Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Mengembalikan Jati Diri Bahasa Indonesia Pada Millenial

Rabu, 17 Juli 2019 - 14:32 | 113.68k
Muhammad Afnani Alifian, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Malang, anggota redaksi Lembaga Pers Mahasiswa Fenomena Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. (Grafis: TIMES Indonesia)
Muhammad Afnani Alifian, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Malang, anggota redaksi Lembaga Pers Mahasiswa Fenomena Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. (Grafis: TIMES Indonesia)
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANGSEBELUM masuk pada pembahasan tentang bahasa Indonesia sebagai jati diri dan identitas bangsa, perlu kiranya untuk mengenal kaum milenialis. Kata kaum milenialis begitu identik dengan pemuda yang menutut segala sesuatu untuk serba cepat, serba instan, dan serba mudah.

Hal itu ditengarai karena hadirnya internet ditengah era milenial. Netizen (warganet) sering menyebutnya dengan kids jaman now. generasi millenial, generasi teknologi informasi, begitu berbeda dengan generasi sebelumnya, yaitu generasi x, baby boomers, hingga generasi tradisional.

Generasi ini hadir sebagai bentuk diferensiasi antara periode generasi zaman dulu yang eksis di tahun 90-an, dengan generasi yang sedang eksis zaman sekarang. Dari segi usia, bisa dikatakan generasi milenial adalah mereka yang dilahirkan antara 1999 sampai tahun 2000 an ke atas. 

Istilah milenial atau millennials mulai dicetuskan oleh William Strauss dan Neil Howe pada tahun 1987. Mereka menciptakan istilah ini pada saat anak-anak yang lahir di tahun 1982 masuk prasekolah, dan media pada saat itu mulai menyebutnya sebagai kelompok yang terhubung ke milenium baru di saat lulus SMA tahun 2000. Keduanya menulis tentang kelompok ini dalam buku Generations:The History of America's Future Generations dan Millennials Rising: The Next Great Generation.

Bahasa Indonesia Sebagai Jati Diri Bangsa

Istilah baru yang dimunculkan kaum milenialis seperti, tercyduk, micin, kaleng kaleng, noob, dan beberapa istilah lainnya berawal dari media sosial. Keberadaan media sosial yang kebanykan pengguna adalah kaum milenialis merupakan cikal bakal muncullnya istilah non bahasa Indonesia, yang kemudia viral di media sosial dan dipergunakan pada pergaulan sehari hari. 

Namun, perlu dipahami 28 oktober 1928 sebagai tonggak sejarah lahirnya bahasa Indonesia, dimana tujuan utama adalah menciptakan bahasa yang dipahami oleh segenap elemen bangsa Indonesia. Suhendar, dkk (1997) menyatakan pada hakikatnya setiap negara menghendaki adanya satu bahasa yang dapat dipakai sebagai alat komunikasi bagi seluruh warganya, baik dalam rangka pembinaan kebangsaannya, dalam administrasi pemerintahannya maupun dalam bidang pendidikannya.

Bangsa Indonesia yang dikenal dengan Bhineka Tunggal Ika, maka bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi antar daerah di Indonesia mempunyai peran yang sangat penting, sehingga memiliki kedudukan istimewa. Dengan adanya bahasa persatuan tersebut orang pelosok timur akan mampu berbicara lancar dengan orang yang berasal dari wilayah barat. 

Selain itu bahasa adalah cermin dari jati diri bangsa seperti kata pepatah “Bahasa Menunjukkan Bangsa”. Hasan Alwi sependapat dengan pernyataan tersebut, bahwa “Bahasa Menunjukkan Bangsa”, merupakan untaian kata dari kaum cerdik pandai dan para bijak-bestari zaman dahulu kala yang selalu kita kaji ulang pada saat-saat yang dianggap tepat untuk mengungkapkannya. Ungkapan itu akan tetap penting dan selalu relevan, terutama sehubungan dengan ciri keindonesiaan yang multietnis, multikultural, dan (yang berakibat pada) multilingual (Alwi,H. 2001:39).

Dalam kedudukannya sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia harus tetap mampu menunjukkan jati dirinya sebagai milik bangsa yang beradab dan berbudaya di tengah-tengah munculnya berbagai istilah kaum milenialis. Hal ini sangat penting disadari, mengingat modernisasi yang demikian gencar merasuki sendi-sendi kehidupan bangsa dikhawatirkan akan menggerus jati diri bangsa yang selama ini kita banggakan.

Sudah sepatutnya kaum milenialis mempergunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar demi terwujud national interest bangsa Indonesia. Sementara itu bahasa daerah sebagai suatu lokal wisdom pergunakanlah secara bijak dengan kawan satu daerahnya.

Memang dalam kenyataanya bahasa “gaul” sudah merambah dunia remaja, namun perlu disadari jika hal itu terus terjadi maka bahasa pemersatu bangsa Indonesia akan punah, dan anak cucu kelak akan kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang sebangsanya. Memang penggunaan bahasa “gaul” tidak sepenuhnya harus dihilangkan, namun yang perlukan hanya pembatasan serta penggunaan yang tepat pada waktu dan keaadaan yang tepat pula.

Pandangan labil kaum melinialis bahwa dengan menggunakan bahasa “gaul” akan terlihat lebih elegan, ataupun terlihat lebih modern merupakan anggapan yang keliru. Sebab hadirnya bahasa “gaul” itu justru yang akan meruska kebhinnekaan bangsa Indonesia.

Bahasa “gaul” bukanlah bahasa yang menunjukkan jati diri bangsa Indonesia, sebab bahasa “gaul” hanya ego sektoral orang orang kota yang terkena racun westernisasi. Jika racun itu terus dibiarkan maka akan terjadi anggapan kaum yang termarginalkan, sehingga “bhinneka tunggal ika” akan hanya tinggal nama. (*)


*) Penulis: Muhammad Afnani Alifian, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Malang, anggota redaksi Lembaga Pers Mahasiswa Fenomena Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. 

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin
Sumber : TIMES Malang

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES