Kopi TIMES

Politik, Tuan Guru dan Wawasan Kebangsaan

Rabu, 24 April 2019 - 08:54 | 113.85k
Ahmad Patoni, S.S, Kepala Madrasah Diniyah Salaf Modern Thohir Yasin Lendang Nangka, Masbagik, Lombok Timur, NTB. (Grafis: Dena/TIMES Indonesia)
Ahmad Patoni, S.S, Kepala Madrasah Diniyah Salaf Modern Thohir Yasin Lendang Nangka, Masbagik, Lombok Timur, NTB. (Grafis: Dena/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, LOMBOK – Menjadi sebuah fakta lapangan dan realita politik,  informasi tentang turun gunungnya para pimpinan ormas,  organisasi besar dan kiai/Tuan Guru kharismatik dalam memenangkan salah satu paslon capres di Nusa Tenggara Barat (NTB).  Akan tetapi harapan Besar akan adanya tsunami politik/pindah haluan tidak berdampak signifikan. 

Tidak bisa kita pungkiri,  kondisi perpolitikan NTB sangat jelas,  seandainya para tuan guru tidak turun gunung,  bisa jadi capres tertentu akan mendapatkan suara di atas 90 persen. Akan tetapi tulisan ini tidak pada pembahasan menang atau kalah. Penulis sangat tertarik dengan kondisi perhatian pusat untuk NTB dan tidak bergemingnya pemilih. 

Kultur sosial masyarakat NTB sangat cepat ditebak,  mereka tidak berbicara kalah menang.  Tapi berbicara mempertahankan apa yang diyakini berdasarkan informasi yang didapat.  Berbicara isu nasional tentunya berbicara tentang informasi apa yang mereka lihat,  baca dan fahami dari media sosial. Kuatnya arus media sosial sangat sulit terbendung oleh grassroot apapun.  

Sehingga tidak jarang arah pilihan politik para tuan guru akan sangat sulit dipahami dan dimengerti oleh kalangan akar rumput dikarenakan kedekatan mereka dengan media sosial melebihi kedekatan mereka dengan analisa kebangsaan sebuah organisasi. Seolah organisasi Sebesar NU,  NW Yatofa dan Marakit tidak mampu mengubah peta politik NTB.  

Permasalahannya bukan pada tidak adanya effect Tuan Guru atau Ormas Besar,  akan tetapi dari sini bisa kita pahami adanya ketidaksinkronan pemahaman kebangsaan jamaah dengan pemahaman kebangsaan para tuan Guru.  Berbicara arah politik 2019 Berbicara Cinta Tanah Air dan Cinta Islam.  Dan Media sosial sudah memframing paslon yang didukung Para Tuan Guru,  sebagai tokoh anti Islam. meskipun memiliki wakil seorang kiai dan representasi santri.

Representasi santri tidak lagi dilihat sebagai langkah positif akan tetapi,  tidak lebih sebagai strategi politik mendulang suara. Sehingga Tidak jarang sebagian besar jamaah NW dan NU berpendapat.  Kita tetap akan mengaji pada para tuan Guru akan tetapi urusan pilpres kita sudah punya pilihan.  

Fenomena ini sangat menarik, secara tidak langsung masyarakat bawah ingin menyampaikan kalo urusan agama kita patuh pada tuan guru.  Tapi urusan bernegara kita harus serahkan pada ahlinya.  Dari sini kita bisa fahami,  selama ini para tuan guru jarang sekali berbicara tentang regulasi pemerintah dan wawsan kebangsaan.  Akan tetapi para tuan Guru sudah terlanjur disimbolkan sebagai representasi hukum syariat bukan uswah ber Muamalat. Sehingga tidak jarang kita dengar istilah Tuan Guru/kiai sejati adalah Tuan Guru yang tidak berpolitik.  Berarti Tuan Guru yang terjun ke politik bukan Tuan Guru lagi. 

Padahal tidak seharusnya demikian,  justru para raja islam Indonesia banyak dari kalangan tuan guru.  entah itu Raja islam yang ada di Sulawesi,  Sumatra dan Jawa.  Begitu juga dengan Khulafaur Rasyidin,  Mereka orang mulia diatasnya para waliyullah justru menjadikan politik sebagai media melanjutkan syiar islamnya Baginda Nabi.  

Artinya Bahasa "Tuan Guru Seharusnya Hanya Ngaji" adalah bahasa lanjutan dari isu yang digelontorkan oleh Snouck,  seorang ilmuan Belanda yang pura-pura masuk islam. Kalaupun ada tuan guru yang fokus pada Dakwah itu mengikuti uswah para sahabat juga.  Artinya sikap berpolitik dan tidak berpolitik sejatinya itu adalah ajaran para sahabat Nabi. Bukan diperuncing dengan istilah tuan guru sejati dan tuan guru politik. Stateman ini merupakan kesalahan yang sangat fatal. 

Bagaimana dengan peran TGB dan prestasinya memimpin NTB?  Berbicara masyarakat NTB adalah berbicara keragaman dan kultur ketimuran. Berbicara pilpres di NTB adalah berbicara kelanjutan pilkada DKI Jakarta,  Berbicara Pilpres 2019 di NTB adalah berbicara tentang pembelaan pada Islam. 

Berbicara Pilpres adalah berbicara tentang ketegasan dan keamanan.  Maka bisa kita lihat di lapangan ketika TGB dan Tuan Guru lainnya pasang badan.  Tidak jarang mereka harus terima cacian dan makian sehingga yang muncul bukan landasan visi kebangsaan dan kedaerahan TGB,  akan tetapi sebaliknya.  Yang muncul dipermukaan adalah framing TGB menyelamatkan diri. 

Hasilnya, bukan malah menemukan titik temu,  melainkan semakin meruncingkan situasi.  Ditambah lagi dengan mudahnya akses medsos ceramah para ustaz yang begitu lantang berbicara isu kebangsaan dan dibenturkan dengan isu keagamaan. Hal ini menambah keyakinan masyarakat akan kondisi bangsa yang membahayakan islam dimasa akan datang.  Framing kondisi bangsa,  ijtimak ulama dan istilah pilihan ulama.  Semakin mengokohkan informasi yang selama ini dilihat dan diketahui. 

Kondisi di atas bukan dalam arti para tuan guru sudah kehilangan pengaruh,  melainkan ada PR Besar para dai/Tuan guru untuk menyatukan pemahaman visi kebangsaan masyarakat dan pemahaman visi kebangsaan para tuan guru. Dan syukurnya sudah dimulai.  Mengambil contoh para kiai di wilayah Jawa, disetiap pengajian/ceramah umum selalu diselipkan materi tentang regulasi pemerintahan dan wawasan kebangsaan sehingga dalam momen tertentu penyatuan visi tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama. 

 Selama ini, kita selalu diperdengarkan dengan regulasi pemerintah disampaikan oleh para tuan guru disaat musim kampanye saja.  Padahal bicara regulasi dan wawasan kebangsaan seharusnya disampaikan disetiap halaqoh ceramah dikarenakan bicara wawasan kebangsaan adalah berbicara Muamalat dalam islam. Dan hal ini sejatinya sudah dicontohkan oleh pahlawan nasional asal NTB TGKH Zainuddin Abdul Majid. Beliau banyak mengarang syair dan Lagu Cinta Tanah Air dan sering membahas ilmu pemerintahan dan wawasan kebangsaan di sela pengajiannya sehingga jamaah tidak hanya mendapatkan ilmu syariat,  aqidah saja.  Melainkan Mendapatkan ilmu tentang Muamalat dan Kebangsaan. 

Materi wawasan kebangsaan,  selain akan mampu mengcounter isue transnasional. Bisa juga menjadi senjata ampuh membangun karakter bangsa kita yang sedang mengalami degradasi moral.  Pemahaman kebangsaan yang dibarengi dengan ilmu agama yang kuat.  Akan mampu mengukuhkan bangsa dan agama. Sehingga muslim Indonesia tetap akan dinilai sebagai muslim paling inklusif di dunia.  Waallahuallam. (*) 

 

*) Penulis adalah Ahmad Patoni, S.S, Kepala Madrasah Diniyah Salaf Modern Thohir Yasin Lendang Nangka, Masbagik, Lombok Timur, NTB. 

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sofyan Saqi Futaki
Sumber : TIMES Mataram

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES