Kopi TIMES

Kita Butuh Kaca Suryakanta

Jumat, 17 Mei 2019 - 10:41 | 66.10k
Dr H Moh Syaeful Bahar, M.Si, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya. (Grafis: Dena/TIMES Indonesia)
Dr H Moh Syaeful Bahar, M.Si, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya. (Grafis: Dena/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, SURABAYAKACA Suryakanta, salah satu mainan favorit saya ketika kecil dulu. Dengannya, saya bisa menyaksikan gerakan ulat-ulat kecil di pohon mangga depan rumah, dengannya pula, melalui bantuan terik matahari, sedikit konsentrasi, tanpa bergerak, saya dan teman-teman sebaya bisa bakar kertas dan daun-daun kering. Muncul titik api, kami senang. Semua berteriak girang karena berhasil dengan eksperimennya. Tanpa korek, kami ciptakan api. Begitu kira-kira anggapan kami waktu itu.

Kaca suryakanta, selain dapat bermanfaat, membantu kita melihat objek-objek kecil, juga dapat berbahaya, membakar. Karena itu, alat ini tergantung siapa yang memanfaatkan, orang dengan niatan baik atau sebaliknya, niatan buruk.

Realitas Sosial Pasca Pilpres

Hampir tujuh bulan masa kampanye Pilpres, antara bulan September hingga April 2019. Masa-masa yang berat, bukan hanya bagi para kontestan, tim sukses dan partai-partai pengusung, tapi juga beban berat bagi rakyat. 

Black Campaign, kampanye hitam yang jadi masalah. Menjadi beban masyarakat, menjadi ancaman sosial yang nyata di depan mata. Propaganda, kebohongan (hoax) dan hate speech (ujar kebencian) seakan tak ada habisnya. Tiap hari diproduksi, tiap hari silih berganti, bermunculan tanpa henti. 

Hoax dan hate speech menjadi menu harian masyarakat. Bagi mereka yang belum melek informasi, belum paham mengelola dan menyaring informasi, akan termakan. Jadi korban, jadi mangsa. Mereka tak bersaya, mereka telan mentah-mentah informasi jahat tadi. Bulat, tanpa ada upaya menyeleksi dan mengklarifikasi. 

Kejahatan informasi ini tidak hanya memapar mereka yang tak terdidik, tapi juga menyasar mereka yang terdidik. Kolega saya, dosen-dosen di tempat saya mengabdi, beberapa orang di antaranya menunjukkan gejala ini. Main copy paste, main sharing tanpa sedikitpun disaring. Kasihan, tanpa sadar mereka menebar dosa, menjadi agen kejahatan informasi yang salah.

Selama tujuh bulan, seakan dua kubu saling klaim kebenaran, saling tuding kesalahan. Bumbu-bumbu kebaikan dialamatkan pada dirinya, racun-racun kebencian disematkan pada lawan politiknya. Terus begitu. Tiap hari, tanpa henti. 

Di FB, group WA, youtube, twitter, IG dan beberapa aplikasi komunikasi yang lain, hoax dan hate speech terus silih berganti. Banyak kasus, karena perbedaan pilihan politik di Pilpres, juga karena gencarnya saling ejek di media sosial, pertemanan jadi rusak dan persaudaraan terganggu. Betapa kuatnya daya destruktif hoax dan hate speech dalam medsos saat ini.

Ternyata, prilaku saling serang ini, tidak hanya terjadi di masa kampanye, pasca Pilpres pun, masih berlanjut, hanya jeda sehari tanggal 17 April. Selanjutnya, terus berulang, saling serang, saling sebar berita bohong. Bahkan, pasca Pilpres, dapat dibilang lebih parah. Tensi ajakan untuk saling memusuhi semakin meningkat. 

Ajakan perang terbuka, semakin mudah ditemukan di medsos. Tak peduli memasuki bulan suci Ramadhan, tetap saja. Seakan-akan, ambisi kekuasaan sudah diambang batas normal, sundul langit, kata orang Jawa.

Semakin parah, ketika agama dilibatkan, tuhan diperjual belikan. Racikan kebohongan dan kebencian dibumbui dalil-dalil agama yang memukau. Agama dipaksa-paksa menjadi alat legitimasi. Kebohongan dibalut ayat-ayat tuhan. Tuhan dipaksa untuk ikut kampanye. Tak heran jika provokasi ini berhasil, menghipnotis massa, menyeret banyak massa yang tak sadar bahwa mereka sedang ditunggangi. Masuk perangkap kejahatan.

Kedua kubu memiliki legitimasi keagamaan yang sama-sama kuat, kedua kubu didukung oleh 'ulama'. Kedua kubu terus merasionalisasikan setiap kampanyenya dengan bahasa-bahasa agama yang membakar emosi massa. Meskipun, menurut penilaian saya, salah satu kubu jauh lebih banyak mempergunakannya.

Begitulah kampanye. Memang demikian kepentingan dan kebutuhan kampanye. Merekatkan, mengkonsolidasi massa agar semakin kuat mendukung.

Rakyat, akhirnya terpecah, terbelah. Tingkat kerawanan sosial meningkat. Disintegrasi sosial semakin nampak di depan mata. Bukannya menyadari bahaya ini, para elit malah terus mempergunakan emosi massa ini sebagai modal menekan lawan politiknya. People power salah satu ancamannya. 

Akibat dari people power tidak diindahkan. Keretakan yang nyata di tengah-tengah masyarakat diacuhkan. Keutuhan NKRI dipertaruhkan. Kebhinekaan tidak diperhatikan, yang ada hanya kepentingan dan kekuasaan.

Belajar dari Gus Dur; Politik dengan Hati

Ketika GD (Gus Dur) dijatuhkan, oleh Amien Rais dan kawan-kawan, GD hanya berkomentar ringan, tak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahakan mati-matian. Santai, ringan, tapi makjleb, mengena. 

Jika GD mau, dan tak memikirkan darah para pendukungnya, mungkin GD akan bertahan di istana negara. Karena sampai detik inipun, semua tuduhan korupsi yang dialamatkan ke GD tak terbukti. 

Tapi GD tak ngotot, tak membabi buta, tidak, karena GD memimpin dengan hati. GD sadar betul bahwa para pendukungnya adalah pendukung fanatik yang siap mati. GD tak ingin darah para pendukungnya mengalir membasahi bumi pertiwi karena ambisi kekuasaan pribadi, itu tak manusiawi, kata GD mantap sekali.

Dalam politik, GD tidak memakai kaca mata kuda. Sempit, kaku dan searah. GD memakai hati, luas dan lembut, tapi teliti, detail dan fokus, seperti mempergunakan kaca suryakanta. Bagai samudera, dia bisa menerima siapa saja, dialog dengan kelompok apa saja dan bersedia mendengarkan lapisan masyarakat mana saja.

Bagi GD, bentuk NKRI dan kesatuan bangsa Indonesia adalah prinsip, jauh di atas segalanya. Karena itu, GD memperlakukan semua rakyat Indonesia sama, tak ada pengecualian. Agama, ras, etnik dan suku bangsa tak bisa jadi alasan melakukan diskriminasi. Karena konsistensinya itu, GD sangat dicintai oleh kelompok-kelompok minoritas.

Belajar dari GD, Indonesia harus diselamatkan. Rakyat Indonesia harus sadar bahwa kebhinekaan adalah anugerah tuhan pada kita, bangsa Indonesia. Rakyat harus peka, bahwa ancaman disintegrasi selalu mengintai, dekat, dekat sekali. Propaganda dan provokasi ke arah disintegrasi itu ada dalam kantong-kantong celana kita. 

Melalui Handphone, smartphone atau alat komunikasi kita lainnya. Propaganda dan provokasi itu bisa tiap saat kita baca, kita nikmati, karena produksi atas propaganda dan provokasi tak kenal kata berhenti, terus tiada henti menyasar ruang komunikasi kita. 

Sudah saatnya libatkan hati, sebagaimana GD tadi. Tanyakan ke hati nurani, apakah berita ini atau berita itu pantas dibaca, pantas dibenarkan dan pantas dibagi. Apa manfaatnya nanti, atau hanya akan menimbulkan akibat yang merugikan. Cerdas bermedsos, itu kata kuncinya. 

Pakai Kaca Suryakanta

Karena setiap yang kita perbuat akan ada akibatnya, maka selayaknya harus berhati-hati. Apa yang kita sebar di medsos, terutama terkait dengan orang lain atau kelompok orang lain, akan diminta pertanggungjawaban oleh tuhan, jika itu fitnah, maka itu menjadi bagian dari dosa besar, jika itu benar, tetap dosa, karena itu masuk kategori ghibah, membicarakan kejelekan orang lain, jika itu berpotensi memecahbelah rakyat, itu juga dosa besar, namanya namimah.

Maka, sudah saatnya melihat sesuatu dengan teliti, jika perlu kita pakai kaca suryakanta, sehingga lebih terang dan jelas. Objek yang sulit lebih mudah dilihat dan dipahami, agar semuanya terang benderang.

Jangan kemrungsung, tapi sumelehlah. Jangan kesusu hati, tergesa-gesa untuk menanggapi sebuah informasi, tapi pelajari dulu, kebenaran dan kesohehannya. Jangan grusa-grusu, rebahkan dulu badan dan fisik kita, kontemplasi dan merenung dalam ketenangan jiwa, cari kebenaran di saat kepala dingin. 

Jikapun informasi itu dianggap benar, pelajari kembali apa manfaatnya jika harus disebar, hitung untung ruginya, terutama dalam konteks berbangsa dan bernegara. Jika hanya akan menimbulkan kebencian dan kegaduhan, tak usah di sharing, hentikan dan cukup stop di handphone kita. Namun, jika dianggap bermanfaat, bisa disharing dan diperbanyak sehingga orang lain juga menikmati kebaikan dari informasi tersebut.

Pakailah kaca suryakanta, untuk membantu kita melihat dan mendudukkan persoalan, bukan untuk membakar, membakar emosi. (*)

*Penulis, Dr H Moh Syaeful Bahar, M.Si, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES