Kesehatan

Malpraktik Medis, Ini yang Harus Bertanggung Jawab

Rabu, 26 Juni 2019 - 08:24 | 220.07k
 Diskusi bertajuk “Kelalaian Medis Siapa Tanggung Jawab?” yang digelar, Selasa (25/6/2019). (FOTO: Istimewa)
Diskusi bertajuk “Kelalaian Medis Siapa Tanggung Jawab?” yang digelar, Selasa (25/6/2019). (FOTO: Istimewa)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Tuntutan hukum terhadap dokter dan rumah sakit atas dugaan malpraktik medis yang masih kerap terjadi menimbulkan kekawatiran tersendiri bagi masyarakat.

Pertanyaan yang sering dilontarkan jika terjadi dugaan malpraktik medis siapa yang bertanggung jawab, apakah hanya dokter secara pribadi atau beserta pihak rumah sakit sebagai institusi penyedia layanan kesehatan.

Di antara pertanyaan itu mengemuka dalam diskusi yang diselenggarakan SIP Corp (PT Sukses Indah Prima) dengan tajuk “Kelalaian Medis Siapa Tanggung Jawab?” yang digelar, Selasa (25/6/2019), di No. 7 Building, Jl. Buncit Raya No. 7, Jakarta Selatan.

“Seminar ini diadakan dengan tujuan untuk mengupas bagaimana perlindungan hak dan tanggung jawab semua pihak, baik pihak rumah sakit, dokter, maupun pasiien," ujar Direktur SIP Corp Tri Hartanto dalam pidato sambutannya.

Budi Sampurna menyampaikan definisi singkat mengenai malpraktik sebagai suatu kelalaian yang mengakibatkan cidera atau kerugian. Dalam konteks kedokteran, sebutan yang biasa digunakan adalah malpraktik medis.

Budi Sampurna menuturkan pembuktian kasus dugaan malpraktik medis itu haruslah memenuhi unsur-unsur. Setidaknya ada empat hal yang menjadi syarat untuk menentukan ada tidaknya kelalaian yang nyata dalam tindakan medis dokter dan rumah sakit.

“Duty of care, Drereliction atau Breach of Duty, Damages, dan Direct Causalship," tutur Budi Sampurna.

Bahkan Budi Sampurna juga menjelaskan tentang saksi ahli yang tepat untuk dihadirkan dalam kasus dugaan malpraktik medis adalah juga dari kalangan dokter.

“Saksi ahli dalam kasus malpraktek medis adalah dokter yang mempunyai keahlian dan berpraktik di tempat yang fasilitasnya sama dengan dokter yang diadukan. Jadi bukan dokter ahli yang lebih tinggi tingkatnya dan praktik di tempat dengan fasilitas yang lebih baik” jelasnya.

Budi Sampurna menyampaikan bahwa pada dasarnya rumah sakit yang telah memiliki SOP untuk tenaga medis dan menerapkannya dengan benar akan lebih sedikit potensi malpraktik medisnya. Terlebih untuk peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat, sudah sewajarnya tiap rumah sakit melakukan akreditasi.

Budi Sampurna juga menyebutkan pengecualian tanggung jawab rumah sakit dari tuntutan hukum apabila sudah memiliki SOP dan pranata lain yang sesuai dengan UU Rumah Sakit.

“Rumah sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugasnya dalam rangka menyelamatkan nyawa manusia, hal ini berdasar ketentuan Pasal 45 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit”, tuturnya.

Agus Purwadianto selaku anggota MKDKI memaparkan bahwa MKDKI merupakan lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, serta menetapkan sanksi. 

Agus juga menjelaskan MKDKI bertindak sebagai lembaga penegak disiplin kedokteran ini bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada pasien. 

“Sebagai penegak disiplin kedokteran, MKDKI memberikan kepastian kepastian hukum kepada masyarakat dan dokter," tegasnya.

Namun Agus juga menceritakan masih sering ditemukan salah tempat dalam mengadukan dugaan malpraktik kedokteran. “MKDKI tidak menerima pengaduan mengenai masalah etika kedokteran dan masalah hukum perdata maupun pidana,” ungkapnya.

Megamini pendapat narasumber sebelumnya, HN Nazar mengungkapkan bahwa malpraktik medis merupakan kegagalan dalam menyelenggarakan standar pelayanan yang berlaku yang merupakan tanggung jawab profesi dokter.

“Secara spesifik, malpraktik medis dapat digambarkan seorang dokter yang melakukan tindakan yang tidak seharusnya ia lakukan, atau gagal dalam memenuhi panduan yang ditetapkan sesuai standar pelayanan dalam melakukan tindakan medis”, ujar HN Nazar.

Terkait pertanggung jawaban hukum atas kelalaian medis menurutnya harus dilihat dari tiga aspek hukum, perdata, pidana, dan administrasi (disiplin).

“Untuk ranah pidana dokter dan tenaga medis bertanggung jawab secara pribadi, seperti diatur dalam KUHP dan UU Tenaga Kesehatan,” ungkapnya.

H.N. Nazar juga menyarankan agar dalam tuntutan atas kasus dugaan malpraktik medis, setiap rumah sakit dan dokter dapat menghadapinya bersama-sama, tidak saling melempar tanggung jawab.

 “Pihak rumah sakit juga turut bertanggung jawab apabila ada tuntutan hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian atau malpraktik dari tenaga kesehatannya apabila tidak menerapkan prinsip kehati-hatian,” tegas H.N Nazar.(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES