Peristiwa Daerah

Teman Jokowi Jatim Bendung Krisis Toleransi Keberagaman

Minggu, 14 Juli 2019 - 12:05 | 57.14k
Teman Jokowi Jatim merajut kembali kebersamaan dalam sebuah acara talk show di Universitas Kristen Widya Mandala Surabaya, Sabtu (13/7/2019). (Foto: Lely Yuana/TIMES Indonesia)
Teman Jokowi Jatim merajut kembali kebersamaan dalam sebuah acara talk show di Universitas Kristen Widya Mandala Surabaya, Sabtu (13/7/2019). (Foto: Lely Yuana/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, SURABAYATeman Jokowi Jatim menggelar sebuah seminar bertajuk “Intoleransi di Sekitar Kita” di Universitas Kristen Widya Mandala Surabaya, Sabtu (13/7/2019).

Acara ini merupakan agenda pertama setelah pemilu yang diadakan oleh Teman Jokowi Jatim untuk merajut kembali kerukunan, kebersamaan dan persaudaraan antar masyarakat.

Turut hadir, Gus Aan  Anshori, Koordinator Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) Gusdurian, Indah Kurnia, pilitikus sekaligus pemerhati keberagaman, serta RD. Eko Budi Susilo, pemuka agama dan vikjen keuskupan Surabaya.

Teman-Jokowi-Jatim-b.jpg

Dhimas Anugrah, intelektual muda dari Oxford University jurusan Doctor of Philpsophy hadir sebagai pembicara mengenai krisis keberagaman.

“Indonesia berada di dalam sebuah krisis yang sangat dalam mengenai intoleransi. Krisis itu semakin terasa ketika Pilkada Jakarta berlangsung,” paparnya.

Sejarah mencatat bahwa sejak jaman Pra Majapahit banyak pemimpin pemerintahan keturunan Tionghoa namun tidak terpublish dengan baik. Hampir tidak ada masalah dengan apa yang disebut pribumi maupun non pribumi karena narasi ini diciptakan pemerintahan kolonial saat menjajah Nusantara.

Namun saat ini, Indonesia dinilai sudah berada dalam krisis toleransi, jika terus dibiarkan maka akan menjadi bahaya laten. Dhimas berharap perlu ada suara yang berteriak di padang gurun agar intoleransi tidak semakin berkembang.

Salah satu solusinya adalah mempersiapkan hukum yang tegas dan jelas sehingga memiliki efek jera agar meminimalisir berkembangnya intoleransi.

Teman-Jokowi-Jatim-c.jpg

“Saya usulkan pemerintah menerapkan hukum yang sangat tegas agar para pelaku intoleransi mendapat sengatan bahwa yang mereka lakukan bukan sesuatu yang baik,” ungkapnya.

Meskipun secara historis, lembar hitam intoleransi telah ada sejak dulu di berbagai belahan dunia dan berhubungan dengan life structure atau kondisi kejiwaan seseorang. Namun untuk menjadi bangsa yang besar harus memiliki dimensi moral.

Lebih lanjut Dhimas memaparkan teori James W.Fowler, Psikolog dan Teolog Amerika tentang keTuhanan, bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan akan Tuhan. Bahwa perasaan jika Tuhan itu ada.

Secara teologi, setiap manusia memiliki sensus definitatif bahwa kita membutuhkan sesuatu yang lebih besar dari kita, tidak ada atheis murni. Dengan kata lain, di dalam life structure manusia ada dua aspek yang membuat seseorang membutuhkan Tuhan, yaitu psikologi dan sosial.

Dalam kacamata Fowler juga, tambah Dhimas, ternyata ada orang-orang yang bisa mengalami fiksasi atau berhentinya pertumbuhan jiwa sehingga tidak bisa menerima orang di luar pahamnya.

Lebih lanjut, Dhimas mengutarakan tentang paham ‘Non Posse Non Peccare’, yaitu ketika orang tidak bisa tidak berbuat dosa, sebab salah satu manifestasi dosa adalah membuat orang lain sama seperti dia.

“Merasa diri dan agama paling benar dan tidak nyaman ketika ada orang lain yang tidak sama dengan dia dan ini adalah pemicu adanya intoleransi,” terang Dhimas.

Sementara itu, politikus Indah Kurnia mengaku jika selama ini menjalani kehidupan dalam penuh keberagaman dengan indah.

“Saya merasa tidak pernah mendapat perlakuan diskriminatif dari lingkungan. Namun acara yang digagas Teman Jokowi Jatim ini sangat bermanfaat untuk merangkai kebersamaan,” kata Indah.(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok
Sumber : TIMES Surabaya

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES