Kopi TIMES

Titik Balik Daya Magnetis Jokowi

Selasa, 16 April 2019 - 12:25 | 349.91k
Pengamat Politik Dr. Mohammad Nasih (Grafis: Dena/TIMES Indonesia)
Pengamat Politik Dr. Mohammad Nasih (Grafis: Dena/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTAAWALNYA, Jokowi nampak sebagai sebuah fenomena. Seorang yang tidak dikenal aktif dalam kegiatan sosial politik, tidak memiliki rekam jejak kepemimpinan saat belia dan mahasiswa, bahkan saat mahasiswa hanya menjadi anggota mahasiswa pecinta alam, tetapi kemudian “tiba-tiba” menjadi Wali Kota Solo. Ia bahkan berhasil meraih dukungan rakyat secara signifikan dalam Pilkada kedua di salah satu daerah di wilayah Jawa Tengah itu.  

Belum selesai menjalani periode kedua sebagai Walikota Solo, Jokowi dinominasikan sebagai penantang Fauzi Bowo dalam Pilkada DKI Jakarta. Dengan berbagai cerita sukses memerintah di Solo, ditambah dengan pemberitaan masif tentang berbagai prestasinya di Solo, Jokowi mulai menjadi buah bibir tidak hanya masyarakat di DKI Jakarta, tetapi juga Indonesia. Diawali oleh lobi Prabowo kepada Megawati, dengan memberikan calon wakil gubernur bernama Ahok yang menyandang status sebagai “minoritas ganda”, Jokowi kemudian benar-benar menjadi penantang yang diperhitungkan.

Dalam putaran pertama, Jokowi membuat tokoh nasional sekelas Hidayat Nurwahid-Didik J Rahbini harus tersingkir. Dalam putaran kedua, Jokowi akhirnya menumbangkan petahana yang dikenal sebagai sosok birokrat, intelektual, dan profesional. Karena citra Jokowi yang luar biasa, masyarakat memiliki harapan besar untuk memiliki pemimpin yang sederhana, tetapi profesional dalam mengurus pemerintahan untuk melayani rakyat banyak.  

Pasca kemenangan dalam Pilkada DKI Jakarta, Jokowi menjadi semakin fenomenal. Media massa mengangkatnya sebagai pribadi pemimpin yang sederhana dan merakyat. Banjir di DKI Jakarta bukannya membuat Jokowi sebagai gubernur dikritik oleh banyak orang, melainkan dipuji karena pernah mau menaiki gerobak di tengah hujan lebat. Tak hanya itu, Jokowi juga masuk ke dalam gorong-gorong untuk menemukan sesuatu yang mungkin menjadi penyebab air selokan menjadi mampet dan menyebabkan banjir tidak bisa mengalir dengan lancar.

Singkatnya, segala yang dilakukan oleh Jokowi menjadi bahan pemberitaan media, baik lokal maupun nasional. Singkatnya, popularitas Jokowi makin meroket menembus dan melampaui bintang-bintang elite politisi nasional.

Menjelang Pemilu Presiden 2019, nama Jokowi makin diperhitungkan dalam bursa capres. Mobil ESEMKA mejadi salah satu komoditas politik yang makin melambungkan namanya, walaupun merek dagang itu sampai saat ini tidak jelas rimbanya. Megawati yang awalnya masih memiliki ambisi untuk maju kembali, dengan terpaksa harus menyerahkan mandat PDI-P kepada Jokowi, dengan menyebutnya sebagai si kerempeng dan petugas partai. Jusuf Kalla yang sempat mengatakan bahwa Jokowi tak cukup kualifikasi untuk menjadi presiden, bahkan pernah mengkhawatirkan akan menyebabkan kehancuran negeri, kemudian bahkan bersedia menjadi wakilnya.

Prabowo yang sebelumnya berharap menjadikannya sebagai salah satu figur yang bisa mendukungnya dalam Pilpres 2014, justru menjadi kompetitornya. Lagi-lagi belum sampai separuh usia jabatannya sebagai gubernur, Jokowi mengalahkan Prabowo, figur utama yang sebelumnya mendukungnya sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Dan lagi-lagi Jokowi menang dalam Pilpres 2014.

Dalam Pilkada kedua bagi Jokowi di Solo, Pilkada di DKI, dan Pilpres 2014, Jokowi memiliki kekuatan magnetis sangat besar. Namun, nampaknya, dalam Pilpres 2019, Jokowi bukan lagi magnet yang kuat sebagaimana sebelumnya. Sebagian orang yang dalam Pilpres 2014 mendukungnya sudah menyadari bahwa sesungguhnya harapan kepada Jokowi adalah harapan yang berlebihan.

Karena itulah, mereka mengalami kekecewaan yang cukup besar. Bisa dikatakan bahwa dalam Pilpres 2019, daya tarik Jokowi mengalami titik balik. Sebagai petahana yang seharusnya memiliki dukungan politik lebih dari 60 persen, Jokowi tidak memilikinya. Banyak lembaga survei yang bahkan walaupun telah merupakan konsultan politik untuk memenangkannya kembali, memberikan angka prosentase dukungan di kisaran 50-an persen. Padahal, di banyak kasus, untuk menang dalam Pilpres, diperlukan dukungan 60 persen. Itulah pula yang membuat SBY menang dalam Pilpres 2009.

Titik balik daya magnetis Jokowi terjadi, di antaranya karena banyak janji besar dan menarik Jokowi menjelang Pemilu 2014 tidak terbukti. Bahkan, yang terjadi adalah sebaliknya, dan itu terjadi pada tidak lama Jokowi dilantik menjadi Presiden.

Membentuk kabinet ramping adalah di antara janjinya. Namun, ternyata Jokowi membangun kabinet bagi-bagi, sehingga menjadi kabinet yang lebih gemuk. Bahkan tidak hanya kepada partai-partai pendukungnya dalam Pemilu, melainkan juga kemudian kepada partai-partai yang belakangan mendukungnya, di antaranya Partai Golkar. Ini menunjukkan bahwa Jokowi tidak memiliki kekuatan untuk mengatasi tekanan kekuatan-kekuatan politik yang memiliki kuasa di DPR, sehingga dia melakukan kompromi yang melampaui batas janjinya sendiri.

Pengingkaran janji yang paling mudah dipahami oleh segala kalangan adalah menaikkan harga BBM, tarif dasar listik (TDL) dan tetap berutang ke luar negeri, bahkan dengan jumlah yang sangat fantastis. Tentu kaum terpelajar bisa berdebat tentang pencabutan subsidi. Namun, masalahnya adalah pada janji. Ini menandakan bahwa Jokowi tidak memahami permasalahan, sehingga menjanjikan sesuatu yang tidak bisa dilakukannya sendiri. Terlebih lagi, PDI-P pada saat SBY menaikkan harga BBM, melakukan sikap oposisional yang ekstrem sampai melakukan aksi teatrikal menangis dengan alasan bahwa kenaikan harga BBM telah menambah beban hidup rakyat.

Titik balik daya magnetik Jokowi terlihat dalam banyak momen kampanye Pilpres yang bisa dikatakan sepi pendukung. Bahkan, tidak sedikit momentum kampanye yang tidak meriah itu pun, diiringi dengan tuntutan peserta untuk mendapatkan nasi kotak dan uang transport, karena mereka datang dengan janji mendapatkannya. Ini merupakan indikasi kuat bahwa mereka datang ke lokasi kampanye Jokowi karena dimobilisasi, bukan karena partisipasi murni mereka untuk mendukung Jokowi.

Harapan Jokowi untuk mendapatkan dukungan dalam Pilpres sekarang bertumpu kepada statusnya sebagai petahana yang memiliki segala sumber daya untuk pemenangan, mulai dari logistik sampai struktur politik yang bisa digunakan untuk mencitrakan dirinya sebagai presiden yang berhasil. Karena sebagian besar rakyat pemilih masih berpendidikan rendah dan juga pragmatis, maka iming-iming material dalam jumlah yang tidak signifikan berpotensi membuat pilihan politik mereka bukan karena pertimbangan kemampuan dalam kepemimpinan.

Sebagaimana banyak petahana, mestinya Jokowi bisa menang dengan mudah dalam periode kedua, jika memanfaatkan kekuasaan yang ada di tangannya selama satu periode politik untuk bekerja dengan baik. Namun, ternyata itu tidak dilakukannya, sehingga menyebabkan degradasi daya magnetisnya, sehingga kemungkinan besar akan membuat Pilpres 2019 menjadi sangat ketat. Yang sudah terlihat dalam masa kampanye adalah adu kuat dukungan masyarakat yang menginginkan ganti presiden untuk mendapatkan pemimpin baru demi perubahan yang lebih baik melawan elite dan masyarakat pragmatis. Karena sebagian mereka berpikir bahwa siapa pun yang memimpin akan sama saja, dan lebih baik mendapatkan sesuatu walaupun sedikit dibandingkan tidak sama sekali. Wallahu a’lam bi al-shawab. (*)

*Dr. Mohammad Nasih, Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Guru Utama di Rumah Perkaderan dan Tahfidh al-Qur’an MOHAMMAD NASIH INSTITUTE Semarang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES