Kopi TIMES

Memutus Rantai Radikalisme di Sekolah

Jumat, 14 Juni 2019 - 09:45 | 122.54k
Moh. Syaeful Bahar
Moh. Syaeful Bahar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Bukan sekali ini saya menulis dan membahas radikalisme agama, terutama radikalisme yang memapar siswa dan mahasiswa. Namun, dalam tulisan ini, saya akan lebih fokus pada radikalisme yang terjadi di sekolah

Saya sependapat dengan beberapa orang atau lembaga yang memberi kode merah bagi bahaya radikalisme di sekolah dan kampus.

Kode merah menurut saya faktual, realistis dan memang begitu adanya. Artinya, persoalan radikalisme yang memapar anak-anak, siswa, mahasiswa sudah masuk kategori serius, mengkhawatirkan. Jika terlambat diantisipasi, maka tak menutup kemungkinan, paham radikal akan menguasai cara berfikir dan berprilaku siswa dan mahasiswa.

Beberapa penelitian, survei dan investigasi yang telah dilakukan oleh beberapa lembaga survei atau lembaga kajian, seperti Wahid Institute, Setara Institute, Ma'arif Institute, Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LAKIP) dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
dapat menjadi gambaran, betapa paham radikal telah permisif, diterima oleh siswa dan mahasiswa.

Mereka menerima, membenarkan, bahkan, sebagian telah menjadi bagian dari penyebar paham radikal ini. Mereka menjadi agen, menjadi misionaris.

Akar Radikalisme Agama

Mengkaji radikalisme agama membutuhkan kajian yang komprehensif. Selain melihat struktur permukaan (surface structure) yang nampak, juga harus mendalami struktur terdalam (deeper strcture), sehingga akar persoalan, bentuk anatomi persoalan hingga solusi yang ditawarkan dapat tepat sasaran, jitu.

Radikalisme agama sendiri dipercaya lahir dari berbagai kondisi dan situasi, di antaranya adalah, pertama, sebagai bentuk perlawanan (oppositionalism) umat Islam, atas dasar "penjajahan" yang dilakukan oleh negara-negara Barat pada dunia Islam.

Bukan saja penjajahan dalam bentuk perang fisik, sebagaimana dialami oleh negara-negara Islam di Timur Tengah, namun juga penjajahan budaya dan politik. Modernisme dan demokrasi dianggap sebagai infiltrasi Barat ke dunia Islam. Karena itu, dalam pandangan kelompok radikal, modernisme dan demokrasi harus ditolak dan dilawan, keduanya membahayakan Islam.

Kedua, scriptualisme ajaran. Para radikalis cendrung menolak tafsir hermeneutik dan memaksa tetap berpegang pada nash yang tekstual. Mereka menolak kontekstualisasi ajaran Islam, mereka menolak pendekatan akulturatif. Mereka meyakini bahwa al Qur'an adalah teks suci yang sempurna dan telah jelas mengatur yang haq dan yang batil, tak ada yang abu-abu.

Mereka membaca al Qur'an secara literal, apa adanya dan meyakini, bahwa nalar, logika tak akan sanggup memberikan tafsir secara sempurna pada al Qur'an. Maka, membaca dan mempelajari al Qur'an secara literal dianggap sebagai cara yang paling aman.

Ketiga, penolakan terhadap berbagai konsep-konsep modern yang dianggap lahir dari dunia barat. Misal, seperti demokrasi, pluralisme dan multikulturalisme.

Mereka, pada radikalis mempercayai bahwa, konsep-konser tersebut adalah produk Barat yang sengaja diciptakan agar dapat merusak dunia Islam.

Keempat, kesenjangan ekonomi. Para radikalis juga meyakini bahwa sistem ekonomi dunia, terutama sistem ekonomi kapitalis hanya menguntungkan dunia Barat dan merugikan negara-negara Islam. Sistem ekonomi kapitalis dianggap hanya melahirkan ketidakadilan, ketimpangan ekonomi. Barat menjadi superior, Timur atau Islam menjadi inferior.

Cara Sebar Radikalisme Agama

Akar radikalisme sebagaimana disebut di atas, dikemas dan kemudian dijadikan modal jualan para pendiri (founder) Islam radikal menjerat calon pengikut. 

Mereka, para founder dan agen, selalu membangun narasi Islam diserang, Islam dihancurkan. Narasi berikutnya adalah, Islam butuh kader, Islam butuh pembela, hanya orang-orang pilihan yang berani berada di posisi membela Islam di saat seperti sekarang, di saat Islam kalah, yaitu, para kader Islam pilihan. 

Para founder dan agen ini tak pernah menjelaskan kontekstualitas posisi Islam yang inferior, mereka hanya berhenti di satu kasus, Islam dalam bahaya. Mereka tak menjelaskan bagaimana kompleksitas "kekalahan" dunia Islam atas Barat.

Mereka tertutup, ekslusif. Mereka menghukumi kelompok lain sebagai munafik, karena dianggap tidak tegas posisinya dalam membela Islam. Kelompok lain dianggap patut diperangi karena masih mau berkompromi dengan Barat, musuh Islam.

Narasi Barat versus Islam ini menjadi menu yang menarik bagi kelompok anak muda di sekolah dan kampus. Mereka yang baru tumbuh spritualitasnya, merasa terpanggil untuk membela Islam. Mereka merasa wajib tegas berada di posisi pembela Allah dan agamanya. Sekalipun harus bersebrangan dengan orang tua atau keluarga.

Semakin lama menerima indoktrinasi, semakin kuat radikalisme tumbuh berkembang dalam keyakinan para pelajar. Semakin masuk ke dalam jejaring Islam radikal, semakin sulit mereka dikembalikan ke pangkuan orang tua dan keluarga. Mereka semakin yakin, bahwa apa yang mereka pilih adalah benar.

Pilihan untuk merekrut siswa dan mahasiswa bukanlah tanpa alasan. Kelompok Islam radikal membaca, bahwa para siswa dan mahasiswa ini yang kelak akan menjadi pemimpin di negeri ini.

Karena itu pula, kenapa siswa dan mahasiswa yang disasar adalah mereka yang memiliki prestasi akademik baik dan serta mereka yang memiliki kepribadian menyenangkan. 

Paling tidak, ada dua keuntungan yang ditargetkan oleh kelompok Islam radikal pada siswa dan mahasiswa berprestadi tadi. Pertama, untuk kepentingan jangka panjang. Kelompok Islam radikal yakin investasi ideologi yang mereka doktrinasikan akan mewarnai perjalan karir siswa dan mahasiswa yang dimaksud, sehingga, ketika mereka telah berada di puncak karir, mereka akan tetap mengusung ideologi Islam radikal, bahkan, menjadi kader yang turut berjuang menyebarkan ideologi radikal.

Fenomena beberapa orang yang karirnya sukses dan menjadi bagian penting dari kelompok Islam radikal adalah bukti bahwa target dan tujuan rekrutmen kelompok Islam radikal telah berhasil.

Kedua, kepentingan jangka pendek. Kelompok Islam radikal ini berharap berkah dari anak-anak berprestasi dan baik-baik ini, terutama dalam hal memuluskan agenda rekrutmen anggota baru.

Dalam jejaring mereka ada istilah metode mentoring dan metode teman sebaya. Mentoring adalah upaya indoktrinasi oleh para agen, sedang metode teman sebaya adalah upaya menyebarkan paham Islam radikal melalui pengaruh siswa berprestasi pada teman-teman sebayanya. Dan dua metode ini, mentoring dan teman sebaya, terbukti ampuh.

Upaya Deradikalisasi Di Sekolah 

Dari uraian di atas, maka, upaya deradikalisasi harus segera dilakukan, tidak boleh tidak. Mendesak dan sangat urgen.

Paling tidak, terdapat beberapa hal yang dapat dilalukan, pertama, penguatan ideologi Islam ramah di sekolah. Para tokoh agama yang moderat harus turun gunung, dan masuk jejejaring sekolah-sekolah.

Islam moderat harus dikenalkan dan diajarkan pada siswa dengan metode yang menyenangkan namun ketat dan sistematis. Jika perlu, sekolah dan dinas terkait, membuat program khusus untuk menguatkan pandangan Islam moderat bekerja sama dengan NU dan Muhammadiyah, dua organisasi Islam yang terbukti mengusung semangat moderatisme Islam.

Kedua, sekolah dan orang tua, harus terus mengawasi perkembangan anak atau siswa dalam hal pergaulan. Sebenarnya tak susah untuk mengidentifikasi gejala awal seorang siswa telah terpapar ajaran dan ideologi Islam radikal.

Cara beribadah, bersikap, bersosialisasi dan berkomunikasi mereka akan berubah, lebih ekslusif. Gejawa awal ini harus dipahami oleh sekolah dan orang tua, sehingga, dengan mengenali gejala awal ini, upaya untuk menghindarkan anak-anak atau siswa sejak dini dari ideologi radikal akan lebih mudah dilakukan.

Ketiga, sekolah harus tegas membatasi pergerakan kelompok Islam radikal untuk masuk ke sekolah. Sebab, sebagian besar dari pergerakan kelompok radikal ini, bekerja di areal sekolah, terutama pada kegiatan ekstra keagamaan (rohis), terbukti, para agen atau dalam istilah mereka, para murabbi Islam radikal masuk melalui pintu Kerohanian Islam (rohis).

Keempat, negara, dalam hal ini, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementrian Agama harus segera berkolaborasi untuk membuat kurikulum Islam Ramah, Islam moderat sebagai bagian dari mata pelajaran pendidikan agama Islam di sekolah, terutama di sekolah-sekolah umum, bukan di madrasah. (*)

* Penulis, Moh Syaeful Bahar, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya dan Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Bondowoso

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES