Kopi TIMES

Ustadz WhastApp

Kamis, 27 Juni 2019 - 12:35 | 215.20k
Nurudin, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). (Grafis: TIMES Indonesia)
Nurudin, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANG – SAYA kadang bosan juga dengan grup di WhatsApp (WA). Bukan tidak ingin mendapatkan informasi perkembangan dari pertemanan di grup. Bukan juga soal suka dan tidak suka di grup, namun kebanyakan grup informasinya kadang sama saja. Apa yang saya rasakan ini mungkin dirasakan oleh pembaca. 

Saya mempunyai puluhan grup WA. Dari grup pertemanan sekolah, profesi, panitia, sampai peminatan dan kegiatan bersama. Lalu apa yang membuat saya bosan? Dalam grup itu biasanya akan dihuni oleh orang yang senang broadcast informasi.

Salah satu broadcast-nya adalah petuah bijak, misal diberi judul “embun pagi”, “mutiara hikmah, “quote of the day”,  “pengingat” atau hal lain yang berkaitan dengan nasihat keagamaan. Kadang isinya hampir sama, dan dikirim oleh orang yang sama pula (jika masih satu grup).

Saya baru-baru ini juga jadi anggota grup konferensi internasional. Saya anggap informasi ini hanya memberitakan tema yang berkaitan dengan konferensi. Ternyata, tetap saya temukan nasihat-nasihat sebagaimana di atas.

Dan saya yakin, orang yang mengirim itu akan menyebarkannya pada grup yang dia ikuti pula. Bagaimana jika ada tiga orang dengan model sama dalam sebuah grup? Katakanlah kita punya anggota grup 20, sebut saja ada 10 grup sama dengan orang “model begitu”. Jadi, tiga orang kali 10, total kita mendapatkan “siaran” sama sehari mencapai 30 informasi sama, bukan?

Tentu, bukan berarti saya tidak suka dengan informasi keagamaan. Bukan itu. Saya kadang hanya “risih” saja. Atau mungkin saya yang sudah dihinggapi kekeringan perasaan keagamaan? Entahkah. Saya hanya merasa agak perlu menghindar dari informasi grup model begitu. Saya kadang merasa terganggu. Atau minimal saya tidak membuka dan membacanya, meskipun saya tetap jadi anggotanya. 

Apakah Anda pernah menamui kasus sebagaimana yang saya rasakan di atas? Saya yakin pernah. Lalu apa yang Anda lakukan? Ada kalanya Anda terpancing emosi untuk "mengcounter" informasi itu. Tapi kebanyakan diantara Anda hanya memilih diam. Hanya karena tak ingin pertemanan dengan kolega terganggu. Anda lebih mempunyai empati tinggi dari teman yang senang “mengumbar” informasi itu. Yang ekstem tentu Anda memutuskan untuk keluar. 

Syahwat

Saya juga pernah tidak membaca sebuah pemberitahuan grup sampai mendekati 5000 pasca pemungutan suara Pemilu 2019. Lalu kemudian saya "clear chat". Saya hanya malas saja membuka grup yang isinya hanya soal dukung mendukung kubu. Bukan informasi yang berguna bagi saya, tetapi saya hanya menemukan debat kusir sesuai kepentingan dan kecenderungan individu.  

Mungkin orang menuduh saya  tak mau mendapatkan informasi akurat. Bisa juga saya dianggap orang apatis. Bagi saya, tidak jadi soal. Apakah saya salah? Mungkin sebagian orang menganggap saya terlalu sombong. Namun sejatinya saya hanya ingin ketenangan saja. Mungkin saya termasuk orang yang tidak suka keributan. Saya berusaha tidak berat sebelah. Atau saya dituduh orang yang tidak peduli? Entahlah. Perasaan saya ini bisa jadi dialami oleh orang lain.

Bisa jadi saya kemudian merenung dan mendapatkan beberapa bisikan suara hati, “Jika tidak mau menerima informasi seperti itu mengapa menjadi anggota grup?”, “Anggota grup itu beragam. Kita harus siap berdemokrasi”, “Ya, kalau tidak nyaman keluar saja”. Mungkin hasil beberapa pertimbangan kaitannya dengan problem saya di atas. 

Kembali ke soal nasihat agama saja. Saya tidak mau mencontohkan kasus kubu-kubu politik. Kubu-kubuan itu sudah masa lalu. Kubu-kubu itu kebanyakan hanya menuruti syahwat politik saja. Guyon memang, tetapi bisa menyakitkan orang lain.

Informasi yang benar pun kadang tak perlu kita sebarkan jika itu menyinggung orang lain. Dan itu masih ada. Misalnya, sindir menyindir dengan muara mendukung sebuah kubu. Yang tidak sekubu tetap jadi sasaran sindirian atau kemarahan.

Apakah menyindir tidak boleh? Memang ada yang melarang? Melarang berarti melanggar Undang-Undang. Tapi memang susah untuk tak menyinggung orang lain. Apakah menyebar informasi keagaaan tidak boleh. Tentu melihat konteks kapan, kepada siapa dan dimana kita berada. 

Ustadz Modal Jari Tangan

Mungkin saya terlalu baper. Bisa saja. Tapi tentu ini pilihan masing-masing orang. Saya kadang yakin,  orang yang senang dengan boadcast itu akan terus melakukannya, meskipun ada yang mengkritiknya.  Bisa jadi,  itu dianggapnya ajaran agama. Bahwa menyampaikan nasihat itu penting, meskipun hanya satu ayat.

Memang, menebar kebaikan itu dihimbau agama. Namun yang terjadi nasihat yang disebarkan kadang bisa bernada mengamcam dengan disertai ayat atau hadits. Ini yang kadang membuat orang tidak nyaman. Agama adalah nasihat. Sebaik-baiknya nasihat adakah yang menentramkan. Tugas manusia hanya menyampaikan bukan mengancam berdasar ajaran agama yang hanya diyakininya. 

Bisa juga dengan cara itu,  seseorang dianggap sudah  relijius.  Atau sekadar menunjukkan dia orang yang "alim" karena selama ini merasa belum menjadi "orang alim". Mungkin dia sedang menemukan "roh ajaran agama" sehingga dengan cara tersebut dianggap sedang menyampaikan ajaran agama.

Orang yang baru mengenal agama dengan akal sehat dan pemikiran yang berkembang besar kemungkinan menjadi penganut agama garis keras. Oleh karena itu, mahasiswa sering menjadi sasaran penyebaran ajaran garis keras. 

Tentu kita tidak udah terlalu su'udon pada individu model begitu. Positive thinking saja. Anggap saja dia sedang menemukan gairah bergama sehingga terkesan menggebu-gebu dan terlalu agresif.  

Tapi, tentu saya punya hak pula untuk diam dan membiarkan grup berlalu tanpa saya baca. Bahkan kalau perlu clear chat atau keluar grup sekalian. Ada kalanya menjadi cuek itu pilihan yang mententramkan. Ada banyak ustadz dadakan di WA yang saat ini mulai bermunculan dengan hanya bermodal jari tangan.

*)Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Penulis bisa disapa lewat Twitter/IG: nurudinwriter

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sofyan Saqi Futaki
Sumber : TIMES Malang

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES