Kopi TIMES

Retaknya Kohesi Sosial

Sabtu, 18 Mei 2019 - 13:45 | 135.87k
Sugeng Winarno, Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang. (Grafis: TIMES Indonesia)
Sugeng Winarno, Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANG – JELANG pengumuman hasil pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) pada 22 Mei mendatang, suasana politik cukup panas. Ada indikasi muncul kelompok yang tak puas dengan pengumuman hasil pilpres oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Bahkan sejumlah kelompok berencana melakukan aksi demo di sejumlah tempat. Gara-gara pemilu, kohesi sosial yang selama ini terikat kuat di masyarakat jadi retak.

Tak bisa dimungkiri bahwa pemilu 2019 telah menciptakan keterbelahan di masyarakat. Masing-masing pendukung fanatik pasangan yang ikut berkontestasi dalam pilpres bersihkukuh menyatakan calonnya yang menang. Masing-masing kubu saling klaim menang dengan dasar hasil survei. Ada yang bersandar hasil survei lewat metode hitung cepat (quick count), ada juga yang berpedoman pada hasil exit poll. 

Walaupun pencoblosan pemilu telah berakhir pasca 17 April lalu, kedua kubu yang beda pilihan politik belum seratus persen bisa bersatu. Diantara para pendukung tak jarang masih sering beradu narasi politik. Melalui media sosial (medsos), “perang” opini masih terus dilancarkan oleh kedua kubu. Situasi ini cukup buruk karena bisa berimbas pada memudarnya kohesi sosial dan mengarah pudarnya rasa persatuan dan kesatuan.

Gegara Medsos

Manusia adalah makhluk sosial, yang tak mampu hidup sendiri. Saling membutuhkan satu dengan yang lain itulah yang menjadi sifat hakiki manusia. Sejak kehadiran medsos, keberadaan manusia sebagai mahkluk sosial memang jadi lebih eksis. Interaksi antar sesama manusia bisa lebih leluasa, meluas, dan tidak lagi dibatasi oleh jarak, waktu, perbedaan suku, etnis, bahasa, batasan wilayah geografis, dan beragam pembeda lain.

Namun lewat medsos yang sejatinya menjalankan fungsi sebagai media sosial justru berbalik menjadi media asosial. Fitnah dan adu domba yang muncul di medsos tak jarang menimbulkan konflik sosial. Ujaran kebencian antara kelompok satu dengan yang lain tumbuh subur difasilitasi medsos. Pesan-pesan yang bikin panas suasana sering berawal dari medsos. Ulah para pembohong daring di medsos itu semakin sulit dijaring.

Kata sosial dibelakang kata media itu tak lagi menyatu menjadi sebuah arti yang sebangun. Banyak fakta justru menguatkan pernyataan bahwa medsos justru menjadi media asosial. Interaksi sosial justru dibangun dengan prasangka, saling curiga, hingga memecah belah. Hubungan sosial yang dimediasi oleh medsos justru menjadikan relasi yang jauh dari sosial. Degradasi hubungan sosial tumbuh lewat media yang idealnya menjadi kohesi sosial.

Sebenarnya medsos hanyalah sebuah alat. Seperti umumnya teknologi, pada medsos juga melekat wajah buruk dibalik wajah baiknya. Penggunaannya sangat tergantung pada siapa yang memakai media ini (people behind the media). Medsos hadir tak sekedar sebagai alat (tools), tetapi medsos juga memberi kontribusi terhadap munculnya ikatan sosial, nilai-nilai, dan struktur sosial secara online. 

Retaknya kohesi sosial yang awalnya dipicu interaksi dunia maya bisa jadi berimbas serius di dunia nyata. Untuk itu peran para elit agar turut menyatukan kembali masyarakat yang terbelah. Kohesi sosial yang kuat adalah modal berharga dalam menjadikan negari ini sebagai bangsa yang besar dan kuat. Bagi para elit politik, tokoh masyarakat, dan para publik figur menjadi pihak kunci untuk menyatukan kembali kohesi sosial yang sempat retak ini.

Tauladan Elit

Sebenarnya masyarakat pada level bawah tak terlalu terpecah gara-gara pemilu. Hanya karena para elit pimpinan partai dan para tim sukses yang terus bikin gaduh hingga masyarakat pendukung fanatiknya ikut terpancing. Keriuhan adu narasi yang saling menjatuhkan masih terus terjadi di medsos. Hal ini terjadi karena para elit juga belum segera mengakhiri perseteruan mereka di level atas.

Untuk meredam situasi ini, masyarakat perlu tauladan dari para elit. Para pemimpin politik perlu segera melakukan rekonsiliasi agar keterbelahan yang terjadi di masyarakat bisa dirajut kembali. Melalui tauladan para elit bisa turut mengendalikan para simpatisan politik yang sangat fanatik membela idolanya mati-matian itu.  

Beragam narasi yang membuat suasana damai harus banyak diproduksi dan disebarkan lewat medsos. Pesan-pesan yang bernada memecah belah persatuan harus dilawan dengan narasi-narasi yang mendinginkan. Kontra narasi atas narasi-narasi provokatif di medsos harus dilakukan terutama oleh para publik figur. Para elit berkontribusi signifikan dalam turut menjaga stabilitas terutama jelang pengumuman hasil pemilu oleh KPU.

Melalui medsos sejatinya bisa digunakan sebagai sarana yang mampu mendinginkan suasana. Situasi masyarakat pasca pemilu yang telah mengalami keterbelahan hendaknya bisa disatukan lewat medsos. Momentum bulan Ramadhan kali ini semestinya suasana adem bisa dicipta oleh para pengguna medsos. Narasi-narasi yang menyejukkan dan mempersatukan akan dapat menjadi angin segar yang mampu mendinginkan suasana dan menyatukan yang terbelah. 

Mari bikin medsos adem selama Ramadhan ini. Hindari mengunggah dan membagi-bagi beragam narasi kebencian dan kebohongan. Bulan suci ini jangan nodai dengan tebar konten yang dapat memicu seteru. Mari wujudkan medsos yang adem biar Ramadhan semakin sejuk di hati. (*)

*) Penulis: Sugeng Winarno, Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES