Kopi TIMES

Berpolitik di Tengah Masyarakat (Kita) yang Multikultural

Selasa, 26 Maret 2019 - 23:55 | 72.41k
Didik P Wicaksono, Pemerhati Dinamika Politik. Aktivis di Community of Critical Social Research Universitas Nurul Jadid (UNUJA) Paiton Probolinggo.
Didik P Wicaksono, Pemerhati Dinamika Politik. Aktivis di Community of Critical Social Research Universitas Nurul Jadid (UNUJA) Paiton Probolinggo.

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGOBERANEKA ragam atau majemuk. Berbeda beda tetapi satu (Bhineka Tunggal Eka). Itulah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Negara berdasarkan Pancasila dan UUD 45.

Ada perbedaan yang memang dari “sono”nya berbeda.   

Perbedaan dari “sono”nya adalah suratan takdir. Harus diterima "taken of grated" dengan penuh penghormatan.

Perbedaan karena warna kulit, warna mata, bentuk rambut (keriting atau lurus) dan perbedaan ciri-ciri fisik lainnya. Kesemuanya itu perbedaan yang tidak perlu diprotes atau dipersoalkan lagi. Bahkan negara berkewajiban memberikan perlindungan dan kepastian hukum agar tidak terjadi diskriminasi karena perbedaan dari sononya.  

Kita tidak bisa memilih lahir dari ras kaukasoid, mongoloid, negroid atau ras lainnya. Tidak bisa memilih berasal dari suku bangsa Jawa, Madura, Tionghoa, Sunda, Batak, Minangkabau dan lainnya. Menentukan sendiri marga Panjaitan, Nasution, Harahap, Sitorus dan marga lainnya dari suku bangsa Batak. Semua itu contoh suratan takdir yang harus di terima.

Ada pula berbeda karena suatu ikhtiar (usaha) atau memang sengaja memilih pada suatu pilihan yang berbeda. Seperti berbeda karena pemikiran, usaha dan kerja keras. Perbedaan karena pekerjaan yang berakibat pada perbedaan nasib. Perbedaan-perbedaan semacam ini sebaiknya diedukasikan, didialogkan, dimusyawarakan, dikampayekan, dipromosikan atau ajakan semacamnya. Tentu dengan cara-cara yang baik, bil-hikmah dalam bahasa agama.

Perbedaan ideologi, golongan, perbedaan agama dan bahkan perbedaan perilaku beragama itu adalah perbedaan cenderung bisa berubah-ubah. Bukan harga mati, tetapi masih bisa memilih dan berubah sebelum mati.

Dalam konteks –kehidupan berbangsa dan bernegara– sejauh perbedaan masih berada dalam koridor hukum yang berlaku di Indonesia, maka perbedaan itu tidak perlu pula menjadi masalah.

Perbedaan yang bisa didiskusikan dan merupakan pilihan (bisa memilih) dengan pikiran terbuka. Misalnya ikut partai tertentu pindah ke partai lainya. Ikut golongan ormas atau ormas keagamaan tertentu kemudian berubah ke yang lainnya. Bahkan konversi dari agama yang satu ke agama yang lainnya. Apalagi cuma pindah pilihan politik dari paslon 01 (Jokowi-Ma’ruf) ke 02 (Prabowo-Sandi) atau sebaliknya. Santai saja soal perbedaan ini.

Kita bisa menghormati pilihan masing masing sekaligus bisa berbagi tentang kebaikan dan alasan pilihannya. Tidak perlu saling caci-maki. Setiap diri bertanggung jawab terhadap pilihannya. Termasuk pula pilihan politik “loncat pagar” di tahun politik. Baik karena alasan ideologis atau prakmatis.

Para politisi berpindah haluan adalah realitis. Hak pilihan warga Negara. Para kader politik yang duduk di eksekutif (Gubernur, Bupati) dan legislative (DPR/D) tidak selalu searus dengan keputusan koalisi partai Pusat. Terjadi tukar menukar arah dukungan yang disebut politik loncat pagar. Realitis memilih yang cenderung menang adalah loncatan indah bagi para pelakunya.

Demikian pula soal agama boleh didakwahkan dan didialogkan dengan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Silakan yang punya kapasitas dari masing-masing ahlinya (agama) untuk sering-sering berdialog, bahkan bila perlu adu argumentasi. Bukan debat kusir, tapi adu argumentasi yang mencerdaskan.

Bagi penganut Kristen, selain Kristen adalah domba domba yang tersesat. Perlu digembalakan agar punya tempat yang baik.

Bagi umat Islam, selain Islam disebut –maaf–  kafir. Kafir itu sebenarnya penyebutan yang halus, karena artinya adalah menutupi (menutup diri dari informasi/ajaran Islam). Kalau disebut non-islam (non=tidak/bukan, islam=selamat) artinya menyebut mereka tidak selamat. Muslim=tunduk. Non-muslim berarti tidak tunduk/mau dalam keselamatan.

Penghapusan panggilan kafir oleh Bahtsul Masail Nadhlatul Ulama (NU) beberapa waktu lalu adalah menarik dan dinilai langkah maju untuk meredam agama sebagai alat politik.

Dulu pada awal kemunculan Islam (di Arab sana), orang-orang yang menutup diri dari informasi Islam disebut kafir. Karena memang mereka beda. Mereka tidak menyoal disebut kafir.

Marah dan bencinya orang-orang kafir pada saat itu karena ajaran Islam bisa mengancam kedudukan mereka.

Kedudukan orang kafir Arab dulu (dibaca zaman Now) pada dasarnya ditopang oleh keyakinan nenek moyang mereka yang diikuti secara turun terumun. Keyakinan (panganisme) sudah menjelma menjadi komoditas. Orang kafir mempolitisir keyakinan nenek moyang mereka demi kelanggengan kedudukannya.

Sepanjang sejarah Nabi, dahwah para Nabi tidak ada yang berorientasi mencari kedudukan di dunia. Tidak ada keinginan ucapan terima kasih dan imbalan dari manusia. Imbalan yang diminta murni hanyalah dari Tuhan seluruh alam. Kalaupun ada kepentingan dunia, itu semata-mata agar tercipta rasa kasih dan sayang diantara umat manusia.

Baik Kristen atau Islam menganjurkan sikap kasih sayang dan kedamaian. Kristen menyebut "agama kasih". Salam khas umat Islam "Assalammu'alaikum". Artinya salam damai/sejahtera bagi kalian semua.

Kita semua memiliki rasa kasih dan sayang. Bagi penganut Kristen, kepada saudara-saudara –sesama manusia– yang belum Kristen, sayang jika tidak dirawat. Membiarkan terus menerus menjadi domba yang tersesat. Perlu petunjuk jalan menuju keselamatan. Kalau sayang pada saudaranya, adalah masuk akal memberi pencerahan.

Demikian pula –karena kasih dan sayangnya– umat Islam mengajak bagi yang belum Islam untuk menempuh jalan Islam. Supaya kelak (di akherat) tidak disalahkan. Mengapa kamu mengaku sahabat, kerabat dan dekat di dunia dulu tidak mengajak dan memberi tahu soal jalan keselamatan ini?

Demikian pula agama-agama selain Islam dan Kristen berhak pula menyampaikan jalan kebenarannya. Negara juga menjamin kebebasan beragama atau pilihan pemeluk agama yang resmi di Indonesia.

Di era Now dan ke depan agama bisa saling promosi semacam properti (tempat tinggal). Tentu tempat tinggal sesudah kematian. Masing masing agama boleh mengiklankan kaplingan surganya. Beragama itu dilindungi oleh Negara. Semua warga Negara Indonesia, ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Yang berarti percaya adanya kehidupan setelah kematian. Namun yang sudah punya “kaplingan surga”, janganlah dipaksa pindah ke kaplingan surga yang lain. Apalagi dipaksa untuk meninggalkan agama.

Pada dasarnya semua manusia berTuhan yang sama. Tuhan pencipta Alam semesta, Tuhan langit dan bumi. Yang berbeda dan jadi masalah dari kita semua adalah tuhan yang disembah itu ternyata berbeda. Ada tuhan hawa nafsu, tuhan kepentingan, tuhan wanita dan tuhan-tuhan lainnya. Bisa juga yang kita sembah ternyata tuhan pikiran kita. Tuhan ciptaan kita. Bukan Tuhan yang betul betul pemilik surga dan neraka. Tuhan pencipta alam semesta.

Kata-kata yang populer dari Gus Dur adalah "tuhan tidak perlu di bela". Bisa dipahami, sebab bisa saja ternyata yang dibela adalah tuhan hoax, tuhan palsu. Dengan mengatakan "tuhan tidak perlu di bela" mengisyaratkan eksistensi Tuhan yang asli.

Dialog lintas agama menjadi penting. Karena diantara kita ada yang berpaham ekstrem. Paham ekstrem (ekstrem kiri dan kanan) jauh dari rasa kemanusiaan.

Kekerasan bukanlah solusi. Perlu ada proses-proses ajakan yang bersifat persuasif. Dengan tutur kata yang asyik. Kata Najwa Shihab yang trending “merangkul bukan memukul dan mengajak bukan mengejek”.

Dalam konteks masyarakat yang majemuk, pemahaman kita sejauh ini kacau dan tumpang tindih menyikapi persoalan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).

Perbedaan yang "taken of grated" tumpang tindih dengan perbedaan yang merupakan pilihan.

Seharusnya agama dan golongan tidak disatukan dengan ras dan suku bangsa, menjadi akronim SARA. Ras dan suku bangsa term tersendiri. Merupakan takdir. Agama dan antargolongan adalah term yang beda, karena merupakan pilihan.

Menjadi masalah apabila agama dan golongan itu disatukan dan tumpang tindih dengan ras dan suku bangsa. Perbedaan agama dan golongan diseret ke masalah ras dan suku bangsa. Persis akronim LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender). LGB adalah orientasi seksual hasil dari hasil proses belajar. Sedang Transgender memang dari sononya. Itu pun bisa memilih kecenderungan yang paling kuat. Apa memilih laki-laki atau perempuan. Ganti kelamin sesuai dengan kecenderungannya.

Kita tidak sedang menentang kenapa Anda terlahir berkulit putih, sawo matang, hitam atau ciri ciri fisik lainnya.Tapi bolehlah kita berdakwah mengapa anda lesbi, gay dan biseksual. Bukankah semua agama tidak mengakui orientasi seksual LGB.

LGB campur-aduk dengan Transgenser, maka mereka (LGB) beralibi mengatakan "ini sudah suratan takdir". Sama dengan SARA. Tidak bisa mereka yang berada dalam aliran ekstrem beralasan "ini takdir". Tuhan menakdirkan saya jadi ekstrem. Tidak bisa pelaku penembakan massal di Selandia Baru mengatakan tuhan memilih saya untuk menembaki mereka.

Sekali lagi menjadi penting ada ruang untuk saling dialog, agar mereka punya kesempatan untuk memilih yang paling berperikemanusiaan adil dan beradab. Sesuai dengan keadaban bangsa dan Negara Indonesia. Seperti dialog pilihan politik yang diadakan oleh TV-TV. Beda pilihan adalah sesuatu yang lumrah.

Merawat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah penting.

* Didik P Wicaksono. Pemerhati Dinamika Politik. Aktivis di Community of Critical Social Research Universitas Nurul Jadid (UNUJA) Paiton Probolinggo.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES