Kopi TIMES

Ramadhan dalam Perspektif Sosial

Minggu, 19 Mei 2019 - 16:02 | 251.35k
Muhammad Yunus. Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Islam Malang. (Grafis: TIMES Indonesia)
Muhammad Yunus. Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Islam Malang. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANGRAMADHAN sebagai bulan yang suci karena didalamnya diturunkan Al Quran. Kitab suci sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas bagi petunjuk itu serta pembeda dari yang hak dan yang bathil (QS Al Baqarah ayat 185). Ramadhan akan selalu menarik dibahas dalam perspektif apapun, termasuk dilihat dari aspek sosial.

Apa yang bisa kita lihat dari Ramadhan dalam perspektif sosial. Apakah memang puasa dapat memperbaiki persoalan sosial? Apakah puasa ada kaitannya dengan dimensi sosial? Dan beragam pertanyaan bisa muncul dan bisa dimunculkan. Pikiran inilah mengkaji Ramadhan tidak akan pernah ada akhirnya. Selalu menarik untuk dibahas dan selalu aktual dan konstekstual.

Dalam perspektif sosial setidaknya kita bisa melihat dari berbagai aspek. Ramadhan kaitannya dengan gaya hidup, nilai-nilai kesadaran hidup, toleran, dan kebersamaan.

Ramadhan yang didalamnya orang yang beriman diwajibkan untuk berpuasa. Selama jumlah hari yang ada di bulan Ramadhan. Dalam sejarahnya, perintah berpuasa di Ramadhan ini dimulai dari tahun ke-2 hijriah. Ada dimensi keTuhanan menjalankan puasa ini seperti perintah-perintah Allah SWT yang lain kepada umat muslim.

Dimensi sosial berarti dimensi kehidupan horizontal. Kehidupan sesama. Sesama manusia. Tentu hubungan sesama manusia ini adalah ekses dari dimensi vertikal. Artinya adalah dimensi sosial ini haruslah aura positif yang timbul dari kedekatan kepada Allah SWT sebagai bagian dari buah ibadah yang dilakukan.

Pertama, kita melihat bahwa gaya hidup seseorang selama Ramadhan ini berubah, baik dari sisi berpakaian atau tata cara pergaulan. Pakaian adalah hasil budaya manusia. Pakaian adalah pembeda antara manusia dengan hewan. Pakaian adalah menutup aurat agar apa yang ada didalam tubuh ini tidak diumbar untuk kemaksiatan. Sehingga cara berpakaian seorang muslim tentu berbeda dengan orang non-muslim. Ramadhan seakan menjadi penggerak umat bersama-sama memakai baju sesuai tuntunan syariat. Bahkan pernak-pernik berubah selama Ramadhan ini.

Lebih dari gaya hidup itu adalah Ramadhan membawa keberkahan untuk kita semua. Ada kesadaran kolektif karena orang yang berpuasa merasakan betul bagaimana kondisi orang yang lapar dan dahaga itu. Selama Ramadhan ngiroh bersedakah dan memberi kepada sesama sangat tinggi. Bisa dilihat disetiap masjid pasti ada iftor bersama untuk jemaah yang jumlahnya puluhan sampai ratusan bahkan ribuan. Inilah bentuk kesadaran yang luar biasa. Bahkan sekelas Presiden Amerika mengundang umat Islam berbuka bersama di istananya.

Jauh dari itu adalah wujud toleransi yang nyata. Toleransi bukan berarti membolehkan orang melakukan seenaknya. Tetapi toleransi adalah saling menghargai, saling menghormati satu dengan lainnya. Toleransi yang sangat tinggi yang dapat kita temukan dalam Ramadhan ini adalah saling menolong dan menghormati. Warung-warung tutup dipagi dan siang hari. Perbedaan penentuan awal dan akhir Ramadhan juga sangat variatif. Inilah wujud toleransi yang nyata.

Terakhir adalah terwujudnya kebersamaan. Eman rasanya meninggalkan kesempatan berbuka bersama. Keluarga, kolega, teman sejawat, dan semuanya suka cita berkumpul untuk berbuka bersama. Situasi dan kondisi yang tidak ditemukan di luar Ramadhan. Masjid-masjid penuh, warung makan penuh untuk merajut kebersamaan selama di Ramadhan ini. Sungguh ini anugerah yang luar biasa.

Kembali kepada pertanyaan diatas, apakah lantas Ramadhan yang didalamnya diwajibkan puasa ini dapat menyelesaikan persoalan sosial? Jawabannya adalah iya. Target dari puasa adalah menjadi hamba yang muttaqin. Bertaqwa berarti menjadi hamba Allah yang paripurna. Menjadi hamba yang menjalankan risalah keTuhanan dimuka bumi dan menjadi hamba yang taat.

Inilah yang akan mengantarkan negara kita ini menjadi makmur penuh berkah Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur (negeri yang subur dan makmur, adil dan aman) seperti dalam QS Al A’raaf ayat 96 yang artinya "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” Wallahuaklam bissawab. (*)

 

*Penuis, Muhammad Yunus. Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Islam Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES