikhlas atas apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya sebagai khalifah fil ard dan sebagai kepala keluarga, sebagai kepala negara, sebagai kepala masyarakat dan lain sebagainya. Apapun status kita berkurbanlah, khususnya berkurban untuk kemaslahatan dan kebaikan semua orang

Melihat paradigma kurban yang dinamis tentunya menjadi refleksi bersama bahwa berkurban menjalankan perintah Allah dengan segala daya upaya di tengah keterbatasan adalah mendapatkan pahala yang besar.

bisa dibayangkan seseorang yang akan menjalankan shalat jumat tetapi memiliki keterbatasan fisik yang lemah dengan tidak bisa sujud dan tahiyyat. tapi dengan daya upaya yang dimiliki serta motivasi untuk menghambakan diri pada sang ilahi mengalahkan kondisi fisik yang sudah mulai renta dan melemah.

Sekuat tenaga menjalankan perintah shalat jumat yang memiliki pahala sama dengan ibadah haji, tentu layak disematkan kepada siapa saja yang berjuang dan berkurban untuk menjalankannya secara sempurna.

Maka merugilah bagi siapa saja dengan kondisi tubuh/fisik yang sehat, sempurna dan bebas bergerak tetapi mengabaikan kewajibannya sebagai hamba Allah. Akan menyesal kelak dengan memuaskan hawa nafsunya dan mengedepankan rasa malasnya untuk menuruti nafsu syaitan dengan tidak menjalankan shalat Jumat. Apalagi disengaja, apapun kondisinya tidak ada alasan yang mutlak untuk meninggalkannya, kecuali yang dibolehkan oleh syariat.

Percayalah dalam bingkai kewajiban bagi hamba atas perintah Allah adalah kebaikan bagi diri hamba itu sendiri, hari ini, yang akan datang dan kelak di yaumil akhir.

Seandainya Allah tautkan setiap pahala kebajikan dengan kewajiban atas hambanya, niscaya mereka akan berebut untuk menjalankannya. Allah itu Maha Agung, Maha Bijaksana, Maha Kaya dan maha segalanya. Ingatlah setiap kita akan dimintai perranggungjawabnnya kelak, termasuk pertabggungjawaban mengenai shalat Jumatnya.
Wallahualam bissawaf.***


*Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Publik FIA Unisma

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES