Kopi TIMES

Membaca Minat Baca Kita

Selasa, 23 April 2019 - 16:34 | 146.79k
Sugeng Winarno, Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang.(Grafis : TIMES Indonesia)
Sugeng Winarno, Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang.(Grafis : TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANG – Pagi ini saya mendapat pesan lewat WhatsApp dari seorang teman yang isinya bernada tanya, “sudahkan anda membaca buku hari ini?”.  Pesan ini mengingatkan bahwa tanggal 23 April ini diperingati sebagai Hari Buku Sedunia. Tak banyak orang yang mengingat peringatan World Book Day hari ini, seperti banyak orang telah melupakan pada aktivitas membaca buku. Minat baca buku kita rendah, masih terkalahkan oleh budaya menonton.

UNESCO meresmikan Hari Buku Sedunia sejak 23 April 1995. Tanggal 23 April dipilih sebagai penghormatan kepada para sastrawan besar dunia yang meninggal di tanggal tersebut. Salah satu sastrawan itu adalah Miguel de Cervantes seorang penulis asal Spanyol lewat karya sastra terbaiknya bertajuk Don Quixote. Hari Buku Sedunia diperingati dengan beragam acara termasuk di Indonesia.

Momentum World Book Day kali ini menjadi waktu yang penting untuk menengok kembali bagaimana budaya baca buku pada masyarakat kita. Di negeri ini membaca buku masih belum menjadi kebiasaan (habit), apalagi jadi budaya. Membaca buku masih menjadi aktivitas langkah karena tak banyak masyarakat yang melakukannya. Kalau toh ada aktivitas membanca kebanyakan karena unsur paksaan, bukan atas dasar kebutuhan.

Pemerintah Indonesia sendiri juga sejak tahun 2002 telah mencanangkan 17 Mei sebagai Hari Buku Nasional. Penetapan secara khusus Hari Buku ini dalam usaha memberantas buta huruf dan memunculkan gaya hidup membaca buku di lingkungan masyarakat. Menggelorakan semangat menulis dan membaca buku merupakan amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan, bahwa buku itu harus bermutu, murah dan merata.

Jendela Dunia Yang Berubah

Buku adalah jendela ilmu. Siapa yang ingin menguasai dunia maka bacalah buku. Melihat realitas saat ini, ungkapan buku sebagai jendela dunia tampaknya sudah tak relevan. Kini jendela dunia itu telah berubah semenjak lahirnya internet. Melalui internet segala informasi dan pengetahuan yang sebelumnya hanya ada di buku kini telah disediakan oleh internet. Lewat dunia maya informasi tersebar masif tak terbatas jumlah halaman seperti layaknya buku.

Melalui internet pula wujud dan penampakan buku juga telah berubah. Kalau buku zaman dulu hanya berupa tulisan yang tercetak di kertas (printed), kini buku telah bermetamorfose dalam aneka bentuk. Buku tercetak itu kini juga banyak dibuat dalam versi digital dalam bentuk electronic book (ebook) dan audio book (buku yang dibacakan seseorang). Kini banyak buku yang tak lagi ditulis dan dibaca lewat medium kertas (paper).

Di zaman digital saat ini telah memungkinkan buku dibuat tanpa kertas (paperless). Pembaca buku pun tak musti orang yang bisa melihat. Orang-orang buta kini bisa membaca buku dalam format audio book. Mereka cukup mendengarkan isi sebuah buku yang dibacakan atau dinarasikan oleh narator. Penetrasi buku bisa menjangkau khalayak yang lebih luas, tak hanya pembaca namun juga pendengar.

Sebuah situs penjual buku online semacam Amazone dot com kini bermunculan. Mereka menjual beragam jenis dan genre buku dengan berbagai pilihan. Pembeli bisa memesan buku dalam bentuk tulisan tercetak atau dalam bentuk ebook dan audio book. Beberapa penerbit buku juga telah membuat buku terbitannya dalam beragam format. Penjualan dan penetrasi buku juga semakin meluas, tak tergantung dan terbatas pada wilayah geografis di mana buku itu diterbitkan.

Melihat semakin beragamnya wujud buku, asumsinya semakin banyak pilihan orang dalam membaca buku. Hal ini idealnya berkorelasi pada minat baca masyarakat pada buku. Melihat kondisi masyarakat Indonesia saat ini, ternyata keragaman bentuk dan format buku ternyata tak berkorelasi pada tingginya minat baca masyarakat pada buku. Hal inilah yang menjadikan industri perbukuan di Indonesia lesu.

Budaya Baca Vs Budaya Pragmatis

Sejumlah survei telah dilakukan untuk menilai budaya baca masyarakat Indonesia. Beberapa lembaga tersebut menempatkan budaya baca Indonesia pada angka yang tak menggembirakan. Salah satunya yang dilakukan oleh Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organisation for Economic Co-Operation and Develompent (OECD), yang menempatkan Indonesia berada di rangking ke 62 dari 72 negara.

Dukungan pemerintah lewat penyediaan perpustakaan sebenarnya sudah sangat memadai. Jumlah perpustakaan di Indonesia kini mencapai 164.610. Jumlah ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah infrastruktur perpustakaan terbanyak nomor dua di dunia setelah India yang memiliki 323.605 perpustakaan. Namun jumlah perpustakaan tak sebanding lurus dengan budaya baca masyarakat. 

Budaya baca buku telah terkalahkan oleh budaya pragmatis. Masyarakat tak jarang lebih suka yang praktis dan instan. Internet telah memasilitasi masyarakat yang pragmatis ini. Orang lebih memilih bertanya kepada Google atau mesin pencari (search engine) yang lain ketika membutuhkan informasi tertentu. Orang banyak melupakan buku karena di internet semua sudah disediakan “Mbah” Google.

Rendahnya budaya baca juga disebabkan budaya menonton televisi yang sangat tinggi. Penetrasi media audio visual ini telah memalingkan banyak orang dari aktivitas membaca buku. Kehadiran beragam gadget lewat beragam aplikasi media sosial juga menjadi pengganjal laju minat baca masyarakat Indonesia. Daya beli masyarakat pada buku juga masih rendah. Kebutuhan anggaran guna membeli buku masih terkalahkan dengan kebutuhan beli pulsa dan beli paket data smartphone.

Hari Buku Sedunia hari ini memang telah dirayakan banyak orang. Tak terkecuali di Indonesia. Sejumlah acara digelar, mulai dari bedah buku, pameran buku, hingga jumpa penulis. Perbincangan seputar hari buku ini juga menjadi topik hangat (trending topic) di sejumlah platform media sosial. Hashtag #HariBukuSedunia pun bertebaran di linimasa Twitter menjadi topik hangat di Indonesia. 

Permasalahan urgen yang menjadi pekerjaan rumah kita semua adalah bukan hanya mengingat membaca buku saat perayaan Hari Buku Sedunia. Tugas berat kita adalah bagaimana mewujudkan minat baca hingga menjadi budaya membaca buku. Karena apapun buku yang ditulis, diterbitkan, dan dikemas dalam beragam bentuk tentu tak akan ada artinya kalau tak ada yang mengakses atau membacanya. Mari membaca buku! (*)

*) Sugeng Winarno, Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES