Kopi TIMES

Urgensi Literasi Bagi Aktivis Kampus

Selasa, 16 Juli 2019 - 12:25 | 122.45k
Muhammad Afnani Alifian, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Malang, anggota redaksi Lembaga Pers Mahasiswa Fenomena Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. (Grafis: TIMES Indonesia)
Muhammad Afnani Alifian, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Malang, anggota redaksi Lembaga Pers Mahasiswa Fenomena Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANG – Masyarakat atau bangsa yang tidak memiliki tradisi literasi yang kokoh juga tidak memilkiki tdaridi intelektual atau pemikiran yang kuat dan sehat sehingga berada dalama keadaan rentan, malah mudah runtuh, Prof Joko Saryono menuliskan dalam bukunya Literasi : Episentrum dan Kemajuan Kebudayaan Dalam Peradaban.

Masih sering menjadi perbincangan hingga kini klasifikasi antara akademisi dan aktivis. Padahal keduanya tidak perlu diklasifikasikan. Seorang aktivis sudah seyogyanya memiliki kemapuan akademis yang baik, tentu demi terciptanya iklim organisasi yang sehat, dan pola managerial yang terstruktur dengan baik.

Sebaliknya, akademisi memerlukan kemampuan mengolah lingkungan dengan baik, maka dari itu perlu kiranya untuk tidak apatis. Melihat juga tuntutan masyarakat saat ini dimana tidak cukup hanya pandai semata, tetapi juga berpengalaman yang mumpuni.

Mahasiswa dalam lingkup umum dikenal sebagai akademisi, sementara aktivis mahasiswa merupakan nilai tambah yang membedakan dirinya dengan akademisi utuh. Aktivis tidak hanya berfokus pada bangku perkuliahan saja, tetapi juga memiliki kesadaran lebih untuk memikirkan masyarkat.

Keduanya juga memiliki satu kebutuhan urgen, bukan hanya kebutuhan tetapi juga kewajiban. Kewajiban untuk melek literasi. Literasi sendiri dalam makna sempit KBBI diartikan sebagai keberaksaraan, budaya membaca dan menulis, juga berbicara (public speaking).

Saat ini tidak sulit untuk menemukan aktivis kampus apolitis, bahkan kehilangan rasa ingin tahu dan jiwa kritisnya. Ada juga aktivis yang sok kritis, tetapi pendapat yang dikemukan tidak sesuai dengan situasi dan kondisi. 

Pernah suatu ketika saya hendak mendiskusi tentang kebijakan kampus terhadap seorang mahasiswa. Mempertanyakan tentang statuta rema (republik mahasiswa), hukum tertinggi yang menangani juga mengatur perguruan tinggi. Tetapi mahasiswa yang hendak saya ajak diskusi tidak mengetahui tentang  statua rema. Padahal ia dikenal sebagai seorang aktivis mahasiswa. Miris tentunya ketika aktivis kampus yang harus kritis, kretaif, mandiri, dan inovatif malah menjadi apatis karena pengaruh besar peradaban.

Relevan dengan hal tersebut realita miris yang dialami kebanyakan mahasiswa kini, khusunya dalam lingkup kota Malang adalah budaya “malas membaca”. Penyebab utama berasal dari pengaruh peradaban, gawai semakin menyebar, sehingga banyak yang lebih mementingkan bermain game daripada berproses mencari jati diri. 

Bagi mahasiswa yang memang tidak terkategori sebagai aktivis saya tidak terlalu mempermasalahkan. Tetapi, bagi mahasiswa yang memang mentasbihkan dirinya sebagai seorang pejuang organisasi tentu masalah yang besar ketika terjangkit budaya “malas membaca”. 

Membaca saja malas apalagi menulis. Sepaket dengaannya yang terangkum dalam literasi. Tak ayal jika gelegar suara aktivis kampus tidak seprogresif zaman zaman dahulu.

Penulis tidak hendak membandingkan dengan romantisme sejarah aktivis. Memang setiap masa ada orangnya, dan setiap orang memiliki masanya. Hanya saja perlu ditekankan betapa penting aktivitas berliterasi pada aktivis kampus.

Yang sederhana misalanya azas mengeluarkan pendapat dimuka umum. Ketika seseorang aktivis melakukan audiensi tanpa dasar pijakan kuat, maka apa bedanya dengan omong kosong. Betapa mudahnya suatu narasi dipatahkan dengan tanpa dasar pijakan.

Selain itu budaya literasi juga mencakup diskusi. Aktivis mahasiswa memiliki tanggung jawab moral sosial untuk turut andil terhadap permasalah rakyat. Bentuk ketidakadilan pemerintah perlu didiskusikan lebih lanjut jalan keluarnnya, atau keberatan masalah kenaikan uang kuliah.

Pertanyaanya, apa yang hendak didiskusikan ketika aktivis tidak memiliki bahan untuk didiskusikan? Bahan diskusi bukan semacam dedah Tuhan yang akan turun seperti wahyu. Perlu bahan bacaan sebagai acuan untuk mendiskusikan sebuah permasalahan.  

Melihat betapa urgen literasi, utamanya bagi aktivis kampus. Mahasiswa yang melek literasi cenderung mudah mengemukana pendapat dengan landasan yang kuat, berpengetahuan yang luas, juga simultan untuk mengambil sikap kritis. Oleh karenanya penulis mengajak seluruh mahasiswa aktivis untuk turut melek literasi demi terciptanya iklim organisasi kampus yang lebih progresif. (*)

 

*) Penulis: Muhammad Afnani Alifian, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Malang, anggota redaksi Lembaga Pers Mahasiswa Fenomena Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. 

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES