Kopi TIMES

Quo Vadis, People Power Pasca Pemilu 2019

Sabtu, 18 Mei 2019 - 23:35 | 131.88k
Naila Fitria Sekretaris Jenderal PB HMI 2018-2020 (FOTO: Istimewa)
Naila Fitria Sekretaris Jenderal PB HMI 2018-2020 (FOTO: Istimewa)

TIMESINDONESIA, JAKARTASETELAH Pemilu 2019 wacana people power menjadi isu menarik yang kemudian perlahan disuguhkan dalam gerakan kecil demostrasi di depan gedung KPU RI. Kita dibuat bingung secara prosedural demokrasi, mekanisme pemilihan kemarin berjalan secara demokratis sekalipun ditemukan catatan kecil kecurangan dalam rekapitulasi hasil suara. Lalu akan kemana gerakan people power diarahkan?

Secara harfiah people power merujuk pada penggulingan kekuasaan Presiden secara paksa melalui aksi demonstrasi rakyat. Seluruh rakyat turun ke jalan agar Presiden meletakkan jabatannya karena dinilai telah melanggar konstitusi atau melakukan penyimpangan. People power pernah terjadi di Filipina dengan jatuhnya presiden Ferdinand Marcos pada tahun 1986. Lalu, situasi di Indonesia sudah segenting kasus di Filipina atau reformasi 1998 kah?

Masalah yang cukup kita fokuskan adalah isu ketidakadilan KPU RI yang dianggap sebagai sumber masalah oleh salah satu kubu pasangan calon presiden. Ada logika terputus di sini mengingat people power yang dimaksud jelas lebih menonjolkan kepada satu pihak. Tentu  ini tidak sepenuhnya krusial bagi kita bersama. Kalau mau memperbaiki sistem demokrasi dan kualitasnya maka sebaiknya kita jaga bagaimana alas demokratisasi rakyat kita kepada pemilihan penuh optimismen. Jika dilihat makan jauh dari kita bayangkan partisipasi pemilih pemilu 2019 meiningkat, bahkan di luar prekiraan KPU RI.

Mari kita lihat partisipasi pemilih pada pemilu 2019 ini mencapai 80,90 persen, telah melampaui target yang ditetapkan oleh KPU RI sebelumnya yakni sebesar 77,5 persen. KPU RI menyebutkan partisipasi pemilih pada Pemilu Legislatif 2014 hanya mencapai 75,11 persen. Partisipasi pemilih pada Pilpres 2014 berdasarkan data yang dilansir KPU sebesar 69,58 persen. Sementara pada pemilu legislatif 2014 partisipasi 75,11 persen, dan Pilpres 2009 partisipasi sebesar 71,17 persen. Partisipasi pemilih ini berbanding lurus dengan angka golongan putih (golput). Sehingga bisa disebut angka golput pada Pilpres 2014 sebesar 30,42 persen meningkat dari Pilpres 2009.

Melakukan demonstrasi dengan kekuatan massa memang Sah secara hukum tetapi menyeret polarisasi massa menajam akan merusak sendiri demokratisasi kita. Semestinya kita kawal dan dukung bagaimana kerja ekstra KPU RI yang telah satu langkah lebih baik untuk memberikan pendidikan pemilih kepada kita.

People power bukan saja dapat menghambat berjalannya kerja KPU RI untuk tetap profesional di tengah banyak tuntutan pada lembaga independen tersebut. Efek lain yang kita khawatirkan tak lain gerakan ini akan cenderung menimbulkan pesimistis kepada negara dan sistemnya. Sedangkan belum ada daya tawar dalam people power yang sedang dikumandangan tersebut selain mencoba menggurkan salah satu calon. Jikalau sudah tidak memiliki trust, maka tentu hanya akan menyisakan pesoalan mulai pembangunan dan roda pemerintahan yang terganggu dalam agenda gerakan massa ini.

Potret gerakan massa memang selalu memiliki cerita tersendiri. Mengingat selama ini pemahaman gerakan massa selalu terboncengi oleh tokoh intelektual, dalang, atau narator yang menulis arah gerakannya. Ini bukan berarti people power sepenuhnya penuh dengan intrik. Salah satu terpenting munculnya adagium besar politik people power kali ini lebih dikarenakan sikap antipati kepada sistem demokrasi dan hasrat kekuasaan yang sama-sama kuat di antara dua kubu politik kali ini. Alhasil, potret ini akan dekat dengan polarisasi politik aliran yang terus menguat karena selalu dapat sokongan dari wacana serta opini yang dibentuk.

Setelah pilpres 2019, negara seakan-akan harus siap dengan prortksi ekstra keamanan. People power  bukan saja menambah ruwet rekonsiliasi kebangsaan pasca pilpres tetapi membuat publik ter-bully karena ada semacam rekaan ancaman ataupun rasa ketidak nyamanan  akan adanya aksi. Padahal skema menyelesaikan persoalan sudah dibuat jalannya. Ini semakin jelas menelanjangi agenda lain untuk menegaskan posisi golongan pendukung yang seharusnya selesai pasca pesta demokrasi kemarin.

Mengerahkan massa sebagai legitimasi sokongan rakyat mempetegas hilangnya akar persoalanya apa dan bagaimana masalahnya. Di sisi lain, people power justru tidak lagi menempatkan struktur hukum seperti Mahkamah Konstitusi sebagai lembagai independen yang mampu memutuskan permasalahan pemilu ini. Kita simak bagaimana ketegangan pilpres 2014 hampir-hampir massa cukup marah bahkan bernada tidak percaya kepada negara. Nyatanya MK berhasil memutuskan dan memberikan jalan terbaik bagi kedua kubu yang pada pilpres 2019 kemarin kembali tarung ulang.

Resiko lain yang menjadi tebusan semakin sedikitnya cara dalam memperbaiki kualitas demokratisasi Indonesia. Sebagai mana Denis Kavanagh (1982) katakan dalam kultur politik yang matang selalu ditandai adanya peluang partisipasi politik, kompetisi antar kekuatan politik, pergantian kekuasaan, dan pengawasan terhadap kekuasaan. Dalam kultur politik bekermbang, rendah, dan minimal (klasifikasi Kavanagh), peluang-peluang tersebut berturut-turut semakin mengecil.

Masyarakat atau sistem politik yang kurang matang cenderung memakai represi sebagai jawaban atas persoalan politik yang dihadapinya. Tentu sebaliknya, demokratisasi politik yang matang tindakan represi akan mengecil dan menempatkan kekuatan hukum sebagai pendekatan kritik apabila merasa tidak mendapatkan rasa keadilan.

Dalam konteks politik Indonesia, situasi semacam ini diramaikan oleh wacana yang sama-sama keluar dari dua kubu politik. Ini jelas perkara yang merugikan sebab ketidak sukaan akan pendapat dari golongan tertentu menyebabkan ambisi kritik massa menjadi kuat dan terdorong untuk meyakinkan pendapatnya sendiri. People power bisa saja hasil dari ketidak negarawanan sosok elit dalam melihat dampak dari aksi massa ini. Bagi kalangan yang sementara unggul untuk memenangkan pemilu seharusnya juga ikut menenangkan diri daripada memberikan pendapat subjektifitas yang hanya akan menambah muram situasi.

Seperti dibahas di atas, people power membawa politik aliran yang dinegosiasikan dengan bentuk aksi dan militansi dukungan. Massa dari kalangan masyarakat bawah mudah dimobilisasi dan didorong dalam satu frame rasa ketidak adilan. Anehnya banyak aksi massa dalam musim politik di negeri ini belakangan selalu diisi oleh aknum yang sama. Kelompok massa tersebut memang terlihat memiliki loyalitas pada sosok dukungannya tetapi terkadang memiliki agenda tersendiri dan mudah berjalan atas dasar kemaunnya sendiri.

Teringat bagaimana McTurnan Kahin sejarahwan kenamaan menjeaskan hal paling banyak merusak proses demokratisasi di Indonesia karena masih banyak masyarakat kita tetap  menyandarkan banyak permasalahan berdasarkan arahan dari atas elit. Ini bukan berarti memberikan tuduhan bahwa aksi people power demikian, karena dalam dimensi lain hal semacam ini juga terjadi dalam bermacam-macam peristiwa. Tetapi paling tidak hal ini menegaskan suatu budaya politik yang memang menggejala terutama pada masa pasca pemilu dan piplres 2019 ini.

Oleh karena itu, yang terpenting saat ini kita harus membawa persoalan politik kita bukan sebagai negasi yang mengarah kepada persatuan. Di sisi lain, pemilu bukan segala-galanya bagi demokrasi proses demokrasi karena hal itu hanya syarat. Kini yang paling terpenting bagi kita kembali kepada mekanisme hukum yang dapat berkeja dengan baik, serta mari sama-sama menenangkan massa pendukung masing-masing tidak teribat langsung kepada gesekan. Karena kita masih percaya, bahwa politik kebangsaan jauh lebih santun dari pada politik kepentingan. (*)

* Penulis Naila Fitria Sekretaris Jenderal PB HMI 2018-2020

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES