Kopi TIMES

Orde Sabun Cuci

Kamis, 18 Juli 2019 - 14:17 | 78.86k
Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) (Grafis: TIMES Indonesia)
Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTASEBUAH mobil warna hijau berjalan dengan kecepatan sedang. Mobil itu meluncur menuju kerumunan ibu-ibu. Kris Biantoro (seniman dan bintang iklan), di samping sopir, berteriak dalam pengeras suara mengiklanan sebuah  sabun deterjen.

“Itu om Kris, “teriak seorang ibu.

“Semua pakai Rinso ya? ”tanya Kris Biantoro.

“Ooo tentu”

“Ibuk? “Kris bertanya pada ibu kedua.

“Saya bangga lho. Anak-anak bajunya bersih-bersih. Saya hanya pakai Rinso, “jawabnya.

“Dan ibu?” tanya Kris pada seorang ibu yang lain.

“Huh.  Rinso? Apa istimewanya? “jawabnya agak ketus.

Kemudian terjadilan dialog antara Kris Biantoro dengan ibu yang tak percaya pada deterjen yang ditawarkannya. Lalu dialog dilanjutkan.

“Saya yakin akan membuatnya lebih bersih lagi”, “tegas Kris.

“Maka mungkin? ”sanggah ibu itu.

“Mari kita tes cuci kembali dengan Rinso”

Setelah itu dilakukan tes cuci kembali dengan Rinso. Lalu, larutan cair dalam gelas bekas  deterjen Rinso dan sabun sebelumya dibandingkan.  Hasil dalam iklan itu diperlihatkan bahwa air hasil mencuci dengan Rinso lebih keruh. Artinya, ada kotoran yang masih menempel dalam deterjen sebelumnya, meski telah dicuci. Jadi, tes cuci kembali membuktikannya.

Lalu, Kris Biantoro menutup tayangan iklan dengan pernyataan tegas, “Rinso membersihkan paling bersih”.

Itu tentu iklan. Tidak selamanya iklan sesuai kenyataan.  Bisa dikatakan iklan itu setengahnya bohong. Meskipun begitu, iklan membuat masyarakat percaya dan membeli produk yang diiklankan tersebut. Tetapi, iklan mampu menyedot perhatian dan perubahan perilaku masyarakat. Padahal iklan selamanya tidak seluruhnya benar. Ini tentu dunia iklan. Bagaimana dengan kenyataan sebenarnya? Orang yang mencuci baju atau celanalah yang mampu membuktikan. Tetapi iklan telah mampu menghipnotis persepsi khalayak.

Mulai Berhitung

Beberapa waktu lalu, terjadi pertemuan antara Jokowi dan Praboro di Moda Raya Terpadu (MRT) Lebak Bulus, Jakarta. Tentu saja itu peristiwa langka yang ditunggu-tunggu. Rujuk nasional atau ada yang menyebutnya rekonsiliasi. Publik pun menyambut gegap gempita, terutama pendukung Jokowi. Pendukung Jokowi (dan sedikit pendukung Prabowo) kegirangan karena kubu “seterunya” bertemu dengan “kubunya”. Banyak gambar-gambar proses pertemuan itu beredar. Banyak suara-suara ideal muncul “demi NKRI”, “Kebersamaan yang Menyatukan”, “Pancasila Menang” dan kata-kata ideal lainnya.

Gegap gempira pun terus bergema menyambut pertemuan kedua tokoh yang sempat membuat jurang menganga di masyarakat itu. Perbedaan politik pun seolah lenyap seketika. Perbedaan akhirnya terkubur. Tetapi itu tentu yang terlihat dalam permukaan.

Sementara di sisi lain ada yang tidak menerima dengan keputusan Prabowo bertemu dengan Jokowi. Ada saja alasannya. Lalu muncul tuduhan mereka yang tidak menginginkan pertemuan itu sebagai pembenci Jokowi dan bukan pendukung Prabowo. Mereka “penumpang gelap” pada gerbong Prabowo dan lain-lain komentar.

Sebenarnya pertemuan itu perlu dipahami biasa saja dan tidak usah terlalu euforia. Itu pertemuan tokoh politik yang selama ini berseteru. Ingatlah, bahwa dalam politik tidak pernah ada kawan abadi, yang abadi adalah kepentingan. Kedua tokoh itu dan para pendukung di lingkar elitenya tentu memahami hal ini. Para pengikutnya saja yang “keranjingan”.

Kedua tokoh itu justru sedang memberikan teladan. Bahwa soal menang kalah menjadi hal biasa dalam politik. Semua biarlah diputuskan secara hukum dengan plus minusnya. Perkara tidak puas itu selalu ada dalam politik. Yang terjadi kemudian adalah perebutan kekuasan dan itu terus akan berulang.

Kenapa Prabowo bertemu dengan Jokowi? Sementara itu, desakan untuk bertemu sudah lama digelorakan kubu Jokowi? Tentu Prabowo punya perhitungan matang. Mungkin juga menunggu kesempatan yang pas. Hanya para pendukung saja yang tidak sabar.

Jokowi dan Prabowo seorang pemimpin yang mempunyai pengikut. Mereka tentu  harus memberikan teladan. Jika perilakunya “cacat buruk” maka mereka akan dikutuk sejarah. Misalnya, Jokowi tidak mau ketemu. Atau Pabowo tetap bersikukuh untuk pada keputusannya dengan tak menerima semua proses dan hasil Pemilu sebagaimana disuarakan kubunya. Tentu mereka akan dicatat sebagai “penjahat” dalam teks sejarah.

Juga, kekhawatiran tersebut tentu tidak mereka inginkan. Biarlah para pendukung saja yang dicatat keburukannya karena mereka semua anonim dan menjadi manusia bebas. Bebas bersuara. Bebas untuk misuh. Tetapi bagi para pemimpin, itu tetap  tidak elok.

Ada yang mengatakan bahwa Prabowo berpikir untuk kepentingan lima tahun ke depan. Tentu ini sangat mungkin. Tentu jerih payahnya gagal menjadi kandidat pesiden atau wakil presiden telah memberikan pelajaran.  Tak enak menjadi orang yang kalah tetapi harus realistis.

Lepas dari apa prasagka soal pertemuan Jokowi dan Prabowo, langkah itu layak diapresiasi positif. Kedua orang itu sudah memberikan niat dan teladanyang baik, masihkan para pengikutnya berkonflik satu sama lain? Sudahi pula pesan-pesan yang bernada kebencian.

Membersihkan Paling Bersih

Ada satu pendapat yang menarik dan unik untuk didiskusikan. Kedua pemimpin yang bertemu di MRT tersebut ada yang mengatakannya sebagai negarawan. Jokowi dengan lapang dada menerima Prabowo, sementara Prabowo rela menerima kekalahan dalam kompetisi politik. Itulah beberapa komentar yang muncul.

Saya jadi ingat teman saya yang selalu mengutuk Prabowo sebagai orang yang pernah punya masa lalu buruk; pelanggar HAM. Itu pulalah yang selama ini melekat padanya. Itu terus diulang-ulang setiap menjelang Pemilu. Bahkan ada yang  mengatakan, mereka yang menuduh Prabowo pelanggar HAM kenapa tidak teriak saat menjadi Cawapres Megawati (2009)? Nah itulah politik. Semua bisa diatur dan diubah sesuai kepentingannya.

 Dengan pertemuan di MRT tersebut, Prabowo kemudian dianggap negawaran. Ini karena Prabowo bertemu dengan Jokowi. Sementara itu, saat berseberangan dianggapnya pelanggar HAM. Begitu mudah mengubah klaim menjadi negarawan, bukan? Jokowi pun akan dianggap tak tersangkut gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) lagi jika sekubu dengan mereka yang menuduhnya.  Inilah  fenomena “orang-orang plus enam dua”

Saya jadi ingat bagaimana dengan para pelanggar HAM lain yang selama ini masih agak susah diusut? Bagaimana dengan pelanggaran HAM atas penyiraman air keras pada mata mantan Komisioner KPK Novel Baswedan? Orang juga bisa bertanya bagaimana dengan Wiranto, Hendropiyono dan lainnya yang juga pernah dianggap terlibat  dalam pelanggaran HAM?

Jika seseorang ingin dianggap negarawan atau dilupakan segala yang buruk masa lalunya mendekatlah ke kekuasaan. Hal buruk yang pernah dilakukan akan cepat dilupakan. Bagaimana dengan pejabat yang pernah dituduh melanggar HAM sementara pernah atau sekarang sedang berada dalam lingkar kekuasaan?

Kekuasan memang seperti sabun. Sebut saja sabun cuci. Segala yang kotor akan mudah dicuci. Bahkan klaim bersih itu digembar-gemborkan seperti iklan.  Mungkin seperti iklan Rinso yang saya sebutkan di atas. Lalu, bisa tes cuci kembali sebagaimana Rinso. Maka,  “Kekuasaan membersihkan paling bersih”. Inilah Orde Sabun Cuci.

* Penulis Nurudin adalah dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Penulis bisa disapa lewat Twitter/IG: nurudinwriter

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES