Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Kesadaran Sosial Lebih Esensial Dari Hijrah di Media Sosial

Rabu, 24 Juli 2019 - 12:05 | 79.84k
Muhammad Afnani Alifian, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Malang. (Grafis: TIMES Indonesia)
Muhammad Afnani Alifian, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Malang. (Grafis: TIMES Indonesia)
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANGBELAKANGAN ini banyak yang berlomba-lomba memamerkan diri tengah berhijrah. Mengunggah postingan lewat sosial media dengan pakaian serba islami seakan terlihat benar benar telah beralih menjadi manusia alim seutuhnya. Sudah relevankah hijrhanya? Mari kita tilik sejenak dengan kepala dingin dan tanpa unsur nge-gas.

Dosen Institut Perguruan Tinggi Ilmu Quran (PTIQ) Jakarta, Dr Nur Rofiah, Bil. Uzm saat diwawancarai oleh detik.com menjelaskan hijrah adalah berpindah dari keadaan yang semula buruk menjadi keadaan yang baik, dari kondisi yang sudah baik menjadi kondisi yang lebih baik. 

Sementara itu, dalam KBBI Daring hijrah perubahan (sikap, tingkah laku, dan sebagainya) ke arah yang lebih baik. Jadi hijrah itu merupakan proses untuk memperbaiki diri, dan bukan hanya pada tampilan gimmick di media sosial, tetapi konstan secara kesuluruhan. Oke, jika penjelasan itu masih kurang kuat, saya tambahkan pula petikan ayat suci Al-Qur’an. 

Al-Qur’an surah An-Najm ayat 42 menjelaskan tentang hijrah, begini artinya ““Janganlah kau berpindah dari alam ke alam karena kau akan seperti keledai pengilingan, di mana tujuan yang sedang ditempuhnya adalah titik mula ia berjalan. Tetapi berpindahlah dari alam kepada Penciptanya. Allah berfirman, ‘Hanya kepada Tuhanmu titik akhir tujuan”. 

Dari petikan ayat tersebut dapat dipahami hijrah bukan hanya soal perpindahan dari segi fisik, geografis, perilaku, yang tampak mata. Hijrah yang dijelaskan dalam surah tersebut merupakan bentuk perbaikan dalam segala prosesi yang berhubungan dengan Tuhan.

Saya memang bukan seorang ahli Tafsir, tapi tidak salah kiranya jika fenomena hijrah yang terus merongrong media sosial disikapi dengan biasa saja bijak. Apalagi hijrah menyangkut hubungan seorang manusia (hamba) dengan Tuhannya, bukan hubungan horizontal manusia dengan manusia. Tidak layak tentunya ketika sesuatu yang berbau prosesi ibadah, harus ditampakkan pada khalayak umum.

Relevan dengan itu, tulisan Akhmad mahasiswa PBSI semester VI pada laman opini timesindonesia menegaskan setiap zaman akan selalu mendatangkan problematika tanpa disadari mau tidak mau manusia tidak bisa menolaknya, karena perkembangan perubahan bukan hanya ada pada infarastruktur. Kalimat provokatif yang coba mengajak khalayak pembaca untuk turut berubah searah zaman, namun sebelum melakukan perubahan ada suatu yang lebih esensial.

Meski di satu sisi, gerakan hijrah memang sesuatu yang cukup baik, mengingat krisis moral sudah banyak merusak sendi peradaban Indonesia. Menjangkit hingga anak-anak, bahkan merusak adat istiadat dan norma masyarakat. Hal itu penulis simpulkan sebagai pengaruh kuat arus modernisme yang diserap tanpa filterisasi dahulu.

Akhi-Ukhti hijrah memang baik, tetapi lebih penting dari itu, lebih penting daripada hijrah dengan hanya menampakkan pada media sosial yaitu kesadaran sosial. Hijrah kepentingan individu dengan jangkauan individu, sementara kesadaran sosial adalah kewajiban, yang harus dipenuhi sebagai seorang manusia yang telah didedahkan sebagai makhluk sosial. Hijrah itu kewajiban nomor sekian, setelah lingkungan yang ditempati seseorang benar benar sejahtera sepenuhnya –itu hanya pendapat pribadi.  

Paulo Freire menyatakan bahwa sebuah kesadaran sosial muncul karena seseorang harus memiliki intelegensi sosial. Intelegensi ini tidak hanya sebatas kepekaan, rasa simpatik dan empatik terhadap situasi masyarakat yang sedang mengalami penindasan baik fisik maupun psikis, tetapi sebuah bentuk kesepahaman seseorang akan realitas sosial sehingga dirinya paham apa yang seharusnya dilakukan dalam menyikapi realitas tersebut. Meskipun hal itu harus melawan sturuktur atau sistem yang telah ada di dalam masyarkat itu sendiri. Intelegensi sosial nyata dalam kesadaran seseorang akan realitas sosial yang terjadi pada zamannya.

Bandingkan dengan realitas sekarang, boro boro seseorang melawan struktur demi menciptakan keadilan sosial. Untuk sadar saja sulit, sadar diri, sadar peran, juga sadar pada eksistensinya di dalam kehidupan bermasyarakat. Terkadang juga sering ditemui seorang akademisi ujug ujug datang menceramahi masyarakat –bukan kesadaran sosial seperti yang saya maksud. Melaikan sebuah kepedulian terhadapan hal hal janggal dalam masyarakat.

Misalnya, sebuah kampung tengah krisis literasi dan dari kampung itu ada akademisi yang paham. Mirisnya si akademisi justru sibuk mengekspose dirinya yang hijrah lewat media sosial, itu dholim namanya. Seharusnya si akademisi memperbaiki iklim yang ada, bukan malah mementingkan kesalehan individunya. 

Saya kemudian terngingan dengan petuah yang mengatakan kesalahan sesama manusia itu bisa ditebus dengan keikhalasan manusia yang dipersalah. Apalagi menyangkut kehidupan masyarakat, begitu besar kesalahan seseorang yang lebih tahu dan menyibukkan dirinya pada kesalehan pribadinya. 

Selayaknya, seseorang yang hendak berhijrah tidak lalu menutup mata dan hanya mementingkan kesalehan individu. Realitanya kesejahteraan sosial masyarakat Indonesia masih berada pada ambang, artinya belum sejahtera secara menyeluruh. Dapat dibuktikan dengan banyaknya ketimpangan sosial saat ini. Meski diakui peran pemerintah sudah cukup mampu mengatasi kesejangan, tetapi peran serta masyarakat secara umum juga begitu diperlukan. 

Menurut pandangan penulis seseorang yang hijrah hanya meyangkut pribadi saja berarti ada egoistis besar dalam dirinya. Kurang tepat rasanya hanya mementingkan kesalehan individu tanpa memikirkan kepentingan esensial di lingkungannya. (*)

*) Penulis: Muhammad Afnani Alifian, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Malang, anggota redaksi Lembaga Pers Mahasiswa Fenomena Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. 

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES