Kopi TIMES

Mentalitas Menghadapi Industri 4.0

Minggu, 21 Juli 2019 - 06:33 | 292.96k
Akhmad, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, (PBSI) Semester VI, Lembaga Pers Mahasiswa Fenomena, FKIP-Unisma. (Grafis: TIMES Indonesia)
Akhmad, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, (PBSI) Semester VI, Lembaga Pers Mahasiswa Fenomena, FKIP-Unisma. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANG – SETIAP perkembangan akan selalu menghadirkan sebuah pandangan. Menentukan bahwa setiap zaman akan selalu mendatangkan problematika tanpa disadari mau tidak mau manusia tidak bisa menolaknya, karena perkembangan perubahan bukan hanya ada pada infarastruktur.

Namun perubahan itu akan berpokok pada manusia, sebab dan akibat itu manusia yang menciptakan dalam kehidupan di bumi, karena kelebihan manusia sudah diberikan oleh Sang Kuasa untuk bisa membawa dunia lebih baik.

Ambil contoh pada Albert Alva Edison pencetus ilmu listrik pertama yang bisa manusia menikmati malam dengan cahaya lampu, yang dihasilkan dari alam dan ilmu itu tercipta karena manusia diberikan kelebihan maka perubahan akan selalu mengacu pada manusia yang menjadi pelopor.

Banyak di antara manusia yang tidak mampu menghadapi perkembangan  zaman, apalagi sekarang telah masuk pada indutri ke 4.0 yang disetiap interaksi manusia tidak akan lepas dengan tenaga mesin, sehingga manusia yang hidup pada masa sekarang tidak akan lepas dari perkembangan modernisasi yang menggunakan mesin.

Pada Tahun 1999  ada lagu yang berbunyi, “Tahun 2000 tahun harapan setiap manusia, setiap manusia akan hidup bersama dengan mesin, makan dan minum menggunakan mesin”, itulah cuplikan lagu yang menjadi kenyataan pada sekarang.

Namun setiap keuntungan dan kenyamanan manusia tidak lepas dari dampak positif dan negativnya. Setiap zaman akan memiliki cara yang sesuai dengan penyelesaiannya. Maka persiapan apa yang diberikan dalam kalangan akademisi dalam menghadapi tantangan ini, apakah akan menjadi pengkut atau akan berperan di dalamnya, atau bisa menjadi actor dalam menghadapi indutri.

Mahasiswa sebagai agen perubahan dalam sebuah negara, mampu membuka pikirannya dalam menghadapi industri 4.0, peran apa yang menjadi hal paling sentral mahasiswa mampu mempersembahkan pada masyrakat mengenai pendangan dalam mengahadapi indutri di mana setiap interaksi manusia akan diikuti oleh teknologi. Cara apa yang efektif dengan mengadakan sosialisasi mengenai serta edukasi indutri 4.0.

Diamnya mahasiswa dalam perkembangan akan menjadi memperkeruh keadaan masyarakat. Karena masyarakat akan lebih menyoroti dan harapan masyrakat untuk bisa menjadi pioneer dalam segala hal.

Karena setiap generasi muda yan belajar di perguruan tinggi dianggap sebagai tungku yang menjadi fungsi api dalam membuat masaknya nasi yang ada di atasnya. Peran mahasiswa terus aktif dalam menyuarakan mengenai industri 4.0 untuk bisa memberikan serta memberikan kiat-kiat bagaimana non-akademisi bisa bersaing di era di mana teknologi menjadi-menjadi dikehidupan manusia hari ini, manusia hari ini akan selalu menadi tawaran sendiri mengenai segala hal di dunia kedua mereka (berupa teknologi).

Mahasiswa bisa mengasah dirinya menguatkan mentalnya, dalam menghadapi perkembangan indutri ini. Bagi mahasiswa yang berada di fakultas ekonomi, bagaimana bisa dirinya mempersiapkan dirinya dari apa yang terjadi dari perkembangan ekonoomi secara lokal dan nasional bahkan bisa memberikan solusi dengan pandangan seorang Adam Smit bagaimana seorang ekonomi bisa selalu memberikan sebuah keuntungan yang tidak melanggar dari apa yang ada dalam asas-asas perekonomian.

Mental mahasiswa seharusnya bisa membuka sebuah cara bagaimana mempersiapkan dirinya serta masyaraakat bisa mengambil cara-cara yang dilakukan. Sebab mental yang harus dibangun dalam mengadapi industri 4.0 ini, bukan hanya mental keberanian dalam melakukan atau bertindak namun tindakan yang harus dilakukan itu mental mengenai teknologinya.

Bisa saja setiap mahasiswa mengaitkan setiap jurusan dengan memfungsikan teknologi dengan baik dan benar. Sebab keberanian tanpa sebuah ahli atau spesialis ilmu yang ditekuni tidak akan mungkin bisa dikuasai, semua bisa dilakukan melihat permasalahan yang ada di dalamnya. Sehingga mampu dipecahkan dengan sebuah cara tersebut. Ketika terjadi revolusi industri 4.0 maka persiapkan mental dan otak kita dalam menghadapi krisis manusia digunakan dalam dunia kerja.

Berdasarkan analisa Mc Kinsey Global Institut, industri 4.0 memberikan dampak yang sangat besar dan luas, terutama pada sektor lapangan kerja. Di mana robot dan mesin akan menghilangkan banyak lapangan kerja di dunia.

Siapkah Masyarakat Indonesia yang Non-Akademik Mengahadapi Industri 4.0?

Industri 4.0 mau tidak mau  kita tidak dapat menolaknya. Masyarakat akan menjadi peran apa akan hanya menjadi penerima saran dari atasan, bahwa yang kejam akan dirasa aman sedangkan persoalan dijadikan sebuah  kewajaran, ketidak pahaman mengenai teknoologi menjadikan alasan di masanya tidak ada teknologi itu. Namun semua itu akan menjadi sebuah eleginya.

Masyarakat akan bertanya tanpa disadari oleh kita, dengan bahasa sederhana mereka akan senantiasa menyerukan dengan kesalahan pada saat ia akan hadapi, sebab kesiapan dalam menghadapi industry 4.0, ketika masyarakat hanya mengikuti tanpa memilki peran dalam perkembangan sebuah perubahan yang berpusat pada teknologi maka bersiaplah masyarakat akan mengalami sebuah degradasi kepercayaan terhadap sebuah pimpinan dan akan selalu memiliki pemikiran yang negatif terhadap birokrasi negeri ini.

Pola pandang masyarakat akan lebih menyalahkan yang memiliki kepentingan lebih besar karena banyaknya orang yang memiliki modal akan memiliki kuasa atas perubahan tersebut. Sehingga lahirlah sebuah penjajahan teknologi yang masyarakat tertinggal tidak mampu mengembangkan sebuah teknologi, khususnya masyarakat yang berada diposisi terpencil jauh dari perkembangan teknologi.

Di mana tempat tersebut masyarakatnya masih sangat awan terhadap laptop, pasti masih ada dalam sebuah wilayah contoh di daerah tertinggal mereka masih saja masih awan terhadap teknologi sehingga tidak akan siap dalam menghadapi industri 4.0, sebagai negara besar Indonesia akan memberikan sebuah jaminan apa kepada wilayah tersebut.

Dengan cara memberikan sebuah fasilitas yang bisa diakses oleh generasi dan mampu mengoprasionalkan mempelajari untuk bekal menghadapi perkembangan revolusi industry 4.0 sehingga mental bukan hanya keberanian namun bisa mengembangkan dengan skill.

Namun tidak lepas dari adanya pendidikan karakter religious yang tinggi, karena kepintaran tanpa memiliki dasar agama yang dalam akan hanya menjadi kepintaran tanpa memiliki rasa kemanusian dengan tujuan panjang atas perjuangannya.

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis perkembangan pembangunan teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia di tahun 2016. Disparatis antara wilayah barat dan timur menyebabkan peringkat Indonesia berada di urutan 111 dari 176 negara dengan indeks sebesar 4,34.

Kepala BPS Suhariyanto menyatakan Indonesia, memiliki 34 provinsi dengan kesenjangan teknologi informasi yang besar. "Tantangan kita sangat besar dibandingkan dengan negara tetangga," kata Suhariyanto di Kantor BPS, Jakarta, Jumat (15/12).

Berdasarkan data International Telecommunication Union (ITU), di kawasan Asia Tenggara, Indonesia hanya berada di atas Kamboja, Timor Leste, dan Myanmar. Indeks pembangunan teknologi Indonesia masih kalah Singapura memiliki nilai 8,05, Malaysia 6,38, Brunei Darussalam 6,75, Filipina 4,67, dan Vietnam 4,43.

Dari data tersebut kita sendiri memberikan kesimpulan. Bahwa kesiapan masyarakat kita pada dasarnya belum siap, dikawatirkan akan hanya menjadi babu dari orang-orang yang bukan orang Indonesia sehingga dalam data itu sebagai bukti teknologi hanya menjadi bisa mengkonsumsi namun tidak bisa memberikan sebuah produksi, mental yang harus dibangun mental sebagai masyarakat berani akan mempelopori sebuah perkembangan dengan solusi yang akan ditawarkan oleh kita sebagaimana ia sebagai masyarakat pribumi mampu menguasai dari segi distribusi jika teknologi tidak bisa dikuasai.

Namun peran pemerintah tidak lepas dalam membuat mental masyarakat tidak turun, dengan adanya sebuah pelatihan (sosialisasi) mengenai teknologi di negeri ini bisa dikuasai. Sehingga pemerintah daerah selalu memberikan peran sebagaimana lebih memahami tentang daerah tersebut.

Teknologi sebagai cara manusia hidup di era modernisasi, terasa menjadi bagian dari kehidupan primer manusia. Jika pepatah jawa kita kenal ada: sandang, pangan, papan, loro, pati menjadi tidak lepas dari kehidupan manusia yang tidak lepas dari kehidupannya sekarang menambah lagi kebutuhan manusia yaitu teknologi. Sebagaimana teknologi akan menjadi bagian dari kehidupan manusia yang tidak dapat dipisahkan.

Namun penikmat sebuah teknologi belum tentu mampu mengembangkan teknologi apalagi mampu menguasai teknologi untuk bisa mengendalikan bersaing dalam kancah lokal nasional dan internasional kecuali manusia mampu memperhatikan sebuah perkembangan dan kehidupan yang bisa dilakukan dengan serius bukan hanya ada dalam sebuah kenikmatan sebuah teknlogi.

Peran kaum intelektual Muslim harus memiliki nilai edukasi melaui media sosial. Tentunya kearifan yang akan ditunggu oleh kaum muda untuk bisa menjadi control yang baik dalam kebudayaan agama Islam yang benar-benar bisa mengarahkan pada Islam Rahtallialamin. (*)

*)Penulis Akhmad, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, (PBSI) Semester VI, Lembaga Pers Mahasiswa Fenomena, FKIP-Unisma.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES