Kopi TIMES

Bahaya Propaganda Elit

Selasa, 21 Mei 2019 - 07:55 | 129.43k
Dr H Moh Syaeful Bahar, M.Si, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya. (Grafis: Dena/TIMES Indonesia)
Dr H Moh Syaeful Bahar, M.Si, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya. (Grafis: Dena/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANG – Penghitungan dan pengumuman hasil Pemilu 2019 telah dilakukan oleh KPU RI. Tepatnya pada hari Selasa, 21 Mei 2019, sekitar jam 01.46 WIB. Maju sehari dari jadwal yang direncanakan, tanggal 22 Mei 2019.

Bagi pemerhati dan penikmat konstelasi politik tanah air, hari ini mencuri perhatian. Hari ini, kepemimpinan nasional untuk lima tahun ke depan ditentukan. Siapa yang akan keluar sebagai pemenang dalam hitung resmi KPU, telah diumumkan. Jokowi-Ma'ruf Amin, keluar sebagai pemenang. Sebagaimana prediksi lembaga-lembaga survei tanah air. 

Hasilnya, perolehan suara Jokowi-Ma'ruf unggul, suara pasangan ini mencapai 85.607.362 atau 55,50 persen. Sedangkan perolehan suara Prabowo-Sandi dibawahnya, yaitu sebanyak 68.650.239 atau 44,50 persen.

Pengumuman ini juga mematahkan klaim BPB Prabowo-Sandi yang mengatakan menang di angka 54 persen, yang sebelumnya mengatakan menang di angka 62 persen.

Hasil hitung KPU RI ini jelas sebuah jawaban dari kegaduhan politik yang selama ini terjadi. Saling klaim antar dua kubu harusnya sudah dihentikan, karena telah terjawab, kubu 01 pemenangnya. Itu hasil resmi KPU, lembaga yang paling berhak menentukan siapa pemenang dalam Pemilu, sesuai dengan UU yang ada.

Namun, masih ada satu lagi pertanyaan besar yang bergelayut di benak para pemerhati, apa itu? Tentang people power. Benarkah akan benar-benar terjadi sebagaimana ancaman beberapa tokoh BPN Prabowo-Sandi? Atau ancaman ini telah antiklimaks dan tak kan pernah ada, hanya semacam ilusi belaka.

Gertak Sambal atau Nyata?

People power awalnya diwacanakan Amin Rais, salah satu tokoh senior di kubu Prabowo. Beberapa hari sebelum Pemilu 2019, Amin Rais telah mengancam akan mengerahkan massa, people power, jika dalam proses Pemilu ditemukan kecurangan.

Awalnya, ancaman ini dianggap sebagai lampu kuning, ancaman untuk menggertak penyelenggara Pemilu agar tidak main-main, bekerja profesional, tidak berdiri di salah satu kubu, yaitu kubu 01.

Namun, pasca 17 April, setelah Pemilu digelar, ancaman people power semakin terasa "nyata". Keseriusan people power semakin terasa, ketika, para tokoh pendukung people power semakin gencar melakukan propaganda.

Untuk menunjukkan keseriusannya, mereka telah membentuk dan mendeklarasikan Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat, tepatnya pada hari Jumat, bertepatan dengan 17 Mei 2019 di Jakarta. Beberapa tokoh yang hadir di antaranya, Amin Rais, politikus partai Berkarya Siti Hediati Hariyadi, putri mendiang Presiden Soeharto, alias Titiek Soeharto, dan Ketua Umum FPI Ustaz Sobri Lubis serta Sekjen FUI Al-Khaththath.

Dalih kecurangan, dalih tebang pilih, dalih tidak berpihak kepada ekonomi kerakyatan, dalih tidak pro Islam, pro aseng dan asing, kriminalisasi ulama semakin sering terdengar, diteriakkan oleh kelompok pro Prabowo. Pemerintahan Jokowi dianggap gagal. Melengkapi tuduhan sebelumnya, partai Allah dan partai syetan. Siapa yang mendukung Jokowi adalah partai syetan sedangkan yang menjadi bagian dari pendukung Prabowo adalah partai Allah. Begitu kata Amin Rais.

Dalam kajian komunikasi politik, ungkapan Amin Rais ini dapat dikatakan sebagai Demonizing the Enemy . Menyamakan cara berpikir dan prilaku lawan politik dengan cara-cara syetan. Cara ini adalah salah satu taktik dalam komunikasi politik (Jowett dan O'Donnel, 2016). Jika taktik ini efektif, maka massa akan terpengaruh, dan menganggap para pendukung Jokowi masuk dalam barisan partai syetan. Namun, jika taktik ini tak efektif, gagal, massa akan acuh dan tak mempercainya.

Jika mempercayai hasil quick count, Jokowi menang, maka taktik Amin Rais, gagal. Meskipun tak sepenuhnya gagal, nyatanya, pendukung Prabowo juga terbilang besar, diakui atau tidak, itu juga berkat kerja-kerja politik Amin Rais. 

Namun dalam konteks kompetisi dan kontestasi, Amin Rais dapat dinilai gagal, gagal mengantarkan Prabowo sebagai pemenang dan gagal menghadang Jokowi kembali memimpin negeri ini. Sekali lagi, jika itu berdasarkan hasil quick count. 

Semua berawal dan juga berakhir di Amin Rais. Begitu salah satu media menulisnya. Amin Rais yang mewacanakan people power, tepatnya pada tanggal 31 Maret 2019, dan Prof. Amin Rais pula yang mengubur istilah people power ini, yaitu pada hari Selasa, tanggal 14 Mei 2019. Bertempat di hotel Grand Sahid, di depan peserta simposium yang digelar oleh BPN Prabowo-Sandiaga Uno, Amin Rais meminta merubah kata people power dengan Gerakan Kadaulatan Rakyat. (Detik.com,15/5).

Artinya, people power atau Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat tidak bisa lepas dari sosok Amin Rais. Serius tidak seriusnya gerakan ini, saya kira, juga tidak bisa lepas dari sosok Amin Rais. Jika Amin Rais serius, sepertinya gerakan ini akan benar-benar ada, namun jika Amin Rais tidak serius, maka gerakan ini hanya akan menjadi gertak sambal yang tidak berarti apa-apa, hanya sekadar gertak sambal belaka.

Melihat sosok Amin Rais, saya percaya ini adalah gerakan serius. Saya juga percaya, pemerintah juga mewaspadai gerakan ini dengan serius, buktinya, Kapolri ataupun Panglima TNI sudah membaca dan mengantisipasi segala kemungkinan, dengan menyiagakan pasukan gabungan TNI Polri di Jakarta. 

Propaganda Para Elit 

Tak selamanya propaganda diartikan negatif. Meskipun, pada prakteknya sulit ditemukan dalam wajah positif. Propaganda lebih menonjolkan sisi emosional, mengarahkan pembaca atau pemirsa menjadi emosional, tak lagi rasional. Konten berita atau pesan yang disampaikan juga diedit sedemikian rupa sehingga menguntungkan kepentingan si propagandis. 

Karena pada dasarnya, tujuan propaganda adalah membentuk persepsi, membentuk kognisi dan pada akhirnya juga untuk mempengaruhi prilaku seseorang atau sekelompok orang sesuai dengan kemauan para propagandis. (Jowett dan O'Donnel, 2016). Bahkan, dengan propaganda, seorang elit, atau penguasa dapat mengontrol kehidupan sosial masyarakat. Propaganda dijadikan instrumen dan mekanisme untuk mengontrol kehidupan sosial. (Ellul, 1965).

Dalam konteks politik tanah air, pasca Pemilu Presiden, propaganda elit semakin gampang kita temukan. Dengan dalih yang disusun rapi, nampak sangat rasional, apalagi dibumbuhi dalil-dalil agama, semakim renyah. Semakin banyak rakyat yang termakan, percaya, semakin percaya karena ada dalil agama yang menguatkannya. Seakan-akan, mendukung para elit ini atau elit itu adalah perbuatan yang dibenarkan agama, membela agama, membela Allah, maka dapat pahala.

Padahal itu semua hanyalah propaganda, banyak tipu dayanya, hanya demi kepentingan, demi kekuasaan, tidak ada hubungan langsung dengan kepentingan agama, karena cara-cara yang dipakai jauh dari yang diajarkan agama. Mencaci, membenci, menfitnah, mengadu domba dan menyebarkan aib lawan politik adalah prilaku para propagandis.

Propaganda dapat memecah belah bangsa. Karena propaganda hanya menyisir sisi emosional massa, bukan sisi rasionalitasnya. Massa dibakar, lalu diajak bersama-sama dalam satu kepentingan. Semakin besar api emosi yang dibakar, semakin besar peluang sukses propaganda. 

Kejahatan genosida yang pernah terjadi di planet ini juga sebagian karena sukses propaganda. Misal, Adolf Hitler, membantai jutaan bangsa Yahudi, dengan propaganda. Dia terus membakar emosi dan kebencian rakyat pada bangsa Yahudi, sukses. Jutaan Yahudi dibunuh, dikejar, diburu dan dibantai. Tak pandang bulu, mereka yang laki-laki dewasa, perempuan-perempuan lemah, anak-anak yang tahu persoalan hingga ke orang-orang tua renta, semua dibantai.

Itulah propaganda, dia akan menjadi mesin pembunuh jika konten, isi pesannya adalah kebencian. Dia akan menjadi ranting kering yang siap menyalakan bara api ketika isi dan kontennya adalah adu domba. Dia akan menjadi mesin penghancur jika isi dan kontennya adalah hasutan dan ujaran kebencian.

Apalagi, jika propaganda itu diciptakan dan disampaikan oleh para elit, daya jangkau dan daya pengaruhnya jauh lebih luas, lebih hebat. Maka tidak salah, jika ajakan people power, sebagaimana disampaikan Amin Rais disesalkan dan dikhawatirkan oleh banyak pihak, NU dan Muhammadiyah jelas menolak dan mengkhawatirkannya, beberapa rektor dari kampus-kampus juga menolak. Beberapa pengamat juga menolak, bahkan beberapa orang dari kubu 02 juga meragukan gerakan people power ini. 

Penolakan dan keraguan para tokoh itu bukan karena mendukung kepentingan kubu 01, tapi akibat negatif people power yang mereka waspadai, akibat dari gerakan people power yang mereka antisipasi. 

Meskipun saya pribadi, tak terlalu yakin people power akan benar-benar efektif terjadi. Beberapa alasan yang melatari keyakinan saya, di antaranya adalah;

Pertama, gerakan ini hanya merupakan gerakan politik akibat ketidakpuasaan. Tidak puas karena merasa dicurangi dan dikalahkan. Padahal, dalam aturannya, semua ketidakpuasaan dalam sengketa Pemilu sudah ada mekanismenya, yaitu melalui peradilan di MK. Maka pilihan people power tidak akan massif didukung rakyat.

Kedua, NU dan Muhammadiyah yang merupakan representasi terbesar Islam Indonesia tidak mendukung gerakan ini. Kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia ini menolak dan meminta umatnya tak terlibat dalam gerakan ini.

Ketiga, dunia kampus, mahasiswa, melalui organisasi intra kampus maupun ekstra kampus tidak terdengar mendukung gerakan ini. Padahal, dalam sejarah people power di negeri ini, tak pernah lepas dari peran dunia kampus, peran para mahasiwa.

Keempat, tuntutan agar mendiskualifikasi pasangan Jomowi-Amin tidak bersentuhan langsung dengan kebutuhan dasar rakyat, tak berkaitan dengan sembako. Maka, rakyat tak akan sensitif terjerat propaganda people power. 

Kelima, kelompok pro Prabowo tak lagi solid. Mereka sibuk saling serang di dalam. Saling curiga dengan manuver rekan di dalam satu tim, tim BPN. Lebih-lebih beberapa orang kader Demokrat. (*)

 

*Penulis, Moh Syaeful Bahar, dosen UIN Surabaya dan Pengurus NU Bondowoso.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES