Kopi TIMES

Paradoks Pemilu 2019 dan Ibu Kita Kartini

Rabu, 24 April 2019 - 08:08 | 80.77k
Moh. Abd. Rauf
Moh. Abd. Rauf

TIMESINDONESIA, JEMBER – Entah, model kalimat apa yang harus saya tuliskan sebagai pembuka dalam tulisan ini. Mungkin mendeskripsikan seluruh permasalahan yang telah mewarnai pesta demokrasi tahun ini adalah ujian yang lebih berat daripada mengkhitbah seorang gadis kepada orang tuanya. Saya yakin, separuh penghuni negeri ini banyak yang mengeluhkan sampai kapan drama politik ini dipertontonkan. Sisanya, masih intens menggaungkan semangat berjuang untuk membangun strategi supaya jagoannya dinobatkan sebagai pemenang.

Ah memang, politik Indonesia selalu menyemaikan adegan-adegan komersial yang ujungnya menjadikan bahan perpecahan. Hal ini yang membikin orang tambah nek untuk bercengkrama dengan dunia politik. Padahal jelas politik itu baik, amat dan sangat baik. Seperti yang disampaikan oleh Presiden RI ke-4 Gus Dur bahwa “Politk adalah pekerjaan yang sangat mulia karena memperjuangkan nasib orang banyak”. Tetapi stigma politik yang tertanam di benak masyarakat menyublim hingga menjadi warisan dogmatik. Ini bukan salah tukang becak atau penjual gorengan yang apatis terhadap pendidikan politik tetapi para oknum yang haus kekuasaan menyampingkan tanggung jawab moral.

Alhasil pengaruh kaleidoskop politik sejak beberapa bulan yang lalu telah menjangkit pada beberapa tatanan masyarakat yang menjadi lebih agresif dan sensitif. Dalam konteks pilpres, polarisasi masyarakat seakan-akan menjadi dua macam kubu, yakni; cebong dan kampret, satu lagi yaitu kubu netral (sebagai wasit di antara keduanya). Hal tersebut tidak hanya terjadi kepada golongan orang dewasa pada umumnya. Walaupun secara konstitusional tidak dapat berpartisipasi dalam pemilu, anak kecil yang masih duduk di bangku sekolah dasar juga terhipnotis oleh virus politik ini. Lagi-lagi label politik kita semakin buruk.

Penghujung tahun 2018 harus merenggut nyawa karena beda pilihan presiden. Tragedi ini terjadi di Sampang Madura yang kronologinya berawal dari percekcokan debat di Facebook. Karena dianggap salah satu pihak kalah dalam berargumen akhirnya si pelaku melakukan tindakan yang sangat fatal dengan menembak menggunakan senjata api.  

Berikutnya, peristiwa awal tahun 2019 yang sangat ironis, di Gorontalo dua kuburan harus dipindahkan karena faktor perbedaan dalam memilih calon legislatif. Tindakan yang mempertentangkan nilai humanisme ini berawal dari kedua pihak keluarga yang memiliki pilihan yang berbeda. Lalu si pemilik lahan kuburan tersebut mengecam keluarga terkait agar memindahkan kuburan keluarganya.

Kembali, fenomena yang sangat aktual harus mempertaruhkan banyak nyawa. Sekitar 16 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) harus kembali terlebih dahulu ke hadapanNya. Menurut Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jawa Barat, Rifqi Almubaroq menyampaikan bahwa meninggalnya para petugas tersebut dipicu oleh faktor kelelahan. Sampai saat ini KPU pusat masih melakukan pengkajian terhadap peristiwa tersebut.

Nampaknya memahami beberapa peristiwa di atas seolah-olah nyawa tidak lagi berharga. Politik yang seharusnya menjadi instrumen untuk mengkonstruksi nilai-nilai kemanusiaan justru mendestruksi kemanusiaan itu sendiri. Perihal nyawa, politik saat ini bukan lagi urusan korupsi uang rakyat tetapi korupsi kemanusiaan. Lantas sampai kapan pradoks ini akan membelenggu jiwa dan raga bangsa kita.

Fenomena Baru

Justru dalam perhelatan akbar pemilu kali ini ada langgam baru yang disuguhkan kepada publik. Yaitu partisipasi kaum perempuan yang semakin masif untuk ikut andil dalam kontestasi politik. Mulai dari maju sebagai caleg, tim sukses dan bahkan menjadi pemerhati dinamika politik. Artinya, era reformasi kita sudah mulai terlihat dengan adanya peradaban semacam ini.

Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa terobosan baru di atas juga setara dengan beberapa peristiwa yang telah timbul oleh gejala politik lainnya. Hal yang sangat kontras yaitu adanya mobilisasi gerakan “emak-emak” oleh salah satu paslon presiden. Label the power of emak-emak dianggap dapat menjadi benchmark untuk meraup suara. Karena emak-emak sendiri dapat mentransformasikan keluhan-keluhan yang bersifat primordial kepada emak-emak yang lain. Berbagai cara digunakan seperti ngerumpi pagi ketika belanja kebutuhan keluarga serta curhat via dunia maya (indirect campaign). Sehingga dalam memanifestasikan people power dianggap lebih mudah dan efektif.

Tetapi sangat disayangkan, kampanye ala emak-emak tersebut lebih condong kepada sensasi dan minim substansi. Karena keterbatasan edukasi serta literasi digital para emak-emak juga menjadi penyebar hoaks paling banyak (JawaPos, November 2018). Hal tersebut memberikan pengaruh yang sangat signifikan bagaimana konsumsi publik akan berdampak. Dan lagi, ini bukan solusi tetapi memperkeruh situasi. Lantas, kemanakan kita harus mengadu?

Seharusnya para perempuan, baik milenial ataupun emak-emak yang berkecimpung dalam dunia politik harus banyak berguru dan belajar kepada Ibu Kita Kartini. Di antara banyaknya perempuan yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, R.A Kartini patut dicontoh sebagai politisi wanita yang harus dijadikan kiblat bagi politisi perempuan saat ini. Beliau adalah pelopor dan pejuang kebangkitan perempuan Indonesia. Tidak hanya memperjuangkan emansipasi wanita saja tetapi beliau memiliki keinginan besar untuk memajukan bangsa yang masih terjajah oleh kolonial di saat itu.

Atensi dan gagasan pembaharuan Kartini muda terhadap bangsa ini benar-benar harus dijadikan modal utama dalam berpolitik. Karena beliau tidak hanya berani tampil di depan publik untuk menyuarakan kepentingan rakyat tetapi beliau juga hadir dan terjun langsung untuk mengetahui keadaan rakyatnya. Dalam bidang pendidikan, Kartini mendirikan “Sekolah Gadis” untuk memfasilitasi kaum-kaum perempuan daerah agar tidak dibodohi oleh penjajah Belanda. Pendidikan menurutnya adalah salah satu pondasi penting bagaimana bangsa ini bisa berubah lebih baik.

Dalam segi kebangsaan, jiwa nasionalisme Kartini tidak dapat diragukan kembali. Beliau berani menuntut pemerintah Hindia-Belanda agar menghapuskan penjualan candu opinium. Beliau memiliki alasan yang sangat logis bahwa candu dapat merusak dan melemahkan kesehatan rakyat serta memperburuk perekonomian bangsa.

Karya termasyhur Kartini buku kumpulan surat yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang” dapat diinterpretasikan bahwa sebelum kita berjuang di tengah masyarakat ada hal yang lebih penting dalam politik. Bahwa kita harus menyiapkan dan menata pribadi kita terlebih dahulu agar apa yang benar-benar kita ikhtiarkan akan berbuah manis kepada orang lain.  

Bagaimana konteks hari ini? Semoga di Hari Kartini tahun 2019 ini akan banyak Kartini-kartini yang lahir agar dapat mereparasi politik di Indonesia berdasarkan kepentingan rakyat bukan sepihak. Selamat Hari Kartini.

 

*) Ketua Umum Komunitas Peradilan Semu (KOMPRES) IAIN Jember

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES