Kopi TIMES

Kenapa Demokrat Harus Keluar?

Selasa, 14 Mei 2019 - 12:35 | 67.04k
Dr H Mohb Syaeful Bahar, M.Si, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya. (Grafis: Dena/TIMES Indonesia)
Dr H Mohb Syaeful Bahar, M.Si, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya. (Grafis: Dena/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, SURABAYAPECAH kongsi Demokrat dan BPN sedang ramai diwartakan. Benarkah gara2 setan gundul? Mana mungkin di barisan partai Allah (kata Pak Amin) ada setan gundul? hehe. Saling tuding antar elit Demokrat dan elit BPN memanaskan tensi politik menjelang final penghitungan suara di KPU RI. Berbagai tafsir politik muncul, mencoba membedah konfigurasi politik di internal BPN. 

Ada yang serius, penuh teori dan disertai argumentasi yang panjang lebar, namun juga ada yang lucu. Sekedar plesetan yang lucu, tapi gatuk, nyambung dengan kondisi yang ada. Misal, ada teman, yang nyeletuk ke saya, "itu pengaruh Shalawat Asghil yang dibaca santri-santri NU. Aura Shalawat Asghil mulai bekerja, mereka akan sibuk dengan mereka sendiri, berselisih antar mereka, sedang kita, menikmati kemenangan!". Hehe, ada2 saja. Tapi setelah saya renungkan, saya pikir dengan pelan, eh..., jangan-jangan benar ini. Shalawat Asghil memporak porandakan. 

Ah, tidaklah.....mosok dalam urusan politik yang ceketer ini, harus melibat2kan sholawat. Tidaklah.....cukup ustad2 yg baru jadi itu saja yang pakai agama untuk urusan ambisi kekuasaan, yang lain gak usah lah. Santri gak usah lah. Cukup doakan, terus baca Sholawat Asghil tanpa harus memastikan siapa yang dimaksud dengan dholimi bidholimi, biar Allah saja yang menghakimi. Manusia gak usah ikut-ikut, sesama pendosa gak usah merasa jadi tuhan, merasa berhak menentukan salah benar, surga neraka.

Demokrat selalu menjadi pembeda. Kira2 begitu posisi Demokrat. Sejak 2014 hingga 2019. Di dua Pilpres di maksud, Demokrat tak memiliki wajah yang utuh. Positioningnya selalu bermasalah. Ke kanan gak bener, ke kiri ewuh pekewuh. Sulit, tapi harus memilih. Tanpa memilih, ditinggal, maka menjadi semakin sulit.

Ke Jokowi, ada beban sejarah. Mega masih susah melupakan. Bagaimana di tahun 2004, dia disalip ditikungan akhir oleh anak buahnya sendiri saat itu. Mega gagal melaju jadi Presiden, disalip SBY, SBY yang jadi. Apa memang begitu wanita ya? Ah enggak juga. Banyak teman wanita saya yang tidak terlalu lama memendam marahnya. Cepat selesai, dan segera kembali rasional. Bu Megapun saya yakin juga mudah memaafkan. 

Beberapa tangisan Bu Mega di depan kamera, cukup menjadi bukti bahwa beliau memang orang yang memiliki perasaan yang halus, khas seorang ibu. Tapi kenapa SBY begitu susah merapat ke Jokowi? Platform partai saya kita tidak jauh-jauh beda. Sama-sama partai nasionalis. Lalu apa? pasti banyak penjelasan yg bisa diurai. Tapi tidak skrg, bukan di tukisan ini.

Demokrat merapat ke Prabowo juga bukan tanpa masalah. Ada masalah juga. Meskipun kedua2nya memiliki latar yg sama, militer, tapi catatan sejarah pasca '98 tercatat dengan rapi. SBY adalah salah satu Letjen yang menjadi bagian dari Dewan Kehormatan Perwira (DKP). Dan ikut menandatangani pemecatan/pemberhentian Prabowo. Jelas, keduanya pernah berada di posisi yg jauh berbeda. Satu sebagai pengadil, satunya lagi pesakitan yang diadili.

Tapi, nyatanya, akhirnya Demokrat merapat ke Prabowo. Ini sekaligus sebagai bukti bahwa Prabowo dan SBY adalah sosok yang rasional, politisi kawakan yang mengedepankan peluang-peluang kemenangan dibandingkan sejarah kelam keduanya. Hal ini patut dicontoh, beginilah seharusnya politik, selalu terbuka peluang komunikasi dan membangun koneksi.

Tapi, setelah masuk ke BPN apakah tidak ada masalah dengan posisi Demokrat?! Jelas banyak masalah. Begitu adanya. Positioning Demokrat bermasalah. Di Internal Demokrat dan di eksternal Demokrat. 

Apa masalahnya? Baik, kita urai satu persatu. Klo kurang, sidang pembaca bisa menambahkan. Paling tidak ada lima masalah yang saya tangkap adalah;

Pertama, Demokrat pernah jaya. Demokrat pernah berhasil mengantarkan kadernya, SBY menjadi presiden tahun 2004, dan sekaligus menjadi pemenang pemilu 2009. Beban kemenangan ini tidak mudah, tapi berat secara spikologis. Kemenangan ini menjadi beban sejarah yang tak ringan. Apalagi, menjelang lengsernya SBY, tsunami di internal Demokrat terjadi, kader2 terbaik mereka diringkus KPK. Anas Urbaningrum, Andi Malarangeng dan Nazaruddin. Semakin lengkap derita Demokrat. Beruntung SBY pemimpin yang cerdas dan tenang, sehingga dengan cepat mengurai persoalan di partai yang didirikannya. Tapi belum selesai, hingga sekarang. Buktinya, kepercayaan rakyat belum pulih. Demokrat masih terperosok di posisi medioker.

Beban spikologis seorang mantan juara memang susah bangkit jika sudah tersungkur.

Kedua, Ideologi Demokrat tidak cocok dengan sebagian besar para elit yang bergabung di BPN. Platform Demokrat yang cendrung inklusif, susah ngeklik dengan beberapa elit BPN, terutama para elit 212 yang cendrung ekslusif. Beberapa tokoh lokal Demokrat minta ijin ke SBY untuk tidak mengikuti garis Demokrat di Pusat, tapi nyempal, justru mendukung 01 di beberapa daerah, salah satunya, Jawa Timur. Pak De Karwo, sebagai ketua Demokrat, jelas ke Jokowi.

Ketiga, Keberadaan Demokrat di internal BPN juga susah diterima dengan terbuka, beberapa elit BPN, terutama dari kelompok 212, khawatir dengan SBY. SBY dianggap tidak tulus dan tak berani terbuka membela "Islam". Sebagaimana pernyataan HRS, yang disampaikan oleh YIM, bahwa SBY dianggap islamofobia. 

Terlepas dari benar salahnya kabar yang disampaikan YIM, keretakan itu nyata ada. Demokrat menolak tuduhan itu, Demokrat hanya menegaskan bahwa politik identitas, apalagi dibungkus dengan agama, sangat tidak mendidik. Itu saja. Karena itu, untuk acara BPN di GBK, SBY menanggapi dan menyatakan ketidaksetujuannya, dia mengatakan acara tersebut tidak mencerminkan inklusivisme. 

Keempat, Elit2 212 jauh lebih cocok dengan PKS dan PAN. Isu yang diusung  212, cocok dengan semangat dan ideologi PKS dan PAN. Dua partai ini memang lebih "islamis" dibandingkan Demokrat dan Gerindra sekalipun. Dua partai ini adalah penikmat utama dari pertarungan Jokowi-Prabowo. 

Massa yang terbelah, 01 atau 02, harus memilih, dan massa 02 merasa aspirasanya lebih cocok dengan dua partai islamis ini. Terbukti, keduanya sukses menjalani Pemilu 2019 dengan gemilang, perolehan suara keduanya jauh dia atas prediksi para pengamat politik. Sedang Demokrat, sama sekali tak menikmati limpahan suara dari massa 02. Kenapa? Karena massa 02 memang bukan basis massanya.

Kelima, jika ukurannya adalah pemilih, mungkin Demokrat salah tempat, sama dengan PBB yang juga mungkin salah tempat. Demokrat harusnya di 01 dan PBB harusnya di 02. Menurut hitung cepat, suara demokrat turun, dari angka 10,19 persen di tahun 2014 menjadi 8,03 persen di tahun 2019.

Demokrat tidak boleh kehilangan kesempatan, maka segera keluar dr BPN adalah pilihan rasional, siapa tahu dapat berkah kekuasaan dr Istana. Misal, kader terbaik mereka hari ini, AHY diangkat menjadi menteri. Pasti itu akan memperbaiki image dan jangka jangkau AHY ke rakyat, apalagi posisi yang diberikan tepat dengan sosok AHY, akan lebih dahsyat. 

Mengejar kesempatan ini yang mungkin juga dibaca oleh YIM. YIM sudah tahu bahwa PBB susah bangkit, maka, untuk menyelamatkannya, salah satu strategi terbaik adalah menjadi bagian dr kekuasaan. Jadi menteri. Dengan begitu, dia akan punya daya jangkau menyapa rakyat. Harapannya, 2024, PBB bisa benar-benar bangkit. wallahu a'lam. (*)

*Penulis, Dr H Moh Syaeful Bahar, M.Si, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES