Kopi TIMES

Menyikapi Keinginan Simpatisan ISIS Kembali ke Indonesia

Rabu, 19 Juni 2019 - 10:35 | 236.82k
Moh. Syaeful Bahar (FOTO: Istimewa)
Moh. Syaeful Bahar (FOTO: Istimewa)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Indonesia pernah digoncang oleh sosok Abu Jandal, tokoh ISIS asal Indonesia. Dalam video pendek yang diunggahnya, Abu Jandal atau Salim Mubarak Attamimi menantang Panglima TNI, Kapolri dan Ansor/Banser NU. 

Abu Jandal bukan satu-satunya pentolan ISIS asal Indonesia, beberapa tokoh ISIS di Syuriah juga ditengarai berasal dari Indonesia. Ada Bahrumsyah dan juga Abu Walid atau Muhammad Saifuddin.

Abu Walid dikenal sangat dekat dengan Abu Bakar al Baghdadi, bos besar ISIS. Abu Walid juga dikenal sebagai algojo, eksekutor beberapa orang sandera penting yang dipenggal kepalanya oleh ISIS. 

Ketiga pentolan ISIS tersebut telah tewas, seiring dengan kekalahan ISIS di beberapa medan tempur. ISIS semakin terdesak, pengikutnya semakin menyusut. Banyak di antara pengikut ISIS yang "sadar" dan ingin kembali ke negaranya masing-masing. Bebeberapa di antaranya adalah warga negara Indonesia.

Ingin Kembali Ke Ibu Pertiwi

Tidak banyak data resmi yang disampaikan oleh pemerintah terkait berapa banyak warga Indonesia yang bergabung dengan ISIS.

Salah satu informasi yang dapat dipercaya adalah pernyataan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu sebagaimana diwartakan detiknews. Menhan menyatakan, menurut data intelejen yang dia miliki, bahwa, terdapat 700 orang yang bergabung dengan ISIS berasal dari Asia Tenggara. Sebanyak 400 di antaranya merupakan Warga Negara Indonesia, (detiknews, 08/11/2018).

Berdasar data tersebut, dapat disimpulkan bahwa WNI yang terlibat ISIS adalah terbesar secara kuantitatif dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya. 

Bersamaan dengan kekalahan ISIS, maka, sebagian besar WNI simpatisan ISIS tersebut ingin kembali pulang ke Indonesia. Di sinilah masalah muncul kemudian. Apakah mereka yang ingin kembali setelah bergabung dengan ISIS diterima kembali sebagai WNI atau mereka ditolak karena telah "menyatakan" keluar dan tak menerima NKRI?

Tentu bukan barang mudah memberikan solusi atas persoalan ini. Dilema menjadi nyata bagi pemerintah, seiring dengan pro dan kontra di masyarakat.

Bagi mereka yang kontra, menerima kembali WNI yang telah berkhianat pada NKRI dan Pancasila adalah sebuah kecerobohan.

Pemerintah tak bisa dengan mudah dan sembrono menerima mereka kembali. Tak ada jaminan, bahwa keinginan mereka pulang ke pangkuan ibu pertiwi sebagai bentuk penyesalan. Jika memang ekspresi penyesalan, kenapa tidak sejak awal mereka menyatakan ingin pulang, bukan ketika ISIS telah babak belur, kalah di mana-mana.

Kelompok yang kontra menilai pernyataan ingin kembali dan pulang itu hanya sebuah tipu daya, hanya sebuah jalan terakhir karena rumah baru mereka, ISIS, telah hancur dan kalah perang. Pengkhianatan tetap harus dicatat sebagai pengkhianatan. Begitu kira-kira kesimpulan kelompok kontra pemulangan WNI simpatisan ISIS dari Syuriah.

Selain alasan pengkhianatan, alasan yang tak kalah sengit adalah rencana laten, seperti konsolidasi di internal simpatisan Islam radikal, penyebaran ideologi dan teologi Islam radikal hingga rencana penyerangan secara fisik di wilayah NKRI, yang sangat mungkin diusung oleh mantan kombatan ISIS ini.

Kekhawatiran kelompok yang kontra ini tentu masuk di akal, rasional dan menemukan dukungan ketika dikonfirmasi di lapangan, bahwa, nyatanya, orang-orang atau sekelompok orang yang pernah terpapar ideologi dan teologi radikal akan sulit kembali ke jalan yang benar.

Di lain pihak, bagi kelompok yang pro pemulangan WNI simpatisan ISIS menilai, negara tak boleh alpa, membiarkan warga negaranya untuk kembali ke pangkuan negeri. Pemerintah harus menerima mereka kembali dengan berbagai alasan, dan alasan yang paling utama adalah alasan HAM, alasan kemanusiaan.

Kelompok yang pro ini juga beragumentasi bahwa, tak semua WNI yang gabung dengan ISIS berangkat dari sebuah kesadaran yang merdeka. Sebagian dari mereka adalah korban dari propaganda dan bahkan mungkin juga desakan keluarga, misal seorang istri dan anak yang dipaksa oleh suami atau ayahnya. 

Berdasar dari dua alasan dasar ini, kelompok yang pro, mengatakan, bahwa negara wajib menerima kembali sebagai WNI.

Pro dan kontra tidak hanya terjadi di Indonesia. Beberapa negara yang warganya juga menjadi simpatisan ISIS menuai pro dan kontra, sebagaimana yang terjadi di Indonesia.

Misal Inggris dengan kasus Shamina Begum. Remaja perempuan yang gabung ke ISIS pada tahun 2015 silam. Atau Lydia warga Malaysia simpatisan ISIS yang juga berkeinginan pulang kembali ke negaranya setelah ISIS kalah perang.

Pro dan kontra juga lahir di Inggris dan Malaysia. Alasan dan argumentasi yang berkembang juga tidak jauh berbeda dengan argumentasi pro dan kontra yang terjadi di Indonesia.

Deradikalisasi Kata Kuncinya

Biarlah pro dan kontra mengiringi upaya pemerintah memecahkan persoalan ini. Meskipun, pada akhirnya, pemerintah akan kembali pada regulasi yang ada. Apakah mereka, para simpatisan ISIS itu akan diterima kembali atau justru ditolak, dan tidak diakui kembali kewarganegaraannya, biarlah, itu urusan pemerintah. 

Namun, hal yang paling utama adalah, bagaimana, jika mereka kembali di terima sebagai WNI, mereka tak akan membawa misi tersembunyi sebagaimana ketakutan beberapa orang yang kontra pemulangan mereka.

Negara wajib waspada, tentu dengan segala instrumen yang dimiliki, pemerintah atau negara akan terus mengawasi dan mengontrol ruang gerak mereka, bahkan, dengan alasan keamanan, bisa saja mereka dikenai sangsi kurungan.

Hal yang tak kalah pentingnya dari sekadar mengawasi dan mengontrol adalah memberikan pendidikan, pendampingan dan advokasi dalam rangka deradikalisasi pemahaman keagamaan.

Diakui atau tidak, para simpatisan ISIS adalah mereka yang memiliki pemahaman keagamaan yang salah. Mereka adalah korban dari para propagandis Islam kanan yang selalu saja menjadikan Islam sebagai alat pembenar untuk melakukan kekerasan.

Program deradikalisasi pemahaman keagamaan ini harus memberikan ruang selebar-lebarnya bagi penguatan basis ideologi dan teologi Islam moderat untuk disandingkan dengan pemahaman nasionalisme ala Pancasila yang kuat.

Dengan pemahaman keagamaan Islam moderat serta pemahaman tentang Pancasila yang benar, maka upaya deradikalisasi bagi simpatisan ISIS dapat diharapkan. Bagaimana tahapan dan struktur kerjanya? negara yang wajib memikirkan dan mencari jalan keluarnya. Misal, pemerintah bekerja sama dengan NU dan pesantren untuk menerima para alumni ISIS tersebut sebagai "santri" sebelum dipulangkan dan dikembalikan ke masyarakat. (*)

*)Penulis adalah Dosen FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya dan Alumni PP. Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES