Kopi TIMES

Pelajari Akhlaknya, Karena Akhlak adalah Jendela Hatinya

Minggu, 26 Mei 2019 - 09:55 | 68.39k
Moh Syaeful Bahar, dosen UIN Surabaya dan Pengurus Cabang NU Kabupaten Bondowoso (Grafis: TIMES Indonesia)
Moh Syaeful Bahar, dosen UIN Surabaya dan Pengurus Cabang NU Kabupaten Bondowoso (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Dawuh guru saya, KH Zuhri Zaini, semua aktivitas fisik, adalah cerminan hati. Hati menjadi pusat segalanya. Hati yang akan menuntun akal dan pikiran. Dari akal dan pikiran muncul perbuatan. 

Untuk memperbaiki perbuatan tidak cukup belajar menyusun kata-kata yang penuh kesopanan, untuk memperbaiki akhlak yang benar tidak cukup dengan belajar sopan santun dalam perbuatan, tapi, untuk memperbaiki perkataan dan perbuatan yang benar, kita perlu mendidik hati agar selalu terjaga dari penyakit-penyakit hati yang membutakan. Demikian kira-kira pesan beliau, di beberapa kesempatan.

Intinya hati. Mau senang, mau bahagia, mau susah, mau sedih, semua kembali ke hati. Bagi mereka yang telah berhasil menata hati, tak ada kata sedih, galau, susah, marah dan buruk sangka. Mereka, orang-orang baik ini, mempercayai bahwa semua sudah skenario tuhan. Tuhan yang merencakan dan tuhan yang menentukan, padahal, semua yang direncanakan dan ditentukan oleh tuhan adalah kebaikan. Kebaikan untuk kita, para hambanya. Pilihan terbaik dari semua kebaikan yang direncanakan. Kehendak tuhan menjadi keyakinan. 

Meskipun, kadangkala, pilihan tuhan tersebut tak sesuai dengan harapan. Tapi, percayalah, bahwa itu adalah kebaikan, pemberian terbaik dari tuhan bagi kebaikan kita.

KH Zuhri Zaini juga mengatakan bahwa, tidak ada aktivitas kita yang tak lepas dari campur tangan tuhan. Karena itu, bagi mereka yang telah wushul (hatinya telah mencapai Allah), tak akan lagi melihat peran dirinya, namun semua disimpulkan sebagai kehendak tuhan, karya tuhan, tuhan semesta Alam. 

Hidup dengan cara pandang ala pesantren ini, akan terasa nikmat. Hidup menjadi penuh gairah, tak ada beban, semua menyenangkan. Penuh harapan. Penuh kebahagiaan. 

Memilih Guru dan Teman

Dalam kitab Hikam, karya Ibnu 'Athaillah, menjelaskan tentang korelasi hati dan tindakan kita. Kata Ibnu 'Athaillah, man ustuudi'a min ghaibis saraa iri zharaa fii syahaadatizh zhawaahiri, kira-kira terjemahannya adalah berikut, "sesuatu yang tersimpan dalam batin, sesuatu yang rahasia dalam batin akan muncul, nampak, terlihat keluar dalam tindakan dan sikap lahiriah".

Pesan Ibnu 'Athaillah ini, sangat relevan dengan kondisi kekinian. Terutama mereka yang sedang haus ilmu pengetahuan. Orang-orang urban yang hidup di perkotaan. Mereka berlomba mencari kebenaran. Sayangnya, di antara mereka ada yang salah jalan, belajar pintar dengan cara pintas yang instan.

Tak jarang, mereka berguru dengan cara sepenggal-penggal. Tidak pernah bertatap muka dengan guru, tapi hanya menyaksikan dalam layar monitor melalui youtube dan google. Akhirnya, agama dipahami sepenggal-sepenggal.

Mencari informasi dengan cara menyaksikan tayangan youtube dan mesin pencari google tidak salah, tapi tidak tepat. Apalagi dalam konteks kajian keagamaan. Tak bisa, bisa salah, bisa menyesatkan. Bisa saling melemahkan, antara satu dalil dengan dalil yang lain. Bukannya kejelasan yang didapat tapi kacau balau pemahaman yang tumbuh.

Fenomena berguru dengan cara di atas sedang marak terjadi. Beberapa orang kota yang mendapati problematika hukum agama, tak segan mencari informasi melalui google, karena itu bisa menjawab dengan cepat dan instan. 

Maka tak heran, para ustad medsos lebih unggul, lebih digemari dibandingkan guru-guru di langgar, di masjid dan di pesantren-pesantren. Terutama bagi mereka yang hidup di kota. Mereka yang tidak punya banyak waktu untuk datang dan ngaji langsung ke kiai-kiai. Mereka yang mencari cara praktis mendapatkan informasi pengetahuan. 

Kenapa harus orang kota? Karena semangat keagamaan orang kota sedang tumbuh. Anak-anak muda, para profesional, orang berduit, para bos bahkan para artis, sedang gemar hijrah. Pindah tempat, dari tempat yang gersang sentuhan agama menjadi penuh semangat keagamaan. 

Mereka rajin mencari tahu tentang agama, untuk menenangkan hati dan jiwanya yang terhimpit di tengah rutinitas duniawi. Rutinitas yang garing dan gersang.

Padahal, sejatinya, belajar tentang agama itu harus melalui guru. Guru yang sanad (rantai keulilmuan) keilmuannya, nyambung hingga ke sumber ilmu, yaitu Nabi Muhammad saw. Tanpa guru, tanpa sanad keilmuan, kita wajib curiga, bahwa ilmu agama yang disampaikan tidak valid dan tak soheh kebenarannya.

Maka, dalam tradisi pesantren, sanad keilmuan dan guru adalah kata kunci mendapatkan ilmu agama yang benar, ilmu agama yang terjaga kemurniannya sesuai dengan praktek yang dicontohkan Rasulullah saw.

Akhirnya, kata kunci untuk mendapat pemahaman keagamaan yang benar, adalah guru. Guru yang memiliki guru-guru yang benar, guru-guru yang memiliki kapasitas serta integritas.

Oleh sebab itu, sebelum mencari ilmu, hal utama yang harus dilakukan adalah mencari guru. Guru yang akhlaqnya benar, ilmunya luas, prilakunya sesuai dengan apa yang diajarkan. Jangan sekali-kali membenarkan sebuah informasi atau bahkan menerima ilmu tanpa mengetahui siapa yang menyampaikan. 

Peristiwa isra' mi'raj Nabi Muhammad saw mengajarkan tentang hubungan informasi dan siapa yang membawa informasi. Jika hanya mengandalkan akal, maka sulit menerima kebenaran peristiwa isra' mi'raj nabi. Bagaimana mungkin, jarak yang jauh, dapat ditempuh dalam waktu singkat. Tak heran jika banyak orang yang menyangsikan peristiwa isra' mi'raj. Tapi, bagi para pencari kebenaran sejati, semisal sahabat Abu Bakar ra, informasi itu dapat dipercaya jika si pembawa kabar adalah orang yang dapat dipercaya pula. Karena yang menyampaikan adalah Rasulullah Muhammad saw, sang al amin, orang yang sangat dipercaya, maka, saat itu pula, sahabat Abu Bakar ra mempercainya. Karena itu pula, dia mendapat gelar asshiddiq.

Begitulah, hubungan antara informasi, ilmu dengan pembawa informasi atau guru. 

Karena itu, carilah guru yang dapat dipercaya. Lihat tindak tanduknya. Karena tindak tanduknya adalah cerminan apa yang ada dalam pikirannya. Sedangkan, pikirannya adalah cerminan apa yang ada dalam hatinya. Jika seorang guru, memiliki tabiat buruk, seperti sering menebar fitnah, menebar buruk sangka, menebar kebencian, sering mengumpat dan senang mencaci, maka segera tinggal dia, dia belum pantas dijadikan guru.

Selamat mencari guru, selamat mencari ilmu pengetahuan, selamat mencari kebenaran. (*)

*) Penulis, Moh Syaeful Bahar, dosen UIN Surabaya dan Pengurus Cabang NU Kabupaten Bondowoso

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES