Kopi TIMES

Pendidikan dari ruang sebelah

Kamis, 14 Maret 2019 - 10:25 | 67.46k
Ahmad Dahri (Grafis: TIMES Indonesia)
Ahmad Dahri (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANG – “Karena pengetahuan tidak memiliki garis finish.” (KH. Ach. Dhofir Zuhri S.Fil, M.Ap)

Bagian pokok dalam esai Kyai Dhofir yang berjudul “Jurus Membaca” ini menjadi satu orientasi normatif dalam pendidikan. Karena saking luhurnya istilah pendidikan, maka pendidikan di Indonesia memiliki visi normatif yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan kata lain setiap warga bangsa Indonesia memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Pendidikan adalah pelayanan, pembimbingan, untuk menyatukan kepandaian atau potensi dengan daya guna, kecerdasan dengan kerja tangan, pengalaman dengan fakta sosial yang ada, sehingga akal budhi menjadi nilai dalam kehidupan sosial. Dengan demikian pendidikan tidak hanya menempati ruang sempit dalam buku-buku cetak, buku paket, LKS, aturan-aturan, sistem, administrasi, Dst.

Oleh karenanya melihat lebih dalam lagi fungsi dan tujuan pendidikan agaknya menjadi jalan yang harus terus-menerus dilakukan. Evaluasi misalnya, jika pendidikan adalah kelembagaan. Lantas pendidikan itu untuk siapa? Pemerintah? Yayasan? Guru? Atau Murid? karena dua puluh tahun terakhir atau mungkin jauh sebelum itu,  bisa kita lihat atmosfir pendidikan di Indonesia sebenarnya bagaimana, atau ketika kita memasuki ruang kelembagaan, terutama lembaga pendidikan maka ada atmosfir pola pikir yang memaksa kita mengernyitkan dahi. Secara umum pendidikan seakan memiliki potensi sebagai industri manusia, mencetak manusia yang siap bekerja. Bukan manusia yang siap menyesuaikan diri dengan kehidupan yang semakin berkembang. Apalagi menyelami potensi lahiriah. 

Manusia memiliki peran ganda dalam pendidikan. Di sisi lain menjadi objek pendidikan, di satu sisi menjadi subjek pendidikan. Karena memang bahan-bahan pokok pendidikan berguna berasal dari masyarakat itu sendiri (baca: Kemiskinan dan Kemajuan, C.T. Kuiren, 1974) dengan kata lain pendidikan menjadi jembatan menuju manusia seutuhnya. Meminjam istilah N. Driyarkara pendidikan adalah memanusia manusia muda. Dengan kata lain, pendidikan adalah proses pengembangan diri manusia, bukan robotisasi manusia. 

Oleh karenanya pendidikan bermuara pada kesadaran, dengan kata lain pendidikan adalah usaha untuk membangun kesadaran. Sehingga bukan lagi menjadi pola klasifikasi, rangking, ujian praktikum atau apapun itu yang bersifat perlombaan. Mengapa? memangnya apa yang menjadi tolak ukur bahwa peserta didik dikatakan cerdas dan pintar? Apakah sederet nilai yang berbentuk angka?   

Lantas bagaimana ketika pendidikan hanya mencetak individu-individu yang diinginkan oleh kaum mapan? Karena pendidikan memiliki daya guna untuk mengembangkan diri peserta didik, melatih daya cipta, kreatifitas dan tanggung jawab. Berbeda dengan pembelajaran, pendidikan memiliki ruang yang lebar untuk mendekati kenyataan kemasyarakatan. Sedang pembelajaran berkutat di dalam ruang transformasi pengetahuan, intelektual, pedagogic, kecakapan-kecakapan dalam bidang teknik. Tidak masalah memang, tetapi bagaimana untuk memahami sesuatu pada setiap ruang, atau ruang di setiap sesuatu, jika landasannya bukan kesadaran untuk mengembangkan diri, menumbuhkan nilai-nilai kemanusian, memanusiakan manusia, atau prioritas moral dalam kehidupan. 

Dengan begitu kecakapan seperti apakah yang menjadi perburuan? Ijazah? Pengetahuan luhur? Nilai, akal budhi, dan meta – etika. Orientasi lembaga atau lingkungan pendidikan memang beragam, namun yang terpenting adalah memanusiakan manusia, memberi kepercayaan kepada peserta didik untuk menumbuhkan potensi masing-masing, sehingga bukan berupa paksaan atau penekanan. Lho... apa buktinya? Berapa mata pelajaran yang disuguhkan di dalam kelas dalam satu hari? Jika dijumlah dalam satu minggu? Atau berapa lembaga bimble dan les privat yang dikejar hanya untuk memuaskan ambisi. Entah ambisi ini bersifat kolektif atau iindividual, yang jelas ambisi-ambisi  itu muncul ketika pendidikan, pembelajaran dan kecakapan dikaitk-kaitkan dengan lapangan pekerjaan. 

Tidak masalah memang, tetapi apakah hanya untuk bekerja? Tidakkah pengetahuan menjadikan pribadi-pribadi yang bijaksana. Tidakkah pengetahuan menjadikan peserta didik untuk lebih mengedepankan meta – etika, ketimbang ambisi hanya sebagai pekerja. 

Namun demikian, kita akan bertemu dengan pernyataan bahwa “Tidak semua orang memiliki prinsip kemandirian dan pola pikir yang sama, sehingga pendidikan tidak mandek pada kata bekerja, tetapi pendidikan menjadikan setiap personal bersikap lebih bijaksana.” Pada akhirnya adalah memulai dari pribadi masing-masing, bahwa keberagaman pola pikir adalah bagian dari pendidikan, yang mana untuk menyadari itu semua membutuhkan perangkat pembelajaran, jika itu yang bersifat intelektualitas, tetapi akan berbeda perangkat ketika pendidikan memuarakan pada sikap dan moral. 

Sehingga pendidikan bukan hanya dimensi angka-angka, peringkat dan juara. Tetapi pendidikan adalah ruang belajar untuk mengembangkan diri, dari manusia, menjadi manusia purna. Karena pendidikan yang sebenarnya adalah kehidupan kemasyarakatan. Maka menjadi manusia yang bertanggung jawab adalah poin pertama dalam siklus pendidikan. 

Mari dilanjut ngopinya…..!

Pojok Rumah, 2019

*) Penulis adalah Ahmad Dahri atau Lek Dah, ia santri di Pesantren Luhur Bait al Hikmah Kepanjen, juga nyantri di Pesantren Luhur Baitul Karim Gondanglegi, ia juga mahasiswa di STF Al Farabi Kepanjen Malang. Beberapa karya dalam bentuk buku adalah, Multikulturalisme Kontekstual Gus Dur(2015, Revisi 2018), Dialektika Pesantren (2016), Kumpus Orang-Orang pagi (2017) dan monolog Hitamkah Putih Itu (2017, Cetak ke-Dua 2018), Metodologi tafsir (Menyelami Kalam Tuhan) (2018). Dan akan segera terbit Terjemah Niswat assufiyah karya Al Azdy, dan Kumpus Jalan Setapak. Bisa disapa melalui Surel: [email protected]

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES