Kopi TIMES

Mau Jadi Cecak atau Jadi Kodok?

Kamis, 23 Mei 2019 - 17:01 | 87.40k
Moh Syaeful Bahar.
Moh Syaeful Bahar.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Lantaran demo massa atau aksi 22 Mei yang berakhir ricuh, kemaren (Rabu, 22/Mei/2019) pemerintah melakukan kebijakan pembatasan penggunaan media sosial dan media chat. FB, IG dan WhatsApp menjadi lemot, bahkan tak jarang yang benar-benar terblokir, down

Menurut pemerintah, ini salah satu cara menghindari dan meminimalisir provokasi yang kerap muncul di medsos dan media chat. Pernyataan Menkopolhukam Wiranto dan Menkominfo Rudiantara telah menegaskan maksud dan tujuan pemerintah melakukan blokir pada medsos dan media chat.

Bertahap dan hanya sementara waktu, berkisar tiga hari ke depan. Melihat dan mempertimbangkan situasi dan kondisi demonstrasi menolak Pilpres di Jakarta. Begitu kata Menkopulhukam Wiranto pada awak media. 

Pro dan kontra langsung bermunculan. Bagi yang pro, apa yang dilakukan pemerintah dianggap sudah tepat. Antisipasi dan mempersempit ruang sebar hoax dan provokasi tak kalah pentingnya dengan mengendalikan demonstrasi yang berakhir rusuh di Jakarta. Begitu salah satu alasan pembenar dari kelompok yang pro kebijakan ini. 

Mereka khawatir, jika medsos dan media chat tak dikendalikan, berita tentang kekerasan dan berita-berita kerusuhan akibat demo di Jakarta akan dimanfaatkan oleh pihak ke tiga, pihak yang tak bertanggungjawab, pihak-pihak yang menginginkan Indonesia terpecah belah. Dan kekhawatiran itu sejalan dengan penjelasan ketua FPI DKI Jakarta, Habib Muhsin, bahwa, kerusuhan yang terjadi telah ditunggangi oleh pihak ketiga.

Bagi pihak yang kontra, kebijakan pemerintah hanya akan menjadi bumerang. Kebijakan ini akan menjadi bukti bahwa pemerintah telah melakukan tindak otoriter. Pemerintah telah memberangus kebebasan berserikat dan berpendapat. Medsos sebagai media alternatif telah diberangus.

Rakyat digiring untuk hanya mengakses informasi dari media-media mainstream, padahal, media-media mainstream tersebut telah dibeli oleh pemerintah, dikondisikan oleh pemerintah. Kebijakan ini hanya memperkuat asumsi bahwa pemerintah telah melakukan otoriterisme. demikian sebagian tuduhan kelompok kontra kebijakan ini. 

Jadi Api atau Jadi Air

Mengamati dan mengikuti perkembangan di Jakarta, menjadi penting memposisikan diri. Kita mau jadi api, jadi kompor, jadi bensin yang ikut memperbesar api kebakaran atau kita jadi air, jadi embun, jadi hujan yang siap menyejukkan suasana yang sedang panas memanggang.

Posisi ini yang seharusnya kita pikirkan, kita renungkan. Saya ada di posisi mana? Saya mau jadi api atau saya jadi air? Hanya nurani yang bisa menjawab. Tentu tidak mudah memilih dua pilihan ini. Apalagi, bagi mereka yang sudah sedari awal fanatik mendukung salah satu calon presiden. Berat melakukan ini, berat menjadi air yang siap menyejukkan suasana, jauh lebih mudah terus menjadi kompor, jadi api, jadi bensin. 

Kelompok yang pro 01, terus saja ejek kelompok yang kalah, pasti itu menyenangkan. Mentertawai kelompok kalah memang memuaskan. Memuaskan nafsu, sekadar nafsu. 

Bagi yang kalah, terus serang yang menang, terus umbar kecurangan yang menang, dengan data atau hanya sekadar bersumber dari cerita-cerita. Terus pojokkan yang menang, terus kobarkan api perlawanan, yang penting puas, puas mengumbar nafsu amarah. 

Menjadi api atau menjadi kompor adalah cerminan, cerminan hati seseorang. Begitulah isi hatinya, begitulah prilakunya, begitulah isi otaknya. Isi hati menggerakkan otak, lalu otak menggerakkan prilaku. Begitu hukum alamnya. Maka, jika melihat seseorang menjadi kompor, jadi api, maka itulah dia. Itulah hatinya. 

Seseorang yang dipenuhi nafsu, dia tak akan mempertimbangkan apa akibat dari status yang dia buat. Buat saja, buat sebanyak mungkin, yang penting lawan dipojokkan. Semakin sering, semakin banyak orang yang baca, lebih banyak orang yang terpengaruh, semakin puas nafsunya. Melalui FB, Twitter, IG, pesan berantai di Whatsapp hingga ke sms, semua isinya adalah provokasi. Dalih utamanya, ini perjuangan, kita harus lawan kedholiman, kita tidak boleh diam dengan kemungkaran. 

Berbeda dengan orang-orang yang memilih jadi air, jadi embun, jadi hujan di tengah terik matahari. Mereka akan berpikir matang dulu, bertanya dulu ke nuraninya, apa ini pantas? apa ini memberi manfaat? apa ini tidak melahirkan mudhorat? Dan seterusnya. Hati selalu jadi rujukan, hati yang menentukan.

Dia rela dibully, diserang kiri kanan karena dianggap tak tegas, dinilai tak berani di posisi yang melawan bahkan kadang dituduh tak sensitif Islam. Dituduh tak pro Islam, tak pro ulama dan ummat. 

Tapi dia tetap jalan, tetap tebar kesejukan. Karena bagi orang-orang yang telah rela jadi air, tak penting penilaian manusia, bagi mereka, hanya nilai dan pandangan tuhan yang paling diharapkan. 

Sebutlah sosok penyejuk itu, Gus Mus (KH. Musthofa Bisri) dan Habib Prof. Dr. Quraish Shihab, dua orang alim yang sering dibully, diserang bahkan difitnah karena dianggap tak tegas membela Islam. Namun, serangan itu, sama sekali tak mengganggu keduanya, mereka berdua terus menebar kesejukan, keindahan Islam dalam kedamaian hubungan kemanusiaan. Mereka tak terbang karena pujian, dan tak jatuh karena cacian. 

Jadi Cecak apa Jadi Kodok?

Dalam cerita Islam, tepatnya dalam sejarah nabi Ibrahim as, ada cerita menarik tentang kodok dan cecak. Karena sejarah itu, kodok hingga sekarang, dalam pandangan Islam dihormati dan karena sejarah itu pula, cecak menjadi makhluk terhina.

Dalam sejaran nabi Ibrahim, karena perjuangan dakwah dan karena perlawanan nabi Ibrahim pada raja Namrud, nabi Ibrahim akhirnya dihukum, yaitu dibakar hidup-hidup. Al Qur an menceritakan sejarah ini. Dengan takdir Allah, api yang membakar nabi Ibrahim tak bisa membakarnya, justru menjadi dingin dan menyelamatkan nabi Ibrahim. Singkat cerita, nabi Ibrahim selamat.

Dari narasi besar sejarah tersebut, ada narasi kecil yang banyak diceritakan di pesantren-pesantren, yaitu keterlibatan dua binatang kecil, kodok dan cecak.

Dalam sejarah disebutkan bahwa, kodok tak terima dengan perlakuan raja namrud, dia tak terima nabi Ibrahim dibakar. Dia berusaha sekuat tenaga untuk membantu nabi Ibrahim. Si kodok melompat ke sungai, meminum air sebanyak mungkin lalu menyemprotkan air tersebut ke api yang membakar nabi Ibrahim. Terus berulang demikian. Tentu usaha kodok tak mendapatkan hasil, api tetap membara, semakin besar. 

Kodok tahu, bahwa usahanya tak akan menghentikan raja namrud dan akan berhasil memadamkan api. Tapi dia mempertegas posisinya, mempertegas statusnya, dia di pihak nabi Ibrahim. Titik. Posisi ini yang dihormati oleh Allah. Pilihan berada di posisi membela nabi Ibrahim dan menolak kemungkaran raja Namrud ini yang dinilai pahala oleh Allah. Bukan hasil, tapi usaha dan posisi yang dipilih. 

Beda dengan cecak. Dia memilih di posisi raja Namrud. Dia membantu api membesar dengan cara niup api agar semakin membara. Meskipun usaha dia itu tak akan berpengaruh pada kobaran api. Tiupannya tak berpengaruh, terlalu kecil pengaruhnya pada api yang sudah membara. Tapi, karena pilihannya, posisinya, statusnya yang memusuhi nabi Ibrahim, maka dia dihinakan oleh Allah.

Dari cerita kodok dan cecak, semestinya kita ambil pelajaran, mengambil hikmah. Kita berada di posisi mana? Ikut menjadi bagian dari api, memperbesar kobaran api, seperti prilaku cecak tadi, atau kita sekuat tenaga, meskipun usaha itu akan sia-sia, berusaha memadamkan api, seperti sikap yang dipilih oleh kodok. Silahkan pilih, silahkan renungkan.....Wallahu a'lam(*)

 

*Penulis, Moh Syaeful Bahar, dosen UIN Surabaya dan Pengurus NU Bondowoso.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES