Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Kesantunan Berbahasa dalam Islam

Rabu, 24 Juli 2019 - 16:06 | 61.73k
Moh. Badrih Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNISMA. (Grafis: TIMES Indonesia)
Moh. Badrih Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNISMA. (Grafis: TIMES Indonesia)
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Islam hadir di dunia dengan visi "rahmatan lil 'alamiin". Tidak ada satupun makhluk hidup yang keluar dari redaksi ayat tersebut walaupun hewan terkecil seperti mikroba yang kasat mata. Namun perspektif kalangan tertentu, hadir dengan kekerasan termasuk peperangan. Islam seakan-akan identik dengan kekerasan dan paksaan. Demikian keraskah Islam kita. Penulis akan menguraikan dari sudut pandang bahasa tutur yang digunakan Nabi (Sang Pembawa Risalah).

Nabi menerima wahyu pertamanya langsung dari malaikat Jibril a.s. dengan cara dirangkul dan dibisikkan pada telinga kanannya (Ibnu Hajar al-Asqalani), Peristiwa ini menjadi gambaran simbolis bagi kita bahwa kasih sayang dan kesantunan tuturan telah digunakan sejak awal turunnya wahyu pertama (al-'Alaq 1-5). Demikian juga, saat Nabi Muhammad menyampaikan risalah kenabiannya pada istri tercintanya Syaiyidatuna Khodijatil Qubro, bahasa yang digunakannya sangatlah santun dan penuh dengan makna.

Kesantunan tutur dalam menyampaikan risalah kenabian terus dikanjutkan kepada keluarga inti, keluarga besarnya, sahabat, dan masyaratnya. Satu hal yang bisa kita petik hikmahnya dari cara bertutur Rasulullah ini ialah setiap ujarannya tak pernah keluar dari emosinya termasuk hawa nafsunya "laa yantiqu 'anil hawaa inhuwa illa wahyuyyuhal". 

Kebersihan hati dan jiwa nabi betul-betul sebagai akhlak al-Quran, sehingga cara berpikirnya, sikap, dan perilakunya sangatlah qur'ani. Strategi berdakwa nabi dengan tata bahasa yang santun dapat menjadi refleksi kita dalam meneruskan cita-citanya yakni dengan cara yang santun 'bil hikmah'.

Dalam penelitian Ubaidillah (2016) kesantunan berbahasa nabi dapat ditelusuri dari tiga manuskrip surat yang dikirim pada tiga raja, yaitu (1) Raja Habsi, (2) Raja Romawi, dan (3) Raja Persia. Dalam surat pertamanya, Nabi memulainya dengan identitas diri sebagai utusan Allah yang menciptakan alam semesta, memuji kebesaran-Nya, ilustrasi sejarah ketauhidan Nabi Adam dan Nabi Isa, kemudian Nabi mengajaknya dengan permohonan "terimalah ajakanku" (faqbuluu nushshi).

Surat kedua untuk Heraklius (Kaesar Romawi). Dalam surat tersebut, nabi mengutip surat Ali Imron:64. Ajakan dan harapan untuk memeluk Islam dalam surat ini disampaikan secara eksplisit tetapi tetap santun. Kutipan surat Ali Imron dalam surat tersebut terutama pada bagian awal “Ya ahlal kitabi ta’alau ilal kalimatin sawa’ ...” (Wahai ahlul kitab marilah berpegang teguh pada kalimat yang sama). 

Penggunaan kata ‘ahlul kitab’ pada kalimat tersebut merupakan kalimat tidak langsung bahkan dicitrakan positif yakni hamba yang taat. Penggunaan kalimat imperatif tersebut sebagai bentuk eufemisme dari Heraklius/Kaisar Romawi. Sungguh mulia hati Nabi dalam menyebut sosok Kaisar Romawi meskipun berbeda keyakinan.

Surat ketiga untuk Raja Persia. Pada pembukaan surat kepada Raja Persia Nabi menyebutnya dengan sebutan ‘Pembesar Persia’ “Kisrii ‘Adhim”.

Bagian berikutnya, Nabi menulis kalimat ‘syahadatain’ dengan harapan dan ajakan untuk mengikutinya dan meyakini risalah kenabian yang telah dibawanya. 

Bentuk kesantunan dengan pilihan kata, struktur, dan gaya bahasa yang digunakan oleh Nabi menjadi satu bukti bahwa Islam adalah agama perdamaian dan ‘rahmatan lil ‘alaamin’. (*)

*) Penulis: Moh. Badrih, Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unisma.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES