Gaya Hidup

More Than Work Memutus Mata Rantai Eksploitasi Seksisme di Ruang Redaksi

Sabtu, 20 Juli 2019 - 23:44 | 176.86k
Andre Yuris, Anastasia Jesica, dan Dyah Ayu dalam sebuah diskusi dan screening film More Than Work di C2O Library, Surabaya, Jumat (19/7/2019). (Foto: Istimewa)
Andre Yuris, Anastasia Jesica, dan Dyah Ayu dalam sebuah diskusi dan screening film More Than Work di C2O Library, Surabaya, Jumat (19/7/2019). (Foto: Istimewa)

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Neratalk menggelar sebuah diskusi dan screening film bertajuk 'More Than Work' di C2O Library, Surabaya. Acara ini merupakan hasil kerjasama antara Nera Academia, Fakultas Filsafat UKWMS, dan didukung oleh AJI Surabaya, C2O serta Idenera.com, Jumat (19/7/2019).

Film besutan sutradara Luviana tersebut bercerita tentang perempuan dan industri media dalam sebuah indepth screening. Menghadirkan dua nara sumber, Anastasia Jesica A.S., Dosen Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS) dan Dyah Ayu, seorang jurnalis media online di Surabaya.

Kecenderungan meningkatnya kekerasan kepada perempuan baik secara fisik, psikis dan simbolis juga meningkatnya kekerasan pada kelompok minoritas seperti LGBT dan yang lainnya mendasari karya ini lahir.

More-Than-Work-a.jpg

Andre Yuris, Founder Nera Academia, sekaligus Pimred www.idenera.com., mengungkapkan peran media sebagai salah satu sumber pengetahuan bagi masyarakat justru seringkali melanggengkan spiral kekerasan itu melalui karya jurnalistik yang tidak mematuhi etika dan kode etik jurnalistik.

Ada beberapa penyebab pelanggaran kode etik dan undang-undang pers. Seperti kompetisi di antara media, menuntut berlomba terdepan dalam menyajikan informasi yang paling menarik dan terlengkap. Jika satu media menuliskan identitas lengkap, maka yang lain tak mau kalah dengan melakukan hal serupa, mengingat informasi yang didapat dalam kasus ini juga sama.

Sementara, sedikit sekali upaya kritik untuk menyentil perilaku media, sehingga mampu melahirkan efek jera. More Than Work membongkar penyakit seksisme yang menempatkan perempuan sebagai objek seksualitas semata.

Kasus terbaru tentang prostitusi online di Surabaya misalnya, seolah memunculkan korban (VA) yang juga artis, sebagai sosok bersalah karena memanfaatkan kecantikan dan kemolekannya, dalam bisnis prostitusi.

More-Than-Work-b.jpg

Dalam pandangan ini, pelanggan adalah korban, karena terjerat kemolekan VA, membayar untuk membeli jasanya, namun berakhir kena gerebek aparat.

Format penulisan serupa juga muncul untuk artis perempuan lain, yang diduga terlibat jaringan VA. Tanpa ada konfirmasi, reporter, dan juga editor, menelan mentah-mentah berita, hanya karena bersumber dari kepolisian.

Terjadi diskusi sporadis dalam redaksi, tentang pandangan lain yang mempertanyakan salah atau tidaknya pelanggan, dan tepat atau tidaknya menggunakan undang-undang Tidak Pidana Perdagangan Orang.

Perlu kesadaran kolektif (bersama) masyarakat bahwa mata rantai kekerasan harus diputuskan, dan membuat strategi perlawanan dengan melahirkan wacana tandingan yang selama ini didominasi media arus utama. 

“Juga agar masyarakat mau kritis terhadap media massa, agar ada perubahan kearah penghormatan pada harkat dan martabat manusia,” terang Andre Yuris.

Dyah Pitaloka menambahkan, bahwasanya media massa, baik cetak, elektronik, dan online punya andil besar memutus mata rantai kekerasan. Edisi-Minggu-21-JUli-2019-C.jpg“Itu harus dimulai di ruang redaksi, harus ada budaya baru yang lebih humanis dan menghormati hak dan martabat manusia. Dan masyarakat harus berani mengkritik media,” paparnya.

Anastasia Jessica, Dosen Filsafat UKWMS memberi pandangan perlunya wacana tandingan untuk melawan hegemoni wacana yang disuntikkan melalui media arus utama. 

“Wacana tandingan itu digerakkan orang muda. Agar masyarakat mendapatkan pengetahuan baru dan terliterasi,” terang Anastasia.

Hadirnya More Than Work kepada khalayak memberi setitik harapan baru berakhirnya budaya dan mata rantai kekerasan.

Penonton dibuat larut dalam tiap peralihan scene. Bahkan mereka yang sebagian besar anak muda cukup antusias memberikan komentar hingga pertanyaan kritis.

“Ternyata orang muda masih punya kepedulian dan mau ikut ambil bagian dalam memutus mata rantai kekerasan pada kelompok minoritas, marjinal dan perempuan,” sambung Andre Yuris mengapresiasi.

Andre berharap, baik kaum muda maupun masyarakat bergerak secara kolektif untuk memutuskan budaya kekerasan. Agar tidak ada lagi diskriminasi dan persekusi terhadap kelompok masyarakat hanya karena berbeda pilihan dan pendapat. 

Mata rantai kekerasan itu bisa diputus dengan gerakan bersama (kolektif) melalui film indie seperti More Than Work, tulisan, media alternatif atau dengan cara mewartakan kabar baik dan menghargai harkat dan martabat manusia.(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sholihin Nur
Sumber : TIMES Surabaya

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES