Politik

Biaya Politik di Indonesia Perlu Diturunkan

Jumat, 19 April 2019 - 18:02 | 42.28k
Peneliti asal Belanda Ward Berenschot ketika berdiskusi di UGM. (FOTO: Ahmad Tulung/TIMES Indonesia) 
Peneliti asal Belanda Ward Berenschot ketika berdiskusi di UGM. (FOTO: Ahmad Tulung/TIMES Indonesia) 

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Peneliti asal Belanda Ward Berenschot mengatakan, biaya politik di Indonesia sangat tinggi. Hal itu terjadi karena fenomena politik transaksional yang masih mewarnai pada proses pemilihan umum (Pemilu).

“Untuk menguatkan demokrasi Indonesia, saya pikir penting untuk memikirkan bagaimana menurunkan biaya politik,” kata Ward Berenschot, dalam acara bedah buku yang diselenggarakan Departemen Politik Pemerintahan (DPP) UGM bekerjasama dengan KITLV dan Yayasan Pustaka Obor di Kampus UGM, Kamis (18/4/2019).

Dalam buku “Democracy for Sale: Pemilu, Klientalisme, dan Negara di Indonesia” yang ia tulis bersama Edward Aspinall. Ward menggambarkan politik dan demokrasi di Indonesia dalam ruang informal yang justru jarang ditelaah oleh banyak studi politik.

Politik transaksional yang salah satu bentuknya terwujud dalam jual beli suara pada masa pemilihan umum, menurut Ward, merupakan salah satu praktik yang khas dalam politik informal Indonesia, meski isu politik transaksional sendiri dapat juga ditemukan di negara-negara lain, termasuk Argentina dan India yang ia sebutkan dalam bukunya sebagai pembanding bagi Indonesia.

Ia menambahkan, biaya tinggi yang terkait dengan politik transaksional ini sangat perlu dibatasi. Sebab, hal ini akan membuat praktik korupsi semakin merajalela, politik oligarkis, dan tatanan pemerintahan yang lemah. Ia mengusulkan, adanya suatu reformasi elektoral untuk mengubah incentive structure yang dihadapi oleh politisi dan menekan ongkos politik.

“Reformasi pemilu sangat dibutuhkan. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan mengubah open list system partai untuk pemilihan parlemen,” papar Ward..

Contoh lain, memperkuat pengawasan kampanye serta mengintegrasikan pemilihan parlemen dan pemilihan kepala daerah.

Selain buku Democracy for Sale, buku lain yang dibedah dalam acara ini adalah “Citizenship in Indonesia” yang disunting oleh Ward bersama Gerry van Klinken. Buku ini menawarkan berbagai perspektif mengenai citizenship yang menurut Gerry tidak bisa semata-mata dimaknai dalam konteks kewarganegaraan yang selama ini dikenal.

“Kami berusaha membangun kerangka baru tentang apa itu citizenship. Kalau cuma soal pegang KTP, itu tidak cukup,” terang Gerry.

Konsep citizenship yang dibangun berdasarkan pemahaman di dunia barat, menurutnya, tidak berlaku di Indonesia. Karenanya, diperlukan konsep baru yang dinamis di mana seorang citizen dapat menuntut hak, memiliki identitas, dan berpartisipasi dalam membangun lingkungannya.

Secara lebih spesifik, para kontributor buku ini menuliskan contoh-contoh kasus terkait pemahaman terhadap citizenship, salah satunya berupa kajian terkait konflik kepemilikan lahan hutan oleh masyarakat adat.

Dosen DPP UGM, Mada Sukmajati mengapresiasi kepada Ward yang peduli terhadap persoalan yang ada di dalam politik Indonesia melalui kajian mendalam yang ia lakukan.

“Buku yang ditulis oleh Ward ini memberikan gambaran terkait praktik demokrasi patronase di Indonesia. Ini buku yang tidak disusun secara instan, tetapi merupakan refleksi dari beberapa kajian,” kata Sumadjati. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan
Sumber : TIMES Yogyakarta

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES