Kopi TIMES

Pola Pikir Dan Pola Kikir

Jumat, 19 April 2019 - 13:00 | 61.74k
Ahmad Dahri (Grafis: TIMES Indonesia)
Ahmad Dahri (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANG – Ada kisah sufi tentang Ahli Bahasa Dan Darwis, cerita ini dikisahkan oleh Idries Shah, Pada suatu malam kelam seorang darwis berjalan melewati
sebuah sumur kering, ia mendengar jerit minta tolong
dari dasar sumur dan mencoba mencari tahu . "Ada apa?" tanya darwis sambil melihat ke dalam sumur, 
"Saya seorang ahli tata bahasa; karena tak tahu jalan, saya
terperosok ke sumur ini; sekarang saya tidak bisa bergerak
sama sekali," jawab orang tersebut.
"Tenang, bung, biar saya cari tangga bersama tali," jawab sang
darwis.
"Tunggu dulu!" kata Si Ahli Tatabahasa. "Tatabahasa dan
pilihan katamu keliru; usahakan memperbaikinya."
"Kalau hal itu memang lebih penting dari yang pokok ini, kau sebaiknya tinggal saja di dasar
sumur itu sampai saya bisa benar-benar berbahasa bagus."
Teriak si darwis sambil berlalu.

Bahwa cerita di atas adalah gambaran egoisme yang ditonjolkan oleh seseorang, dan ini bisa terjadi pada siapapun, bukankah menolong sesama manusia lebih penting ketimbang menonjolkan status dan pengetahuannya?

Apakah hal tersebut menjadi syarat untuk pantas - tidaknya menolong, atau memang prasyarat menolong seseorang harus sepadan dengan yang ditolong? Saya kira siapapun akan menjawab "tidak."

Secara jenaka disampaikan oleh Mbah Nun di salah satu ceramahnya, mosok arep nulung wong tibo, sik arep ditakoni "kowe NU apa Muhammadiyah?" atau "Kowe Islam apa dudu?" mengapa untuk sekedar menolong atau menerima pertolongan dari orang lain harus diperjelas dulu identitas dan personalitasnya? 

Catatannya adalah ada wilayah privat di setiap personal yang tidak (seharusnya) diusik oleh orang lain. Dan apabila sifatnya adalah kemanusiaan maka berbeda lagi, apalagi masih dalam kondisi kewajaran sebagai manusia. 

Dengan kata lain setiap hal memiliki tempat masing-masing, dan tidak bisa dipukul rata. Jika seorang guru maka tidak bisa memaksakan dunianya kepada peserta didiknya. Jika orang tua maka paham terhadap potensi anak-anaknya dalam setiap perkembangannya. Begitu juga seorang alim nan bijaksana, agaknya sikap memposisikan diri adalah sikap yang etis.

Kebijaksanaan dan pola sikap nan luhur atau meta-etika inilah yang ingin disampaikan di dalam kisah yang dirangkum oleh Idries Shah. Begitu juga dengan perihal orientasi luhur atas diutusnya Nabi Muhammad SAW, yakni perihal meta-etika. Dasar penguatnya adalah QS: Ali Imran ayat 164, bahwa Tuhan benar-benar memberi karunia kepada manusia dengan mengutus seorang utusan dari golongan manusia pula, yang memiliki tujuan agar tidak terbelenggu oleh kepintarannya atau sebaliknya.

Karena konteknya adalah sosial, bukan berarti perihal aqidah dipandang sebelah saja. Sebab ketika manusia selesai dengan permasalahan manusia itu sendiri maka akan begitu mudah memahami Tuhannya, meminjam istilah Gus Dur, bahwa seharusnya manusia terlebih dahulu mempelajari tentang manusia, agar tidak lupa bagaimana menjaga komunikasi yang baik antar sesama. Hal ini sejalan dengan satu keterangan bahwa siapapun yang mengenal (mampu memahami) dirinya sendiri(mahluk, hamba) maka ia akan mampu mengenal Tuhannya.

Lantas bagaimana seharusnya kita menjalani hidup yang serba beragam ini? Yakni perihal pola pikir dan pola sikap. Semestinya semakin dalam pemahaman dan pengetahuannya semakin luas pola pikirnya dan tidak kikir atau mandeg nalarnya. 

Semoga selalu senantiasa dalam kebaikan.

2019

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sofyan Saqi Futaki
Sumber : TIMES Malang

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES