Kopi TIMES

Menimbang Relasi Indrapura dan Grahadi Pasca Pemilu 2019

Kamis, 16 Mei 2019 - 10:23 | 62.36k
Moh Syaeful Bahar, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya. (Grafis: Dena/TIMES Indonesia)
Moh Syaeful Bahar, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya. (Grafis: Dena/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, SURABAYAREKAPITULASI hasil Pemilu 2019 di tingkat KPUD Jawa Timur telah usai dilaksanakan. Rekapitulasi dilakukan selama enam hari, yaitu antara tanggal 5 hingga 11 Mei 2019. 

Meskipun harus menunggu hasil pleno di KPU RI, namun wajah-wajah penghuni gedung DPRD Jawa Timur ( Jl. Indrapura Surabaya) sudah nampak jelas. 120 orang anggota telah terpilih, tinggal menunggu hasil pleno di KPU RI dan pelantikan saja. 

Setelah itu, mereka sah mengaku sebagai wakil rakyat yang terhormat. Setelah itu, mereka sah menjadi mitra Gubernur Jawa Timur. Setelah itu, mereka berhak atas berbagai fasilitas negara.

Hasil penghitungan, PDIP dan PKB tetap dominan. PDIP menjadi pemenang, dengan 27 kursi, disusul PKB 25 kursi. PDIP menggeser PKB. 

Pemilu 2014, PKB keluar sebagai pemenang, sekarang, PKB harus rela menjadi runner up. PDIP mendapat berkah penambahan kursi di DPRD Jawa Timur, yang semula 100 kursi bertambah menjadi 120 kursi. 

Tulisan ini tidak menjadikan kompetisi PKB dan PDIP dalam perebutan status pemenang di Jawa Timur sebagai main idea nya, bukan. Tidak untuk menjelaskan bagaimana PKB kehilangan dominasi, dan bagaimana PDIP bisa menang di basis utama suara PKB, tidak, bukan itu.

Tapi, bagaimana gambaran relasi Indrapura (kantor DPRD) dan Grahadi (kantor Gubernur) akan terbentuk. Inilah core tulisan ini. Membaca kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, bagaimana koalisi akan terbentuk, antara yang mendukung pemerintahan dan yang memilih di luar koalisi pendukung pemerintahan, serta bagaimana Gubernur Khofifah melakukan komunikasi politik, adalah beberapa pertanyaan utama dalam tulisan ini.

Sisa-Sisa Pilgub 2018

Pilgub Jawa Timur 2018 hanya memunculkan dua nama, Khofifah-Emil melawan Gus Ipul-Puti. Pertarungan keduanya sangat seru, penuh drama dan intrik politik. Kedua pasangan memiliki pemilih fanatik, keduanya juga didukung oleh vote getter yang sama, vote getter yang mengakar di masyarakat, yaitu para kiai. Gus Ipul didukung oleh kiai-kiai di struktur NU, Khofifah didukung oleh kiai NU non struktural.

Partai politik pengusung keduanya juga terbilang berimbang, Gus Ipul-Puti diusung oleh PKB, PDIP, Gerindra dan PKS. Sedang Khofifah diusung oleh Demokrat, Nasdem, PPP, Golkar, Hanura dan PAN. 

Menilik perseteruan keduanya, maka mungkin sekali PKB dan PDIP serta Gerindra dan PKS ( partai-partai pengusung Gus Ipul-Puti) akan tetap berada di luar pemerintahan Khofifah. Mereka akan tetap berada di posisi mitra kritis bagi pemerintah Jawa Timur. Jika ini yang terjadi, akan cukup menyulitkan Gubernur Khofifah. 

Jika perolehan suara Pemilu 2019 diakumulasi, PDIP 27 mendapatkan kursi, PKB 25 kursi, Gerindra 15 kursi dan PKS 4 kursi, maka ada 71 kursi yang berada di luar koalisi pendukung pemerintah. Lebih separuh dari jumlah anggota DPRD Jawa Timur yang akan garang ke Gubernur Khofifah. Lebih banyak jumlah anggota DPRD Jatim yang siap voting untuk menghalangi kebijakan-kebijakan Gubernur Khofifah. Bisa dibayangkan, betapa sulitnya posisi Gubernur. Pasti tidak semudah jika PKB dan PDIP mendukung pemerintah. 

Itu kemungkinan pertama, karena itu, versi pemerintah, kemungkinan ini harus dicegah, diantisipasi jangan sampai benar-benar terjadi. Apa mungkin? Apa yang tidak mungkin di politik. Sebab politik itu memang seni, seni kemungkinan (the art of the possibility). Tidak ada yang tidak mungkin. Karena pada dasarnya politik itu juga kompromi dan konsensus (Bernard Crick, 2000).

Sekarang tinggal siapa yang memulai, berinisiatif, mendekat dan mengirim pesan. Gubernur Khofifah atau para elit partai. Saya kira, para elit partai telah sama-sama menghitung, untung rugi, dan rugi untungnya jika menjauh atau mendekat ke pemerintah. 

Berikut juga Gubernur Khofifah, pasti sudah matang memikirkan hal ini, sebagai seorang politisi kawakan, sebagai seorang politisi yang memiliki jam terbang tinggi, dan sebagai seorang politisi yang terkenal cerdas dan pandai, pasti kalkulasi sudah dilakukannya.

Membaca Peluang

Peluang merangkul PDIP, PKB, Gerindra dan PKS sangat terbuka. Peluang itu sangat mudah, jika Gubernur Khofifah bersedia melakukan beberapa komunikasi politik tingkat elit. Apa sebab? Sebab-sebab ini yang akan kita diskusikan.

Pertama, peluang merangkul PDIP. Memang tidak mudah, tapi peluang itu ada. Jalan menuju ke sana luas dan lapang. Bukankah Gubernur Khofifah orang yang sangat dekat dengan Presiden Jokowi. Mereka berdua sama-sama pernah di kader KH Hasyim Muzadi, dengan pola dan tingkatan pengkaderan yang berbeda, tentunya. Tapi, Gubernur Khofifah adalah loyalis Jokowi yang mantap. Sebelum dilantik, Khofifah sudah mengirim signal akan mendukung Jokowi, dan itu dibuktikan. 

Mesin politik Khofifah yang efektif memenangkannya di Pilgub 2018, digerakkan untuk memenangkan Jokowi di Jawa Timur. Muslimat yang dipimpinnya, meskipun tidak benar-benar terang benderang mendukung, tapi siapapun tahu, bahwa Muslimat mendukung Jokowi. 

Dan, dukungan muslimat jauh lebih efektif dibandingkan dukungan emak-emak yang mendukung Prabowo. Artinya, bisa disimpulkan, bahwa the real power of emak-emak, justru ada di Jokowi, melalui Khofifah, melalui Muslimatnya. Lihat saja jumlah massa Muslimat di GBK, bisa menandingi massa pro Prabowo ditempat yang sama. 

Dengan realitas ini, gubungan Jokowi dan Khofifah, kok sepertinya, PDIP akan mudah menerima Khofifah. 

Kedua, merangkul PKB. Ibarat anak hilang kembali ke rumah, itulah Khofifah dan PKB. Sejarah keduanya tak bisa dipisahkan. Khofifah pernah dibesarkan oleh PKB. Elit-elit partai ini juga bersahabat baik dengan Khofifah. Mereka sama-sama dibesarkan Gus Dur, mereka sama-sama santri di NU, mereka juga sama-sama memulai proses pengkaderan di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), organisasi kemahasiswaan NU. Saya kira, tak akan sulit mempertemukan keduanya. Cak Imin, sang ketua umum, sudah bertemu Khofifah pasca pelantikannya sebagai Gubernur Jawa Timur. Sudah selesai, tinggal saling menjaga komitmen.

Ketiga, merangkul Gerindra. Jikapun tidak ada sejarah yang mengikat antara Khofifah dengan Gerindra, namun elit-elit partai ini, di Jawa Timur, beberapa di antaranya adalah kader NU, yang secara emosional dapat nyambung dengan Khofifah. Sebutlah sekretaris DPD Gerindra Jawa Timur, Anwar Sadad dan Bendahara DPD Gerindra Jawa Timur Hadinuddin. Keduanya kader NU, kedua tumbuh dan besar di PMII, wadah yang sama dengan Khofifah. 

Belum lagi faktor Cak Anam. Cak anam adalah tokoh senior yang getol dan terdepan mendukung Khofifah. Cak Anam juga mentor politik dari Anwar Sadad. Cak Anam juga dekat dengan Prabowo. Dengan melalui pengaruh Cak Anam, saya rasa, Khofifah bisa diterima oleh Gerindra.

Bagaimana dengan PKS? Saya rasa PKS akan membuka diri dengan sendirinya. Tak ada pilihan lain bagi mereka selain menjadi bagian dari kereta besar pendukung Khofifah.

Jika Khofifah berhasil menkonversi peluang tersebut di atas, semua partai yang tak ikut mendukungnya, akhirnya mengikat komitmen dengannya. Maka, hingga 2023, pemerintahan Gubernur Khofifah di Jawa Timur akan aman. (*)

*Penulis, Moh Syaeful Bahar, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES