Kopi TIMES

Hakim MK Harus Ciptakan 'Momentum of History'

Senin, 17 Juni 2019 - 23:49 | 56.40k
Tri Wibowo Santoso, Analis Pergerakan Kedaulatan Rakyat (FOTO: TIMES Indonesia)
Tri Wibowo Santoso, Analis Pergerakan Kedaulatan Rakyat (FOTO: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – “Janganlah takut menegakkan hukum dan jangan takut mati demi menegakkan hukum.” Demikian kutipan mantan Jaksa Agung (alm) Baharuddin Lopa.

Mewujudkan Indonesia sebagai negara maju di dunia tidak hanya tergantung dari pemimpin yang lihai dalam mengatur dan mengelola ekonomi saja. Hal terpenting adalah adanya figur penegak hukum yang berani, tegas, dan mampu bersikap adil.

Indonesia pernah memiliki sosok Jaksa Agung yang militan dan tak mengenal kompromi dalam menyikat habis para pejabat yang telah merampok uang negara dan menyengsarakan rakyat. Ya, salah satunya adalah Baharuddin Lopa.

Setelah ditunjuk Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai Jaksa Agung, Baharuddin Lopa langsung bekerja cepat dalam menuntaskan persoalan hukum yang telah lama menumpuk. Setidaknya ada beberapa kasus besar yang berhasil ia selesaikan. Salah satunya, menyeret kerabat Soeharto, Bob Hasan yang  dikenal sebagai Si Raja Hutan ke meja hijau. Bahkan, Lopa-pun sudah mengagendakan untuk menuntaskan kasus korupsi mantan Presiden Soeharto.

Tidak hanya penguasa Orde Baru saja yang dibuat Lopa tak bisa tidur pulas. Pengusaha besar, Tony Gozal alias Go Tiong Kien yang dianggap kebal hukum, karena punya hubungan dekat dengan pejabat negara disikatnya juga. Alhasil,  Gozal berhasil diseret ke pengadilan dengan tuduhan telah memanipulasi dana reboisasi Rp 2 miliar.

Selain itu, Lopa juga pernah menyelidiki keterlibatan para konglomerat dan politisi tersohor di Indonesia dalam kasus dugaan korupsi, seperti, Arifin Panigoro, Nurdin Halid, dan Akbar Tanjung.

Sayangnya, belum  sebulan menjabat sebagai Jaksa Agung, pria yang lahir pada 27 Agustus 1935 itu menghembuskan nafas terakhirnya saat menjalankan umroh di Arab Saudi. Walau tak sampai sebulan ia mengemban tugas sebagai Jaksa Agung sebelum akhirnya menghadap Sang Khalik, setidaknya Baharuddin Lopa sudah memulihkan citra institusi yang berslogan Satya Adhi Wicaksana itu menjadi positif di mata masyarakat.

Wajah Suram Peradilan di Mahkamah Konstitusi

Baharuddin Lopa telah tiada, masyarakat-pun masih berharap adanya pendekar hukum yang bernyali besar seperti pria asal Pambusuang, Balanipa, Polewali Mandar, Sulawesi Barat itu. Dalam konteks gugatan Pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK), masyarakat memiliki harapan besar pada sembilan Hakim MK untuk mengeluarkan keputusan secara adil.

Memang harus diakui bahwa menjadi hakim MK bukanlah hal yang mudah, karena tantangannya cukup banyak dan sangat berat. Terlebih lagi, para hakim kerap disebut sebagai "wakil Tuhan" di bumi, mengingat tugasnya untuk mengadili segala perkara terkait persoalan negara, utamanya ranah konstitusi dan sengketa pemilu harus amanah dan bertindak seadil-adilnya.

Dengan menyandang "wakil Tuhan", mereka wajib 'meniru' cara Tuhan memperlakukan umat-Nya, yakni, menyatakan 'benar' jika itu benar dan 'salah' kalau memang salah. Apalagi, keputusan Hakim MK bersifat final, mengikat dan wajib dipatuhi oleh siapa pun. Tidak ada ruang untuk bernegosiasi!

Namun, wajah MK sempat tercoreng akibat ulah dua hakim yang bertindak di luar kewenangan, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap MK sempat hilang. Kedua hakim MK itu adalah Akil Mochtar (mantan Ketua MK) dan Patrialis Akbar. Keduanya tersandung kasus suap.

Akil Mochtar dinyatakan terbukti bersalah, lantaran menerima hadiah atau janji terkait pengurusan sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) dan tindak pidana pencucian uang. Akil-pun akhirnya divonis pidana seumur hidup. Sementara, Patrialis terbukti menerima suap dari pengusaha impor daging, dan kemudian divonis penjara hingga 8 tahun.

Walaupun Akil Mochtar dan Patrialis Akbar telah dihukum, dan para hakim MK lainnya berkomitmen untuk memperbaiki citra institusi, namun masyarakat tidak begitu mudah melupakan kasus yang sangat nista tersebut.

Kini, sembilan hakim MK memiliki tugas berat untuk memulihkan “bekas luka” yang masih tersisa akibat ulah pendahulunya. Oleh karena itu, agar "bekas luka" yang tersisa dapat terobati, para hakim MK harus memperbaiki performa serta kukuh membentengi diri dari segala macam godaan duniawi. Mereka harus tampil sempurna, sebagaimana yang menjadi harapan masyarakat.

Persoalan sengketa Pemilu kali ini jelas merupakan tantangan sekaligus peluang baru bagi MK untuk memulihkan citranya. Ujian untuk lolos dari jeratan kasus hukum, terhindar dari tindakan yang tidak adil, serta kesempatan meraih kembali kepercayaan masyarakat yang sempat memudar.

Kalau di Kejaksaan Agung pernah ada pendekar hukum bernama Baharuddin Lopa yang terkenal tegas, tidak kompromi, dan namanya selalu dikenang sepanjang masa, kini kita berharap penuh kepada sembilan Hakim MK agar dapat mewarisi keberanian Lopa dalam menegakkan keadilan bagi masyarakat, sehingga wajah penegakan hukum di Indonesia tidak lagi suram.

Dan yang terpenting lagi, sembilan Hakim MK telah menggunakan kesempatan dalam menciptakan momentum of history. (*)

*Penulis, Tri Wibowo Santoso, Analis Pergerakan Kedaulatan Rakyat

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES