Kopi TIMES

Primordialisme dan Ketidakadilan

Senin, 27 Mei 2019 - 11:41 | 191.28k
Moh Syaeful Bahar.
Moh Syaeful Bahar.

TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – TULISAN ini, masih tentang hoaks, masih tentang isu SARA, masih tentang kebencian. Saya kira, perlu banyak orang, banyak tulisan, banyak suara dan banyak penjelasan yang harus mengurai tentang jahatnya hoaks, tentang bahaya isu SARA dan tentang merebaknya kebencian. Semakin banyak yang menulis, semakin banyak yang bersuara dan semakin banyak yang memilih melawan terhadap hoaks, kebencian dan isu SARA, maka, Indonesia akan semakin kokoh tegak berdiri sebagai sebuah bangsa.

Ada berita bohong tentang pasukan Polri yang dikirim dari negara China. Beritanya menjadi viral. Gambar polisi bermata sipit dan memakai penutup wajah langsung tersebar. Tuduhanpun disertakan. Polisi China didatangkan. Untuk kepentingan kekuasaan. Maka, kita wajib melawan, sampai titik darah penghabisan. Begitu kira-kira semangat hoaks yang disebarluaskan. Menakutkan dan mengerikan.

Selang beberapa hari terbongkar, bahwa berita itu hoaks yang sengaja disebar oleh orang-orang yang tak sabar untuk segera mengambil alih kekuasaan.

Kenapa Harus China? 

Pertanyaan ini harus dijawab. Untuk bisa membantu menjelaskan. Bagaimana hoaks menyasar isu yang sangat sensitif, yaitu SARA. 

Sekelompok kekuatan politik di tanah air, sengaja terus membangun narasi bahaya laten China. Karena China adalah kekuatan komunis yang siap mencaplok kedaulatan Indonesia. Hutang negara ke China dijadikan salah satu alasan, bahwa pemerintah telah tunduk pada negara China. Pemerintah berpihak ke asing dan aseng. Selalu begitu ulasan dan penjelasannya. 

Sebagai sebuah kritik, saya setuju dengan narasi bahaya hutang negara pada China. Bukan hanya pada China, pada negara manapun, pemerintah harus berhati-hati, karena ini hutang. Penuh resiko, tak gratis, harus dikembalikan, disertai dengan bunga yang tak sedikit. Salah mengelola, hancurlah ekonomi Indonesia, hancurlah Indonesia.

Tercatat beberapa negara yang rajin memberikan hutang ke Indonesia, seperti Singapura, Jepang, USA, Belanda, Jerman, Perancis dan China. Singapura masih tercatat sebagai negara pemberi hutang terbesar, disusul kemudian Jepang dan China.

Tapi, kenapa harus China yang menjadi sasaran amarah sekelompok masyarakat di Indonesia? Menurut hemat saya, karena ada yang menyulut, ada yang membangun narasi bahaya China. Narasi tersebut, seakan-akan masuk akal, meskipun juga banyak yang konyol dan nampak muslihatnya.

Narasi bahwa China adalah negara komunis, adalah alasan yang paling gampang diterima dan mempengaruhi psikologi massa. Masyarakat percaya bahwa China adalah komunis, komunis adalah atheis, atheis pasti anti Tuhan, anti Islam. Begitu narasi ini dibangun. 

Sebagian masyarakat, percaya narasi ini, mereka menghubungkan sejarah pengkhianatan PKI di tanah air. Trauma kekejaman PKI dijadikan dasar membangun narasi kebencian. Berteman dengan China sama artinya memberi jakan PKI bangkit kembali. Rasa khawatir itu yang menjadi alasan.

Bahwa negara China itu memiliki ideologi Komunis iya, itu benar. Komunisme jelas bersebrangan dan berlawanan dengan ideologi negara kita, Indonesia. Kita wajib waspada pada komunisme. Itu benar juga. Pancasila sebagai dasar negara, dengan tegas mengatakan bahwa negera ini berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini negara berketuhan, meskipun bukan negara agama. 

Namun, tidak bijak dijadikan alasan, jika menolak komunisme lalu kita juga jadikan landasan untuk menolak hubungan bilateral dengan China. Jika itu menguntungkan, kenapa tidak?! Saudi saja, negara yang paling dianggap Islam, juga berhubungan bilateral dengan China. Tak ada protes dari warga Saudi, tak ada protes dari ulama-ulama Saudi. Mereka terus berhubungan baik, terus bekerja sama. Tapi kenapa di Indonesia ramai sekali, di Indonesia resisten? Sekali lagi, saya berkesimpulan, karena ada yang menciptakan, menciptakan kebencian pada China.

Sayangnya, kebencian itu tidak sebatas pada negara China yang komunis dan atheis, tapi berkembang menjadi kebencian pada orang-orang beretnis Tionghoa di Indonesia. Apalagi menjelang dan pasca Pilpres 2019. Tingkat kebencian ke etnis Tionghoa seakan meningkat tajam.

Kebencian dan Ketimpangan Ekonomi

Kebencian pada etnis Tionghoa tak selamanya beralaskan agama. Meskipun alasan agama yang lebih mengemuka. 

Salah satu alasan lain adalah masalah kecemburuan ekonomi, yaitu kesempatan mendapatkan akses ekonomi. Kelompok etnis Tionghoa dipercaya lebih mudah mendapat akses, sedangkan kelompok pribumi tidak. 

Persoalan akses ekonomi ini berkembang, narasi yang menyertai kemudian adalah, sekali orang China mendapatkan akses, maka mereka akan tertutup, ekslusif, hanya sebatas etnis mereka saja, bahkan cendrung mempraktekkan monopoli pasar. Ketimpangan ekonomi menjadi isu yang sulit dibantah. Terus membesar, awalnya hanya laten, namun semakin hari semakin manifes. 

Ketidakadilan ekonomi ini, dipercaya menjadi salah satu pemicu menguatnya sentimen anti China. Kebencian pada etnis China mendapatkan lahan subur dengan realitas ketimpangan ekonomi ini.

Saya kira, telah banyak teori yang menjelaskan fenomena kelompok minoritas yang menguasai pasar, dan itu bukan hanya orang-orang beretnis China yang melakukan, tapi juga dilakukan oleh banyak etnis lainnya. 

Fenomena ini disebut dengan market-dominant minorities. Kelompok minoritas yang menguasai pasar. Di Amerika Latin, misal di Bolivia, pelakunya adalah kelompok minoritas kulit putih. Di Afrika, misal di Kenya pelakunya adalah peranakan India. Di Indonesia dan beberapa negara Asea Tenggara, etnis Chinalah yang memainkan peran ini.

Selama keadilan ekonomi masih menganga, ada jurang memisahkan antara yang minoritas dan mayoritas, maka isu SARA akan sulit dihentikan di negeri ini. Demikian sedikit kesimpukan dari hubungan isu SARA dan ketimpangan ekonomi.

Tapi, sekali lagi, ketimpangan ekonomi ini, tidak boleh dijadikan alasan pembenar untuk membenci orang-orang beretnis Tionghoa. Pribadi-pribadi masyarakat Tionghoa di Indonesia. Mereka sama dengan kelompok mayoritas, mereka juga anak bangsa. Mereka juga manusia yang diciptakan oleh tuhan. Mereka tidak pernah meminta dilahirkan dengan etnis apa, tuhan yang memberi, tuhan yang menuliskan takdirnya, lahir sebagai peranakan Tionghoa dan hidup di Indonesia. 

Islam Datang Memberi Solusi

Rasulullah saw asalah orang yang paling berani menghancurkan sintemen kesukuan. Rasulullah saw menolak primordialisme kesukuan. Masyarakat jahiliyah yang sangat primordialis, pelan dan pasti diubah oleh Rasulullah saw. Karena itu, Rasulullah saw dimusuhi oleh para elit kafir Quraish saat itu.

Kehidupan masyarakat Madinah menjadi contoh sekaligus bukti keberhasilan Rasulullah saw membentuk masyarakat yang plural dan egaliter. 

Rasulullah saw tidak mengistimewakan orang Arab di atas orang non Arab, bahkan, orang-orang yang masih teguh memegang agama nenek moyangnya, masih tetap beragama Nasrani atau Yahudi, memiliki posisi yang sama di hadapan negara, di Madinah. Mereka semua diikat oleh sebuah perjanjian bersama yang disebut dengan piagam Madinah.

Beberapa sahabat pilihan nabi, juga bukan dari suku Arab. Misal, Salman al Farisi yang berkebangsaan Persia dan Shuhaib ar Rumi yang berkebangsaan Roma. Keduanya menjadi sahabat pilihan, sangat dekat dan dicintai Rasulullah saw. Peran keduanya juga vital dalam sejarah Islam. Selain keduanya, ada juga Bilal bin Rabah. Budak hitam yang hina dina. Namun, sejak Islam datang, menghapus diskriminasi atas nama apapun, maka posisi Bilal menjadi sangat penting. Peran Bilal juga sangat vital dalam masyarakat Madinah. 

Begitulah masyarakat Madinah, masyarakat tanpa diskriminasi. Masyarakat yang egeliter. Masyarakat yang dibentuk oleh Rasulullah saw. Contoh sempurna pola hubungan antar manusia, antar warga negara dalam ikatan cinta tanah air dan cinta sesama. Masyarakat yang berhasil mengganti ikatan primordial menjadi d
ikatan kemanusian dalam bingkai penghambaan pada nilai-nilai ketuhanan. 

Seharusnya, Indonesia juga mencontoh apa yang dipraktikkan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya di Madinah. Pancasila sebagai dasar negara cukup menjadi modal mewujudkan masyarakat yang egaliter dan berkeadilan seperti masyarakat Madinah.

Islam juga sangat memperhatikan semangat keadilan. Keadilan ekonomi juga diperhatikan. Islam tidak mentolerir monopoli, Islam tidak mentolerir keserakahan. Islam membenci kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang. Islam mengutuk prilaku pelit dan kebakhilan. 

Itulah Islam. Islam yang mengajarkan keadilan dan kesamaan. Karena, dalam landangan Islam, tak mungkin menciptakan masyarakat yang egaliter, jika keadilan masib belum bisa ditegakkan. Keadilan menjadi kata kunci yang sangat penting dalam kehidupan.

Jika Indonesia ingin bebas dari kebencian, keadilan ekonomi juga harus diperhatikan, dicarikan jalar keluarnya. Dicarikan solusinya. Wallahu a'lam..... (*)

 

*Penulis, Moh Syaeful Bahar, dosen UIN Surabaya dan Pengurus Cabang NU Kabupaten Bondowoso

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES