Kopi TIMES

Syawal: Momentum Kembali Fitrah

Senin, 10 Juni 2019 - 12:42 | 146.78k
Dian Mohammad Hakim.
Dian Mohammad Hakim.

TIMESINDONESIA, MALANG – Syawal merupakan bulan yang identik dengan bulan kemenangan bagi umat Islam. Disebut bulan kemenangan karena pada bulan tersebut umat Islam merayakan momen yang sangat bersejarah sebagai pertanda telah berhasil mengalahkan hawa nafsu selama satu bulan penuh dalam ritual puasa Ramadhan.

Suka cita mengiringi datangnya bulan tersebut. Selain itu, Syawal juga berarti bulan peningkatan. Peningkatan atas capaian di bulan-bulan sebelumnya. Permulaan dari peningkatan itu dapat diraih melalui momen hari kemenagan yang diperingati setiap tanggal satunya yaitu Idul Fitri.  

Idul Fitri merupakan hari raya kesucian umat manusia. Karena itu, sudah sewajarnya manusia merenungi makna Idul Fitri. Fitri atau kesucian adalah asal kejadian manusia dan erat kaitanya dengan hanif yang merupakan suatu sifat dalam diri manusia yang cenderung memihak kepada kebaikan dan kebenaran. 

Syawal sebagai momen Idul fitri sesungguhnya adalah momen kembalinya manusia ke fitrah. Penemuan kembali fitrah manusia setelah melalui penempaan selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan. Penempaan melalui latihan menahan diri dari berbagai godaan, seperti dilambangkan dengan makan, minum serta hubungan biologis.

Esensi dari Idul Fitri tadi berarti kembali kepada sifat-sifat asli manusia sewaktu ia diciptakan. Orang-orang yang telah memasuki syawal akan kembali kepada sifat-sifat aslinya sesuai pada saat Allah menciptakanya karenanya Idul fitri bermakna kembali ke fitrah kesucianya. 

Sejalan dengan kefitrahan manusia tersebut maka setidaknya terdapat lima macam fitrah manusia yang hendak dikembalikan ketika masuk pada bulan syawal atau setelah ditempa dalam puasa.

Pertama adalah fitrah beragama. Ketika manusia berada di alam rahim, manusia telah mengadakan perjanjian dengan Allah SWT sebagaimana termaktub dalam Q.S Al-A’raf 172; Allah bertanya kepadanya; “Adakah Aku ini Tuhanmu? Ruh manusia menjawab; Benar! Engkaulah Tuhan kami dan kami telah bersaksi." 

Untuk lebih menjamin adanya konsekuwensi sikap manusia terhadap perjanjian ketuhanan tersebut, maka dalam setiap sholat yang dilaksanakan, baik sholat fardlu maupun sholat sunnat, terdapat pengakuan yang selalu terucap; “Hanya kepada Engkau kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.“ 

Inilah perjanjian antara seorang muslim dengan Tuhannya dan perjanjian seorang hamba dengan tuanya. Seorang hamba berkewajiban menyerahkan semua ibadahnya hanya kepada Allah dan tidak menyekutukanya. Tidak meminta pertolongan kecuali kepada Allah SWT. 

Kedua adalah Fitrah sosial. Pada saat berpuasa dibangun suatu situasi kehidupan masyarakat yang dilandasi oleh egalitarianisme dan harmonisasi dalam segala aspek kehidupan. Para ahli mengatakan bahwa man is born by social being (manusia terlahir sebagai makhluk sosial).

Tentunya manusia hidup dalam sebuah komunitas, dimana dalam kehidupan bermasyarkat harus dilandasi dengan kasih sayang dan tolong menolong antar sesama. Mustahil akan terbina masyarakat yang baik jikalau anggota-anggotanya saling membenci dan enggan tolong-menolong.

Dimensi sosial ini berfungsi juga untuk membangun kembali sendi-sendi kehidupan sosial agar diperoleh format kehidupan kolektif yang adil dan sejahtera, serta kedekatan kepada Allah sang Maha Pencipta. Maka bulan syawal merupakan momentum yang tepat untuk membangun nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Khususnya nilai-nilai toleransi yang kian hari dirasa kian memudar. 

Ketiga adalah Fitrah Bersusila, manusia juga merupakan makhluk bersusila demikian termaktub dalam sabda Nabi bahwa diutusnya untuk menyempurnakan akhlaq, “Aku diutus untuk menyempurnakan budi pekerti manusia.” 

Terkait dengan hal itulah, pada bulan syawal ini, bisa dijadikan momentum bagi manusia agar mampu mengendalikan diri dari berbagai perkataan-perkataan dusta, umpatan, fitnah dan segenap perkataan-perkataan yang mendatangkan kemarahan Allah dan sengketa serta memicu konflik. Jika manusia mampu mengendalikan diri dari tingkah laku tersebut, maka alangkah indahnya rona kehidupan ini yang terbangun diatas nilai-nilai kedamaian dan persaudaraan sejati. 

Keempat adalah fitrah manusia sebagai makhluk bermartabat. Allah SWT dengan tegas menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang terbaik. Hal ini dinyatakan dalam Firman-Nya; “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia itu dalam sebaik-baik kejadian’ Allah juga menyebutkan dalam Firmanya yang lain; “Dan sesungguhnya telah kami muliakan bani Adam, dan kami beri mereka kendaraan di darat dan di laut dan kami beri rizki dari yang baik-baik dan kami telah lebihkan mereka sebenar-benarnya lebih dari kebanyakan makhluq yang telah kami ciptakan.”

Martabat manusia yang begitu tinggi tadi bisa jatuh apabila tidak pandai mengendalikan hawa nafsunya. Apabila nafsu yang buruk selalu diikuti maka akan rusaklah segala-galanya. Tetapi kalau nafsu sudah terkendalikan maka martabat manusia itu akan tetap tinggi terpelihara. Dengan demikian, momen bulan syawal bisa digunakan sebagai permulaan untuk  senantiasa mengendalikan nafsu dan hendak mengembalikan manusia kepada martabatnya yang tinggi. 

Kelima adalah fitrah suci itu sendiri. Agama Islam mengajarkan bahwa manusia dilahirkan dalam kondisi suci. ‘tiap anak terlahir dalam kondisi suci’. Hal ini berarti, bahwa lingkungan sangat berperan dalam pembentukan karakternya. Apakah dia akan menjadi manusia yang patuh, taat atau ingkar. Oleh karena itu, perlu untuk meperhatikan lingkungan dimana manusia itu tumbuh dan berkembang. Khususnya, lingkungan keluarga harus dibangun dengan nilai-nilai keagamaan. Dengan tujuan manusia dapat tumbuh sesuai fitrah kesucianya. 

Dari kelima fitrah manusia di atas, puncaknya adalah kembalinya kesucian manusia. Dari proses di bulan Ramadhan dan masuk bulan syawal diharapkan mampu terbentuk insan yang muttaqin yang digambarkan dalam wujud kembali kepada kesucianya atau kembali kepada fitrahnya. 

Agama Islam senantiasa mendorong pemeluknya untuk menjadi manusia yang selalu berorientasi pada modus kehidupan, perbaikan dan peningkatan kualitas diri. Sehingga tepatlah apabila bulan syawal dijadikan momentum oleh seorang muslim untuk tidak sekedar ber-Islam dengan menjalankan ritual-ritual ke-Islamanya semata. Akan tetapi, harus menjadi muslim yang memaknai kehidupan ini dengan nilai, etika dan moralitas Islam.  

Bulan Syawal mengingatkan manusia untuk selalu melatih dan mengajarkan ketaatan dan pemenuhan perintah Allah SWT; serta sebuah revolusi diri terhadap segala kebiasaan yang mengukung dan mengikat manusia, disamping sebagai media untuk belajar bersikap sabar dan memupuk keinginan kuat untuk selalu melakukan perubahan kearah yang lebih baik; maka sesungguhnya apa yang digambarkan tentang kembali ke fitrah sebagaimana diuraikan diatas; insya Allah dapat terwujud dan dapat di implementasikan pada perilaku kehidupan kita sehari-hari.

Dengan demikian, hari raya Idul Fitri yang diperingati setiap tanggal 1 syawal yang dirayakan oleh umat muslim diseluruh dunia, tidak saja merupakan deklarasi atas kemenangan yang diperoleh manusia dari sebuah perjuangan besar yakni melawan hawa nafsu, tetapi juga merupakan deklarasi bahwa manusia telah terlahir kembali menjadi hamba-hamba Allah yang suci, bersih dan muttaqin untuk dapat diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. (*)

 

Dian Mohammad Hakim, Ketua unit kajian dan penanaman nilai nilai keaswajaan dan dosen FAI Unisma

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES