Kopi TIMES

Yang Superfisial Pasti Kalah

Sabtu, 25 Mei 2019 - 12:10 | 180.56k
Moh Syaeful Bahar, dosen UIN Surabaya dan Pengurus Cabang NU Kabupaten Bondowoso (Grafis: TIMES Indonesia)
Moh Syaeful Bahar, dosen UIN Surabaya dan Pengurus Cabang NU Kabupaten Bondowoso (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, BONDOWOSOTULISAN ini masih tentang hoaks. Tentang kabar bohong. Tentang pernyataan bohong. Tentang kebohongan yang diproduksi oleh si pembohong, disebarkan oleh si culas dan dipercaya oleh si bodoh. 

Sebagian pengamat komunikasi mengatakan, bahwa bahaya hoax tidak sejahat hate speech, ujaran kebencian. Misal, berita bahwa Ronaldo, sang bintang Juventus itu, dikabarkan pindah kenegaraan, dari Portugal ke Indonesia demi bisa memperkuat Timnas sepak bola Indonesia. Ini jelas hoaks, tapi tak berbahaya, malah lucu. Tak ada resiko serius menyertai, orang pinter pasti tak mempercayai, hanya orang yang nemen bodohnya yang mungkin percaya dan mau berdebat tentang kebenarannya.

Beda dengan hate speech. Benar atau tidak benar, dilakukan dengan serius atau tidak serius tidak berimplikasi serius. Ujaran kebencian tetap menyimpan luka dan membuka peluang saling balas, saling serang, saling bermusuhan. Misal, seseorang nyinyir dengan kinerja Jokowi, lalu dikatakan Jokowi hanya antek asing dan aseng, Jokowi tak pantas jadi presiden, bahasa Inggrisnya buruk dan lain sebagaimana. Atau, tuduhan bahwa Amin Rais adalah sengkuni dalam serial drama politik tanah air, selalu menjadi faktor keruhnya dinamika politik dan lain sebagainya. 

Semua tuduhan di atas adalah hate speech. Ujaran kebencian yang berbahaya, memancing di air keruh, bisa menjadi penyebab dari kekacauan politik dan sosial yang lebih luas. Berbahaya, sangat berbahaya. Pelakunya pasti jahat, tak punya nurani, hatinya penuh dengan kebencian. 

Saya secara pribadi setuju dengan pendapat di atas, bahwa hate speech lebih berbahaya dari hoaks, meskipun, saya tetap tidak setuju dengan hoaks. Karena itu berbahaya, karena hoax dilarang oleh agama, karena nurani menolak dan tak membenarkannya.

Apalagi, hoaks di kondisi seperti saat ini. Kericuhan dan demonstrasi massa yang mulai anarkhis dan sulit terkendali. Sangat berbahaya. Setingkat bahayanya dengan hate spech yang menebar benci.

Hoaks dan Hate Speech Diproduksi

Mahfud MD pernah menyatakan bahwa hoax dan hate speech di Indonesia ada yang memproduksi, massal. Disengaja, dengan design yang rapi dan terorganisir. Dilakukan oleh pihak-pihak yang tak ingin Indonesia berhasil mengkonsolidasi demokrasi. Adu domba adalah target mereka, ricuh adalah tujuan mereka, kerusuhan sosial dan politik adalah kemauan mereka. 

Pernyataan Mahfud MD benar. Masuk akal. Mudah dinalar. Bagaimana mungkin, narasi kebohongan dan kebencian bisa silih berganti muncul dan tenggelam secara teratur di media sosial dan media chat dalam waktu yang teratur dan berpola. Jika sebelumnya Jokowi yang diserang, tiba-tiba balasan bermunculan, menyerang Prabowo. 

Narasinya beragam, dari yang halus, menggiring opini, sampai ke bahasa yang vulgar, kasar dan menghujam emosi. Semua berpola, teratur dan termanej dengan baik. Pasti ada yang mengatur, pasti ada yang mengorganisir. Begitu kesimpulan Mahfud MD. Saya percaya tesis ini. Percaya analisis Mahfud MD. Saya percaya integritas seorang Mahfud MD.

Lambat laun, upaya pihak ketiga ini berhasil. Berhasil mengadu domba. Pihak yang mendukung Jokowi maupun Prabowo termakan. Mereka panas dingin tiap kali jagoannya didiskriditkan. Disalah-salahkan. Dijelek-jelekkan. Mereka akhirnya bangkit, melawan, menyerang kembali serangan lawan. Dilakukan secara individual atau karena ikatan primordial, semua saling serang. Pihak ketiga menjadi senang, mereka merasa menang, mengelabui lawan dan kawan.

Pernyataan Mahfud MD sebenarnya adalah sebuah warning, peringatan bagi kita semua. Mahfud MD mengingatkan bahwa Indonesia sedang rawan, rawan di adu domba oleh lawan. Bangsa Indonesia harus waspada dan cerdas menyikapi, jangan mudah terpancing dan gampang memutuskan. Hati-hati membaca pesan berantai, jika tak sanggup mengungkap benar atau salah sebuah pesan lebih baik diam, tak usah ikut serta menyebarkan kekacauan.

Cerdas Memahami Sebuah Pesan

Tuhan memang tak akan tinggal diam. Pasti datang memberikan kejelasan dan kebenaran. Tapi itu setelah kita telah berjuang, untuk mengungkap kebatilan dan mengganti dengan kebenaran. 

Al Qur'an menjamin hal itu. Kata al Qur'an, kebatilan, kebohongan itu seperti buih, dia tak akan bertahan lama, dia hanya nampak di permukaan arus, sepertinya kokoh dan banyak, padahal tidak, dia rapuh dan tak banyak. Begitu dalam surah al Ra'd ayat 17 Allah menjelaskan.

Begitu pula dengan hoaks. Sepertinya benar, bergelombang, besar, menerpa semua orang, menerjang semua pihak, seakan dia adalah kebenaran. Datang dan tak bisa dibendung. Seakan-akan begitu. Tapi itu hanya seakan-akan. Karena, ketika kebenaran datang habislah mereka, tak akan bertahan.

Dulu, ketika Orde Baru masih berkuasa. Sejarah dikendalikan. NU yang memiliki peran tak sedikit dalam upaya kemerdekaan, sama sekali tak tertulis dalam sejarah bangsa. Perang besar di Surabaya dalam peristiwa heroik 10 November 1945, adalah buah Resolusi Jihad yang disampaikan oleh NU, oleh Hadratus Syeh KH. Hasyim As'ari. Perlawan Santri dan masyarakat Islam di Surabaya dan sekitarnya adalah bentuk kepatuhan kepada Kiai, kepada NU serta kecintaannya pada Indonesia.

Namun dalam sejarah nasional versi Orde Baru, sejaraj yang diajarkan di sekolah-sekolah, apa yang dilakukan NU dan Kiai di atas tak pernah disampaikan, bahkan dibelokkan. Untuk apa? Untuk menutup kebenaran. Menutup catatan sejarah NU yang gemilang. Kenapa demikian? Karena selama Orde Baru, NU lantang menentang praktek ketidakbenaran Orde Baru. 

Tapi, sekali lagi, ketika kebenaran telah datang, kebatilan, kebohongan pasti tenggelam. Sekarang, semua orang tahu bahwa peristiwa 10 Novermber 1945 tak bisa lepas dari peristiwa 22 Oktober 1945, yaitu di saat Hadratus Syeh KH. Hasyim As'ari dan para kiai NU mengeluarkan maklumat resolusi Jihad. Upaya Orde Baru mengubur sejarah NU sia-sia, kebenaran akhirnya datang, muncul menceritakan sejarah yang sebenarnya.

Itulah hakikatnya, yang superfisial pasti redup, hilang diganti yang benar dan haq. Hanya persoalan waktu, kapan. Itu saja. 

Kembali ke hoaks, berita bohong yang diproduksi masal. Bagaimana kita menyikapinya? Lawan. Hanya itu, lawan. Bagaimana caranya? Bertahap. Ada tahapan yang harus dilakukan. paling tidak, ada lima tahapan awal yang harus dilakukan.

Pertama, pahami dengan hati-hati pesan yang disampaikan. Pelajari konteks yang menyertai pesan. Karena pada dasarnya tak ada pesan yang bebas dari konteks pesan. Setiap pesan pasti ada latar yang menyertainya. Dengan memahami konteks dan pesan, maka pembaca atau pemirsa dapat meletakkan posisi pesan dalam bingkai yang adil.

Kedua, pelajari siapa yang menyampaikan pesan. Ini penting, sangat penting. Siapa yang menyampaikan pesan akan berpengaruh langsung pada kualitas pesan. Jika yang menyampaikan seorang politisi, seorang partisan, kita wajib curiga, bahwa pesan telah diolah sesuai dengan kepentinganya, kepentingan kelompoknya. Memahami penyampai pesan harus dikonfirmasi dengan rekam jejak dia. Siapa dia? Bagaimana masa lalunya? Bagaimana prilakunya? Bagaimana komitmennya? Bagaimana integritasnya? Begitulah seterusnya. Jika dia ternyata orang yang tak memiliki integritas yang baik, tak memiliki komitmen yang baik, ya sudah, segera tutup pesan tersebut. Hentikan di Hp anda. 

Ketiga, pelajari media yang menjadi sumber pesan. Ini juga tak kalah penting. Akibat demokrasi yang menjamin kebebasan pers, media-media banyak bermunculan. Ada beberapa media yang memang baik, menjalankan fungsi media dengan baik, namun juga ada media partisan, yang tiba-tiba lahir dan bekerja.

Media semacam ini, biasanya tak disertai profesionalisme para pengelolanya. Mereka sekadar terbit untuk menyuplai berita-berita yang menguntungkan kepentingan kelompoknya. Beritanya dibuat seakan-akan benar, fakta dan data dibelokkan sesuai kepentingan kekuasaan. 

Media semacam ini yang seringkali menyebar dan menebar hoaks dan hate speech. Maka, berhati-hatilah jika menemukan media semacam ini. Beritanya pasti tak berimbang, sumber informasinya pasti juga tak tepat dan data yang disajikan juga dapat dijamin dangkal dan tak akurat.

Keempat, beri kesempatan tabayyun atau klarifikasi dan konfirmasi bekerja. Untuk memastikan benar atau tidaknya sebuah pesan, sebuah berita, beri kesempatan klarifikasi dan konfirmasi bekerja, mencari sumber-sumber pembanding, mencari kebenaran dari sumber lain. Memang butuh sabar, tapi itulah resiko mencari kebenaran.

Kelima, beri kesempatan hati nurani menentukan. Beri waktu hati nurani untuk merenung, apakah berita atau pesan ini baik atau tidak? Apakah berita ini penting untuk disebarluaskan atau tidak? Apa manfaat dan mudharatnya jika disebarluaskan? Biar hati nurani mempertimbangkan. Jika bermanfaat, sebarkan, jika tidak, cukup berhenti di Hp kita. Selesai....(*)

* Penulis, Moh Syaeful Bahar, dosen UIN Surabaya dan Pengurus Cabang NU Kabupaten Bondowoso

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES