Peristiwa Daerah

Mengenal Tradisi Tertua "Kebo-Keboan Watukebo" Banyuwangi

Selasa, 18 Juni 2019 - 11:49 | 342.78k
Tradisi Adat Kebo-Keboan Desa Watukebo, Kecamatan Blimbingsari, Banyuwangi. (Foto: Roghib Mabrur/TIMES Indonesia)
Tradisi Adat Kebo-Keboan Desa Watukebo, Kecamatan Blimbingsari, Banyuwangi. (Foto: Roghib Mabrur/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Tak banyak orang yang mengetahui Tradisi Kebo-keboan Watukebo di Kecamatan Blimbingsari, Banyuwangi yang di selenggarakan hari Minggu tanggal 16 Juni 2019 kemarin.

Padahal tradisi tersebut sudah lama ada, sejak desa Watukebo ini berdiri. Tradisi kebo-keboan Watukebo sendiri memang jarang diberitakan di media massa, sehingga kebanyakan orang hanya mengetahui tradisi kebo-keboan Alasmalang dan Keboan Aliyan.

Tradisi Kebo-keboan Watukebo satu dari beberapa rangkaian ritual "Bersih Deso (Bersih Desa)" atau mengucap rasa syukur kepada sang pencipta agar desa diberikan keselamatan dari marabahaya dan panen padi melimpah, karena mayoritas warga desa Watukebo adalah petani.

Nyekar.jpg

"Tradisi ini adalah Weluri (adat) dari nenek moyang kita, jadi setiap tahunnya selalu dilakukan, jika tidak dilakukan maka desa akan terkena pagebluk (wabah), hal ini dulunya sudah pernah kejadian terlambat 2 hari saja 5 orang desa meninggal secara beruntun dan hampir seluruh masyarakat desa terkena wabah penyakit yang berujung kematian," ucap Syahrin (77) Pelaku Adat Desa Watukebo seusai melakukan ritual Kebo-keboan, Selasa,(18/06/2019).

Syahrin menjelaskan tradisi kebo-keboan Watukebo memiliki nilai adi luhur tinggi, karena dalam setiap ritualnya terdapat simbol-simbol seperti membenturkan antar kelapa (Serabutnya dihilangkan) hingga pecah, tebar winih pari (bibit padi), gitik-gitikan (pecut-pecutan) dan visualisasi membajak sawah menggunakan kerbau (divisualkan kebo-keboan) berjumlah 2 orang dan 1 orang si pembajak.

Tradisi kebo-keboan watukebo tidak terlepas dari asal usul desa Watukebo yang menurut cerita leluhur setempat lamaran dari Majapahit menuju ke Bali, Putri dari Bali meminta persyaratan 44 ekor kerbau lembu. Saat akan melanjutkan perjalanan terdapat salah satu kerbau yang  tertidur pulas dan susah dibangunkan oleh Buyut Tiki Siem yang mengembala seserahan dari kerjaan tersebut.

Kebo-keboan-a.jpg

Karena kerbau tersebut membandel, akhirnya Buyut Tiki Siem mengutuk menjadi batu.

"Tradisi ini memang meminta keselamatan dan dijauhkan dari marabahaya, setiap tahun acaranya dilakukan swadaya masyarakat," ucap Suripno (54) Tokoh Masyarakat Watukebo.

Tradisi kebo-keboan ini dilaksanakan setiap 12 hari seusai hari Raya Idul Fitri. Sedangkan Hari ke 11 dilakukan prosesi Ider Bumi mengelilingi desa seusai Sholat Magrib, disetiap sudut desa dikumandangankan adzan dan sambil mengelilingi desa membaca shalawat, kemudian dilanjutkan khataman Alquran di Balai Desa Watukebo yang bertujuan untuk meminta keselamatan desa dari sang pencipta.

Keesokannya di Balai Desa juga dilangsungkan Asroqalan dan dilanjutkan prosesi ritual kebo-keboan Watukebo.

Acara puncaknya, dibeberapa makam leluhur yang dikeramatkan seperti Makam Buyut Rencek, Makam Buyut Drasit dan peninggalan Batu Kerbau yang dipercaya masyarakat watukebo sebagai saksi cikal bakal desa dilakukan makan bersama dengan ancak (tempat makan dari pelepah daun pisang), yang sebelumnya dibacakan doa dan diberikan menyan. 

Suripno berharap jika acara ini kedepannya lebih besar dan tetap terjaga, serta ada kepedulian dari pemerintah setempat untuk lebih mengenalkan tradisi kebo-keboan Watukebo di masyarakat luas.(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur
Sumber : TIMES Banyuwangi

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES