Kopi TIMES

Catatan untuk Pemilu Tahun 2019

Jumat, 19 April 2019 - 14:10 | 201.18k
Zaenal Abidin, Pengurus Cabang Lakpesdam NU Kabupaten Blitar
Zaenal Abidin, Pengurus Cabang Lakpesdam NU Kabupaten Blitar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – PEMILU sebagai sebuah peristiwa dan salah satu komponen demokrasi, dimana pada proses ini rakyat kembali diminta untuk melakukan sebuah pesta dan konsensus memilih kembali wakilnya di pranata pemerintahan.

Proses Pemilu memaksa para Kandidat dan Partai Politik berlomba untuk mendapatkan simpati pemilih yang kemudian menjadikannya pemenang. Persaingan ini, idealnya kemudian menjadi penentu dan berpengaruh terhadap pilihan kebijakan Pemerintah, karena Kandidat dan Partai akan menerapkan pilihan kebijakan yang sesuai dengan platform yang mereka bangun. 

Karena adanya persaingan di dalam pemilu di mana beberapa kandidat bersaing untuk mendapatkan posisi pada suatu lembaga pemerintahan, pemilu kemudian juga berdampak pada pilihan kebijakan yang akan dibuat oleh sebuah lembaga pemerintahan.

Pelaksanaan Pemilu idealnya dilaksanakan secara bebas dan setara ( free and fair), guna menjamin hak warga negara sehingga parameter pemilu dikatakan sukses manakala angka partisipasi yang tinggi serta konstituen memberikan suaranya secara proporsional dan bisa dipertanggung jawabkan.

Robert Dahl mengisyaratkan bahwa Pemilu melibatkan dua sumbu besar yaitu perlombaan dan peran serta masyarakat. Lebih lanjut Dahl menyatakan proses pemilu dikatakan demokratis manakala terjadi Pemilihan umum, Rotasi kekuasaan, dan Akuntabilitas publik. Semua elemen tersebut akan terwujud bila salah satu syarat utamanya terpenuhi yaitu manakala angka partisipasi yang cukup tinggi. Hal ini cukup beralasan karena legitimasi masyarakat kepada calon terpilih sangat dipengaruhi oleh partisipasi masyarakat.

Dalam setiap gelaran pemilihan masyarakat tentu memiliki preferensi dan kepentingan masing-masing untuk menentukan pilihan mereka dalam pemilu. Bisa dikatakan bahwa masa depan pejabat publik yang terpilih dalam suatu Pemilu tergantung pada preferensi masyarakat sebagai pemilih.

Tidak hanya itu, angka partisipasi masyarakat dalam Pemilu dapat dipandang sebagai evaluasi dan kontrol masyarakat terhadap pemimpin atau pemerintahan. Manakala angka partisipasi memiliki prosentase yang tinggi artinya masyarakat masih menaruh harapan dan memberikan kepercayaan kepada calon yang tersedia begitu pula sebaliknya.

Berdasarkan data yang dirilis oleh KPU (https://media.neliti.com/media/publications/45223-ID-desain-partisipasi-masyarakat-dalam-pemantauan-pemilu.pdf) sejak digelarnya Pemilu di tahun 1955 sampai pada 2014 baik pada level Pileg maupun Pilpres trend pertipipasi masyarakat pada pemilu cenderung menurun.

Sebagai contoh pada pemilu 1999 sebanyak 7,3 persen masyarakat yang memiliki hak pilih memutuskan untuk Golput, pada Pileg 2004 angka golput mencapai 15,9 persen, pada Pileg 2009 sebanyak 29,10 persen masyarakat pemilik hak pilih memutuskan untuk tidak memberikan hak suaranya dan patut disyukuri pada Pileg 2014 angka Golput menurun menjadi 24, 89 persen.

Pada gelaran pemilihan presiden secara langsung angka Golput cenderung naik 21,80 persen pada Pilpres putaran I dan 23,40 persen pada putaran II di tahun 2004 menyatakan Golput, pada Pilpres 2009 angka Golput 28,30 persen dan di tahun 2014 angka Golput di Pilpres mancapai 29,01 persen.

Artinya apa, pada setiap gelaran pemilu pasca Orde Baru runtuh tren partisipasi masyarakat mengalami penurunan. Setidaknya hal ini mengindikasikan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelaksanaan demokrasi melalui pemilu semakin menurun sehingga bisa dikatakan juga menurunnya tingkat kepercayaan terhadap pelaksanaan pemerintahan di negeri ini.

Menurut hemat penulis, ada dua hal mengapa tingkat pertisipasi masyarakat semakin menurun pada setiap gelaran pemilu. Pertama, ada kecenderungan penurunan kepercayaan masyarakat terhadap partai politik peserta pemilu dan kedua karena rendahnya pendidikan demokrasi bagi masyarakat.

Sebagai salah satu pilar demokrasi partai politik menjadi elemen penting sebagai wadah mayarakat dalam meyalurkan ide dan aksi dalam berdemokrasu.Karena apartai Politik dipandang mampu mengumpulkan kepentingan publik serta mengartikulasikannya dalam bentuk paket-paket kebijakan dan memberikan layanan untuk berpartisipasi dalam politik. Selain itu, partai politik mampu memberikan ruang bagi para pemimpin politik serta mampu membentuk struktur kontrol atas lembaga pemerintah.

Dalam kontestasi pemilu Partai politik hanya memiliki dua jalur, yaitu menjadi pemenang atau peroleh suara terbanyak dan menjadi pihak yang memperoleh suara kecil atau kalah. Manakala partai memiliki suara terbanyak dia diberi ruang untuk membentuk dan menjalankan roda pemerintah, sebaliknya manakala Partai hanya memiliki sedikit suara partai cenderung menjadi oposan.

Ketika terpilih, kandidat berusaha untuk memajukan kepentingan partai mereka di badan legislatif, mewakili agenda kebijakan tertentu yang memiliki legitimasi dari mandat pemilihan yang populer. Oleh karenanya, kelompok parlemen yang efektif sangatlah penting untuk penciptaan partai politik yang lebih efektif dan representatif, serta organisasi dan pengelolaan legislatif yang efisien.

Kehadiran partai politik dalam proses pemilihan menyediakan setidaknya tiga keuntungan yang jelas. Pertama, penyaringan calon anggota partai juga dikenal sebagai praseleksi  menerapkan suatu tingkat ketelitian yang tidak ada di jalur independen dan secara teoritis meningkatkan kualitas kandidat.

Kedua, selama kampanye Pemilu, kandidat yang terhubung dengan partai diuntungkan dari sumber daya yang partai mereka berikan selama masa kampanye pemilu. Berdasarkan platform kebijakan atau manifesto partai mereka, para kandidat ini memberikan suara yang konsisten pada kebijakan, dan memiliki arah kebijakan yang jelas jika terpilih hingga pemerintahan. Ketiga, mewakili kebutuhan masyarakat akan adanya saluran demokrasi diharapkan mampu merepresentasikan keingian mereka pada pemerintahan yang akan berlangsung.

Apa yang terjadi di masyarakat berbeda dengan harapan kita sebagai warga negara. Selama ini partai politik bukan hanya bekerja bukan berdasarkan nilai – nilai humanisme dan demokrasi yang sehat namun partai politik menjadi ruang bagi sebagian elit yang memiliki berbagai sumber daya untuk melanggengkan kekuasaan yang dimiliki.

Tidak sedikit pula elit politik yang secara tidak langsung tidak melaksanakan amanah konstituen dalam periode kepemilihannya sehingga pada periode berikutnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik semakin menurun. Banyak kita lihat bagaimana berbegai kasus dan skandal para elit partai politik menjadi bumerang bagi partai politik maupun bagi keberlangsungan demokrasi itu sendiri.

Mengapa partai politik semakin tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai elemen demokrasi, salah satu faktor yang menjadikan hal ini terjadi adalah tingginya biaya politik dan semakin pragmatisnya pengurus partai dalam menjalankan fungsi kepartaian.

Jika dirunut lebih jauh ada beberapa proses yang menjadi titik lemah mengapa selama ini partai politik tidak mampu menjalankan fungsinya secara idel, diawali proses rekrutmen calon anggota legsilatif (caleg) sebagaimana pengalaman beberapa kali Pemilu di Indonesia sangat memperihatinkan.

Parpol tidak memiliki proses pendidikan yang baik kepada kadernya sehingga partai politik tidak memiliki kader yang kredibel dan ideal untuk dicalonkan sehingga mereka memilih jalan pintas dengan parameter besarnya peluang keterpilihan caleg yang bersangkutan dengan mempertimbangkan caleg yang memiliki modal yang kuat atau memiliki dikenal masyarakat secara luas tanpa peduli dengan kapasitas maupun profesionalisme caleg pada.

Parpol termotivasi bahwa kebesaran sebuah parpol bukan ditentukan pada kuliatas tetapi ditentukan oleh berapa perolehan suara atau kursi yang akan diperoleh dalam sebuah ajang Pemilu.

Apalagi ada angka-angka politik yang harus dipenuhi dan menjadi target bagi setiap partai politik. Secara nasional papol harus menargetkan harus memperolah suara minimal sebagai syarat parliament threshold. Parpol juga harus mati-matian mendapatkan angka 25 persen suara sah nasional sebagai syarat untuk mengikuti pencalonan partai pada pemilihan presiden (pilpres).

Dilain hal, partai politik di daerah harus pula berjuang mencari angka suara terbanyak, sebab hal ini menjadi salah satu syarat untuk “menguasai” parlemen di daerah. Setidaknya hal inilah yang kemudian menjadi sebab bahwa parpol lebih mengutamakan merekrut masyarakat untuk menjadi caleg yang berpeluang menang meski minim pengalaman kepemimpinan menjadi caleg.

Kalau di pusat, kebanyakan yang direkrut adalah para artis dan pengusaha. Kalau di daerah yang paling banyak direkrut adalah keluarga para pejabat di daerah ataupun pengusaha dari luar daerah.

Tentu bukan sebuah permasalahan apabila mereka-mereka itu punya kapasitas dan pengalaman kepemimpinan.  Tetapi jika merujuk hasil pemilu maupun pilkada selama ini, pengalaman kepemimpinan dari caleg-caleg terpilih yang berasal dari kerabat pejabat dan pengusaha masih sangat diragukan.

Idealnya, rekrutmen kader partai politik harus melalui proses yang sistematis dan terstruktur serta harus didasarkan pada kebutuhan partai politik. Partai politik harus menjadikan dirinya sebagai media sekolah politik bagi anggota dan konstituennya melewati rekruitmen yang jelas, pola seleksi yang profesional berdasarkan pola ujian dan seleksi yang profesional yang pada akhirnya perlu dilakukan promosi anggota untuk jabatan-jabatan publik yang dianggap lulus dalam proses pendidikan politik.

Ada beberapa point yang bisa menjadi bahan edukasi bagi kader dan konstituen yaitu partai politik harus memberikan proses belajar dan mengajar tentang kepemimpinan, etika politik, konflik dan konsensus, pengambilan keputusan dan teknik-teknik berorganisasi lainnya bagi anggota-anggotanya. Agar kelak ketika anggota parpol tersebut terpilih sebagai pejabat publik, mereka telah memiliki bekal kepemimpinan yang dapat bermanfaat bagi banyak orang.

Akan tetapi, praktek demikian tidak dilaksanakan dengan baik oleh partai politik sehingga memberikan peluang untuk melaksanakan politik transaksional bagi politisi yang ingin masuk ke parlemen. Selain mengakibatkan masyarakat tidak memilih akibat ketidapercayaan pada parti politik dan calon, ketidakpercayaan masyarakat juga ternyata menjadi penyebab tingginya money politics dari calon legislatif atau kepala daerah kepada konstituen. Oleh sebab itulah persyaratan keanggotaan parpol sangat penting sebagai persyaratan menjadi caleg.

Perlu kiranya diusulkan bahwa syarat keanggotaan parpol bagi caleg harus sudah pernah menjadi anggota minimal lima tahun keanggotaan misalnya. Masa 5 tahun tersebut harus diisi oleh proses pendidikan politik yang panjang dengan diakhiri sebuah portofolio sebagai bukti keikutsertaan dalam proses edukasi tersebut.

Syarat keanggotaan 5 tahun ini akan membatasi masyarakat yang tiba-tiba menjadi anggota parpol karena ingin memenuhi persyaratan menjadi caleg. Kemudian mengantisipasi pula fenomena exodus baik calon legislatif maupun calon kepala daerah dari partai satu ke partai lain saat menjelang Pemilu.

Pengalaman selama ini bahwa sikap pemilih tidak terpengaruh dengan dengan visi, misi maupun program dari kandidat kepala daerah. Sikap pemilih dalam menentukan pilhan dipengaruhi oleh faktor transaksi, kesamaan kepercayaan, dan kesamaan etnik.

Pemilih tidak peduli dengan apa yang dijanjikan kandidat, tetapi tertarik pada aspek finansial dan kekerabatan dengan kandidat. Hal yang harus dilakukan saat ini adalah mencari pola startegi yang ideal dalam rangka pendidikan politik kepada masyarakat. Bagaimana memilih anggota legisltaif yang ideal dan tentunya strategi itu tidak hanya dilakukan saat menjelang pemilu tetapi sudah harus dilakukan secara reguler jauh sebelum pelaksanaan pemilu di mulai.

Konstituen harus diedukasi bagaimana dampak yang diakibatkan jika salah memilih pemimpin dan bagaimana seharusnya memilih pemimpin yang bermanfaat baginya dan orang lain.

Selain itu partai politik juga harus memberikan edukasi kepada masyarakat. Kerjasama dengan berbagai pranata sosial lain setidaknya mampu menjadikan partai politik sebagai pranata yang mampu menjadi katalisator pelaksanaan demokrasi yang sehat.

Selama ini pendidikan politik bagi masyarakat belum sepenuhnya berjalan secara efektif. KPU, partai politik, LSM dan media sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan politik bagi konstituen khususnya bagi masyarakat belum bersinergi dengan baik. 

Pendidikan politik sebagai salah satu proses demokrasi yang fundamental bagi masyarakat sangat diperlukan agar mereka mempunyai pengetahuan politik yang memadai, sikap-sikap politik dan perilaku politik yang cerdas.

Pendidikan politik sendiri perlu dilakukan secara sustainabel dalam sebuah masyarakat sehingga mampu memahami dan menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal dan diharapkan mampu membentuk kepribadian, kesadaran dan partisipasi politik secara positif.

Sudah jamak diketahui di berbagai media jika persoalan politik yang terjadi selama ini banyak diwarnai oleh perebutan kekuasaan, tetapi jarang memperlihatkan perumusan kebijakan umum yang ditujukan untuk menyejahterakan rakyat.

Karena itu, etika politik menjadi bagian lain dalam melihat substansi atau materi dalam pendidikan politik. Faktor kepercayaan berhubungan dengan perilaku politik dari elit politik. Jika perilaku politik berkualitas,kepercayaan akan berpihak kepadanya.

Sebaliknya, jika perilaku politik hanya didasarkan pada ambisi kekuasaan, kepercayaan ini akan menjauh. Sedangkan minimnya pengetahuan terhadap kriteria kepemimpinan dapat disebabkan tidak tersedianya informasi yang cukup tentang kepemimpinan dan kenegarawanan.

Karena itu, dalam pandangan masyarakat, materi tentang etika dan kepemimpinan politik harus menjadi bagian dalam pendidikan politik. Bagaimana dalam pendidikan politik disampaikan secara ringan dan melalui penggunaan bahasa yang sederhana serta mudah dipahami.

Dalam hal ini, patut dihindari adanya asumsi bahwa masyarakat telah memiliki kemampuan dan pengetahuan yang memadai tentanga istilah-istilah yang ada di dalam dunia politik. Sinergisitas antara teori dan praktek perlu dikemas secara proporsional, dipresentasikan secara nyata, diartikulasikan secara memadai dan tepat sasaran.

Berbagai metode penyampaian tentang bagaimana seharusnya pendidikan politik dikembangkan sebenarnya tidak dapat digeneralisir terhadap semua materi yang ingin disampaikan. Setiap metode penyampaian mempertimbangkan karakteristik materi pendidikan politik.

Setidaknya ada tiga hal yang mereka butuhkan dalam proses pencerdasan politik bagi masyarakat adalah: pertama, Pemahaman akan dinamika politik praktis yang berkembang saat ini. 

Apa yang diterima masyarakat dari media yang terkait dengan persoalan-persoalan politik terkadang jauh dari realitas politik yang ada. Apa yang diterima secara normative dalam proses-proses pendidikan yang diterima itu sebenarnya jauh dari relevansi situasi politik yang ada khususnya tentang pemilihan umum, partai politik,elit politik sebagai fenomena politik.

Kedua, pemahaman yang baik akan hak-hak dan aturan main. Guna memahami apa saja hak dan bagaimana aturan main yang baik dalam proses demokrasi tidak dipahami dengan baik hal ini akan memicu preseden yang kurang baik.

Suara dan kedudukan masyarakat akan mudah digunakan oleh konflik politik yang cenderung berujung pada kekerasan dan tindakan anarkis dikemudian hari. Pemahaman tentang bagaimana proses menyalurkan aspirasi dan menggunakan hak-hak sebagai warga negara yang memiliki hak politik perlu diberikan secara proporsional agar masyarakat paham dimana posisinya sehingga tidak mudah terombang ambing dengan kepentingan yang tidak bertanggung jawab.

Ketiga, mengembangakan sikap kritis dalam kehidupan bernegara. Seberapa bermakna pendidikan politik yang telah dilakukan dapat dilihat manakala mampu manakala kelak terjadi abuse of power atau penyelewengan yang dilakukan oleh hasil pemilu atau pilkada sehingga mereka tergerak untuk melakukan dukungan dan tuntutan yang tepat dan bermanfaat melalui jalur-jalur yang ada. Kemampuan untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan politik yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat.

Selain itu kemampuan ini setidaknya bisa digunakan sebagai langkah antisipatif untuk memfilter terhadap isu atau informasi politik yang tidak kredibel. Dalam hal ini, identifikasi atas sumber informasi politik memberi gambaran mengenai bagaimana masyarakat mendapatkan dan menggunakan informasi sebagai bahan pengambilan keputusan dalam melakukan tindakan politik terlebih dalam perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang massif dan cenderung tak terkontrol.

Secara garis besar pendidikan politik dilakukan tidak hanya sekedar bagaimana masyarakat mau terlibat aktif dalam pemilihan umum tetapi mencakup aspek yang lebih luas yaitu bagaimana masyarakat mampu memainkan peran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pendidikan politik tidak bisa dilaksanakan secara instan atau tiba-tiba yang digalakkan hanya menjelang pemilu terlebih pilkada. Kegiatan ini harus dijalankan secara massif dan terprogram serta berkelanjutan. 

Ketika masyarakat sudah mendapatkan edukasi yang baik tentang demokrasi, partai politik, hak-hak serta kewajiban sebagai warga negara diharapkan akan memberikan imbas kepada kualitas pemilu itu sendiri.

Kualitas pemilu akan sangat ditentukan pula oleh kualitas pemilih itu sendiri. Media, KPU, partai politik dan berbagai pranata yang ada memiliki beban secara struktural dan moral dalam kehidupan demokrasi yang baik dimasa mendatang. Semakin bagus kualitas pemilih maka proses dan hasil pemilu akan semakin berkualitas pula.(*)

 

*Penulis, Zaenal Abidin, Pengurus Cabang Lakpesdam NU Kabupaten Blitar

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES