Kopi TIMES

Media Sosial Diblokir, Preseden Buruk Penegakan Hukum di Indonesia

Senin, 27 Mei 2019 - 17:14 | 87.96k
Dr. Ibnu Mazjah, SH. MH (Grafis: TIMES Indonesia)
Dr. Ibnu Mazjah, SH. MH (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, BANTENPEMBLOKIRAN sebagian fitur  aplikasi  di media sosial (selanjutnya ditulis pemblokiran) utamanya fitur mengirim gambar dan video tak ayal menimbulkan pertanyaan tentang seberapa besar komitmen dan keseriusan pemerintah terhadap tegaknya negara hukum dan iklim demokrasi di negara ini. 

Betapa tidak, berjalinan dengan pertanyaan a quo, terdapat persinggungan antara tindakan pemerintah yang melakukan pemblokiran  dengan beberapa hal yang bertalian dengan konsep negara hukum.

Di lingkungan negara penganut civil law sistem rechstaat (Indonesia salah satunya) menjadi istilah fenomenal sebagai pengembangan gagasan dari Friedrich Julius Stahl. Unsur-unsur negara hukum dimaksud adalah; perlindungan terhadap hak asasi manusia, pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin pelaksanaan hak-hak tersebut,  tindakan pemerintah harus didasarkan pada ketentuan undang-undang, dan peradilan administrasi dalam perselisihan.

Konsep klasik ini sepatutnya menjadi batu uji guna mengukur upaya  pemblokiran dengan alasan untuk mengamankan negeri (Blokir Kirim Gambar di WA-Medsos, Wiranto: Ini Upaya Amankan Negeri, detik.com 22 Mei 2019). Secara hampir bersamaan, Menkominfo Rudiantara menyebut pemblokiran itu dilakukan karena media sosial menjadi sarana untuk penyebaran berita bohong maupun kabar yang belum jelas kebenarannya.

Alasan tersebut dapat diterima, betapapun dalam derajat tertentu terdapat aspek hukum yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Pengabaian terhadap hukum utamanya ketika dihadapkan pada pengaturan hak atas kebebasan berekspresi meliputi hak untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan ide-ide tanpa memandang batas, baik secara lisan, tertulis atau cetak, dalam bentuk seni, atau melalui media lain yang dipilihnya ( lihat Article19 (2) ICCPR).

Kebebasan berekspresi tanpa memandang batas dalam penyampaiannya tidak diartikan sebagai kebebasan yang sebebas-bebasnya, akan tetapi di dalam pelaksanaannya tetap melahirkan konsekuensi pertanggungjawaban.

Dengan kata lain, pembatasan tidak dimaknai sebagai bentuk pelaksanaan sensor di awal (preliminary censorship) maupun tindakan yang bersifat pelarangan atas hak penyampaian berekspresi, pendapat maupun penyampaian informasi. Pembatasan in casu adalah pembatasan oleh hukum, berupa risiko beban tanggungjawab terhadap pelaku kegiatan yang melanggar ketentuan undang-undang dengan tujuan; menghormati hak reputasi orang lain, perlindungan keamanan nasional atau ketertiban umum, kesehatan masyarakat atau moral (lihat Article 19 (3) ICCPR).

Ruang lingkup pembatasan dalam konvensi itu telah tertuang di dalam ketentuan UU No.19/2016 tentang ITE, yang  menjelma dalam bentuk pertanggungjawaban pidana sebagai ancaman bagi pelaku yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap perbuatan yang memenuhi rumusan delik yang digariskan.

Menjadi pertanyaan kemudian, apabila pengaturan pertanggungjawaban dituliskan di dalam undang-undang, mengapa pemblokiran sebagai upaya pembatasan itu tetap dilakukan? Saya berupaya berbaik sangka, bahwa upaya tersebut  merupakan bagian dari tanggungjawab pemerintah dalam melindungi kepentingan umum dari segala jenis  informasi yang mengganggu ketertiban umum serta  bermuatan yang dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan (Lihat Pasal 40 ayat (2) dan (2a) UU ITE). 

Akan tetapi,  berdasarkan amanat konstitusi, pihak yang memiliki kewenangan untuk  menentukan benar salahnya suatu tindakan in casu informasi yang terkategori sebagai informasi yang mengganggu ketertiban umum dan memiliki konten bertentangan dengan ketentuan perundangan-undangan adalah pengadilan.

Berdasarkan hal itu, upaya pemblokiran secara general terhadap fitur aplikasi di media sosial agaknya terlalu berlebihan karena upaya tersebut menimbulkan penyumbatan terhadap arus besar informasi yang mengalir melalui instrumen media sosial sebagai hak masyarakat secara umum dalam berekspresi khususnya di dunia maya. Di sisi lain, pemerintah dalam melaksanakan tanggungjawabnya mengabaikan due process of law, yang pada gilirannya menimbulkan preseden buruk bagi penegakan hukum serta perlindungan terhadap hak asasi manusia.

*) Dr. Ibnu Mazjah, SH. MH adalah alumnus Program Doktor Universitas Airlangga,  Dosen Pascasarjana Universitas Mathlaul Anwar Banten, Praktisi Hukum, Ketua Dewan Pimpinan Daerah DKI Federasi Advokat Republik Indonesia dan Direktur IBEN LAW OFFICE.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES