Kopi TIMES

Khawarij, Korban Cinta dan Politik Akal Sehat

Selasa, 21 Mei 2019 - 23:51 | 393.50k
 Ahmad Patoni, S.S, Kepala Madrasah Diniyah Salaf Modern Thohir Yasin Lendang Nangka, Masbagik, Lombok Timur, NTB. (GRAFIS: TIMES Indonesia)
Ahmad Patoni, S.S, Kepala Madrasah Diniyah Salaf Modern Thohir Yasin Lendang Nangka, Masbagik, Lombok Timur, NTB. (GRAFIS: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MATARAM – Pada dasarnya, semua kondisi hari ini (termasuk peristiwa politik) adalah pengulangan dari setiap peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu. Akan tetapi bukan berarti kita bersikukuh mengatakan, setiap peristiwa adalah pengulangan. Karena berbicara pengulangan adalah perwujudan sama, dengan peristiwa yang diulangi.

Pengulangan peristiwa yang dimaksud oleh penulis adalah terjadinya peristiwa yang sejatinya hampir mirip seperti peristiwa yang pernah ditulis oleh sejarah. Akan tetapi: situasi, kondisi dan perkembangan daya nalar dan pikir manusia yang membuat seolah semua peristiwa terlihat seperti natural dan peristiwa baru. 

Berbicara sejarah Islam, tentunya kita tidak asing dengan istilah Khawarij (Pembelot/Pembangkang). Mengambil istilah Syahristani, Khawarij adalah kelompok penentang pemerintah yang sah. Mereka keluar dari barisan pemerintah karena tidak terima dengan keputusan politik/tahkim di Daumatul Jandal.

Mereka merupakan kelompok yang menjadi momok menakutkan bagi kelompok umat muslim pada waktu itu. Mereka, tidak takut menumpahkan darah siapa saja yang dianggap tidak sejalan dengan alur pemikiran, pilihan politik/akal sehat versi mereka. 

Mereka ini merupakan kelompok yang sangat taat dan cinta sekali dengan perjuangan Islam, dimana tokoh-tokoh mereka adalah kaum Muslim taat dalam menjalankan ibadah.

Mereka juga terkenal dengan kelompok yang sangat gemar membaca Al-Quran, sehingga banyak dari tokoh mereka yang hafal Al-Quran. Termasuk salah satu tokoh mereka yakni Abdullah Ibnu Muljam, seorang penghafal Qur'an juga yang rajin puasa sunnah dan tidak lepas Sholat Tahajjud.

Abdullah Ibnu Muljam adalah seorang tokoh Khawarij yang membunuh Sayyidina Ali, mmenantu Nabi, sahabat utama, pintu ilmu pengetahuan dan satu diantara sepuluh orang yang dijanjikan masuk surga oleh Baginda Nabi). Nyawa seorang sahabat utama Nabi ini bisa melayang hanya karena Sayyidina Ali dianggap tidak sejalan dengan akal sehat/harapan politis mereka. 

Kaum Khawarij berpikiran, Sayyidina Ali tidak boleh lembek dalam bersikap. Seharusnya Sayyidina Ali tegas menyikapi kelompok Muawiyyah yang meminta berdamai. Mereka tambah marah dengan Sayyidina Ali setelah terjadi proses politik/tahkim (perjanjian damai dan kesepakatan) yang berdampak pada hilangnya jabatan khalifah/Raja dari pundak Sayyidina Ali.

Mereka menilai Sayyidina Ali kalah strategi oleh kelompok Muawiyah yang dipimpin oleh Amru Ibnu As. Saat itu, kelompok delegasi Sayyidina Ali dipimpin oleh Abu Musa Al Asy'ari (seorang sahabat wara' dan sangat tulus). 

Proses politik/tahkim menjadi awal tumbangnya Khilafah Sayyidina Ali. Bagi kaum Khawarij, proses politik ini sangat penuh dengan kecurangan. Penuh tipu muslihat dan sudah tidak sesuai dengan koridor yang digariskan ajaran Islam seperti yang difahami kaum Khawarij selama ini.

Sebagai tokoh Muslim, seharusnya Sayyidina Ali melawan dan berani berperang kembali demi menegakkan kejujuran dan keadilan. Sedangkan dari pihak Sayyidina Ali, menganggap, menerima hasil proses tahkim/proses politik adalah keniscayaan.

bagaimanpaun akan ditolak, semua proses politik sudah berlangsung. Di satu sisi tahkim/proses politik kelihatan sangat penuh tipu muslihat,  Tapi Sayyidina Ali sangat paham, semua ini sudah terjadi dan ini sebuah pelajaran dan bukti kelengahan dari pihak Ali sendiri yang tidak peka dan paham ending dari proses diplomasi politik di tahkim itu. 

Jiwa Besar sayyidina Ali, saat menerima hasil tahkim adalah puncak kekecewaan kelompok Khawarij. Dikarenakan secara politik,  ketika Sayyidina Ali tidak lagi berada pada puncak kepemimpinan. maka ruang politik sudah tidak ada lagi. Karena jika kita tarik kembali, sebagian tokoh Khawarij adalah kelompok yang dulu pernah ikut menumbangkan pemerintahan Sayyidina Usman.

Artinya, ketika mereka akan bergabung lagi ke pemerintahan Muawiyyah, sama halnya bunuh diri dan menyerahkan nyawa secara gratis. Sejak awal mereka sangat paham visi utama pemerintahan Muawiyyah adalah menumpas kelompok yang pernah terlibat dalam penggulingan Sayyidina Usman yang merupakan keluarga dekat Muawiyah. 

Ketika ruang politik sudah sangat tertutup, salah satu langkah yang diambil adalah keluar dari kedua kubu. Keluar dari kelompok Sayyidina Ali dan menentang pemerintahan hasil diplomasi di Tahkim. Kehadiran Khawarij (Kelompok pembangkang), bukan hadir secara serta merta.

Mereka merupakan kelompok yang dulu selalu hadir dan menjadi bagian dari reformasi besar besaran di masa Sayyidina Usman.  Mereka juga adalah kelompok yang ikut menjadi korban berita hoaks/bohong yang didengungkan oleh Abdullah bin Saba'. 

Abdullah Bin Saba' merupakan seorang muallaf. Dia terkenal sangat cerdas dan memiliki jam terbang tinggi setelah masuk Islam. Dia berkeliling di setiap Masjid dan berceramah tentang Islam dan kondisi khalifah. Maka tidak jarang di setiap ceramah Abdullah bin Saba', banyak mencela dan mencaci pemerintahan yang sah, terutama sang Khalifah Sayyidina Usman. Sehingga dengan ceramah itu, terjadilah pemberontakan pada khalifah Sayyidina Usman. Sampai sang khalifah harus menjadi korban penikaman oknum yang sudah tersulut oleh propaganda dan informasi hoaks pada waktu itu. 

Setelah semua proses terjadi, khalifah harus meregang nyawa, kelompok yang disulut oleh Abdullah Ibnu Saba' kebingungan mencari pengganti khalifah.  Maka salah satu cara adalah membujuk Sayyidina Ali agar mau memimpin ummat Islam yang pada waktu itu laksana ayam kehilangan induknya.  

Sayyidina Ali sangat paham, mereka ini hanya kelompok yang menjadi korban hoaks/propaganda Abdullah bin saba'. 

Dikarenakan hal diatas, pada saat Sayyidina Ali memimpin kaum muslimin. Beliau berusaha merangkul kelompok korban hoaks ini, agar mereka disadarkan. Dan mengakomodir kelompok ini ternyata menjadi bumerang di masa akan datang. Mereka menjadi kelompok yang merasa kukuh berjuang atas nama Islam dan menegakkan agama Islam.

Sehingga pada episode selanjutnya, di saat sang Imam Ali mengajak mereka menerima hasil tahkim/proses Politik, mMereka berubah menjadi kelompok pembangkang/Khawarij. Kelompok yang tidak sekedar menjadi musuh bagi lawan politik Sayyidina Ali,  tapi menjadi musuh langsung Sayyidina Ali. 

Kondisi ini adalah sebuah fakta yang pernah terjadi, dan peristiwa ini adalah hal yang membuat kita pilu di saat membaca sejarah.

Mereka menjadi kelompok pembangkang bukan karena keinginan mereka sendiri, tapi dikarenakan cinta buta pada simbol perjuangan Islam. Mereka juga menjadi Khawarij karena mereka memahami semua nilai ajaran Islam hanya bersumber dari pola pikir akal sehat versi mereka.  

Mereka terbuai dengan semua simbol yang mengatasnamakan Islam. Sehingga mereka lupa, ada etika, akhlak dan kepatuhan pada para sahabat yang dicintai Nabi.

Kepatuhan pada setiap saran para sahabat Nabi adalah cahaya yang bisa menyejukkan suasana yang memanas. Mereka juga melupakan ada kemanusiaan di atas kekuasaan. Dan hal ini sangat jelas diajarkan oleh Sayyidina Ali di saat mengajak mereka menerima hasil proses politik di Daumatul Jandal. Wallahu alam...(*)

*) Penulis adalah Ahmad Patoni, S.S, Kepala Madrasah Diniyah Salaf Modern Thohir Yasin Lendang Nangka, Masbagik, Lombok Timur, NTB. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES