Kopi TIMES

Bahasa dan Budaya (Kesamaan Bahasa Mandarin dan Madura)

Rabu, 13 Maret 2019 - 22:45 | 976.68k
Didik P Wicaksono, Pemerhati Dinamika Politik. Aktivis di Community of Critical Social Research Universitas Nurul Jadid (UNUJA) Paiton Probolinggo. (Foto: TIMES Indonesia)
Didik P Wicaksono, Pemerhati Dinamika Politik. Aktivis di Community of Critical Social Research Universitas Nurul Jadid (UNUJA) Paiton Probolinggo. (Foto: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGOBAHASA menunjukan karakter suatu bangsa dan negara. Misalnya karakter disiplin. Penutur bahasa Inggris –dalam banyak situasi– lebih disiplin dari pada penutur –pada umumnya–berbahasa Indonesia.

Bahasa Inggris mengenal aturan penggunaan waktu (tense). Present tense, past tente dan future tense. Tense berkaitan dengan perubahan kata kerja diakibatkan oleh perbedaan waktu. 

Pengaruhnya, penutur bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari biasa taat, tepat waktu (disiplin). Dalam beraktifitas atau bekerja selalu memperhatikan waktu. Khawatir terlambat menjadi “yesterday”. Bahkan seolah tergopoh-gopoh. Bagi mereka "Time is money". 

Bahasa Indonesia tidak mengenal perubahan kata kerja karena waktu. Saya "sedang" makan, saya "sudah" makan, saya "akan" makan. Pengaruhnya, penutur bahasa Indonesia lebih fleksibel. Bila terlambat selalu punya alasan (keterangan). Tidak ada resiko, baik "sebelum", "sedang", maupun "sesudah". Tetap bisa "makan". 

Orang Indonesia kalau kerja kadang bisa santai. Bisa pula seolah tidak mengenal waktu. 
Bila dihitung “harian”, kerjanya selalu santai. Bila dihitung “kerja kontrak”, dikerjakan dengan cara “lemburan”. Siang-malam bekerja, seolah tidak kenal lelah dan waktu.  

Hubungan bahasa dan budaya (disiplin) itu saling mempengaruhi. Ibarat dua sisi mata uang, sisi sebelah sebagai sistem kebahasaan dan sebelah sisi lainnya sebagai sistem kebudayaan. Budaya disiplin dipengaruhi oleh bahasa. Bahasa menggiring untuk berperilaku disiplin.

Pengaruh lain terkait aturan Diterangkan-Menerangkan (DM), Menerangkan-Diterangkan (MD) pada perilaku penggunanya. Contoh “Gadis Cantik” (MD), bukan “Cantik Gadis” (DM) dalam penyebutan aturan bahasa Indonesia. Baiknya, penutur bahasa Indonesia cenderung berperilaku "menikah dulu" baru "mempunyai anak”.

Berbeda aturan dalam bahasa Inggris, “Beautiful Girl” (DM), bukan “Girl Beautiful” (MD). Penutur bahasa Inggris cenderung memilih “mempunya anak dulu” baru “menikah”. 

Bagaimana dengan bahasa Mandarin dan Madura?

Tidak sengaja (cocoklogi) menemukan kesamaan Bahasa Mandarin dengan Madura. Setidaknya sama-sama berawal “MA”. Satu MAndarin satunya lagi MAdura. Itulah adanya.

Tetapi apabila serius mencari kesamaannya, jelas mengada-ada. Sebab istilah Mandarin itu yang menamai adalah orang Barat. Istilah aslinya Putonghoa. Kalau menyamakan seharusnya sama-sama menggunakan istilah aslinya, bahasa Putonghoa vs bahasa Madura.  

Orang Madura (berbahasa Ibu Madura) lebih muda belajar bahasa Mandarin dibandingkan orang yang bahasa Ibunya selain bahasa Madura. Seperti orang berbahasa Jawa, Sunda, Bali dan berbahasa daerah lainnya. Termasuk etnis Tionghoa, yang secara geneologis pemilik bahasa Mandarin.

Etnis Tionghoa –setelah sekian lama– dilarang mengekspresikan budayanya pada rezim orde baru, pada generasi mudanya kini sama-sama kesulitan belajar bahasa Mandarin. Belajar bahasa Mandarin tidak mudah membalik telapak tangan. 

Bila sama-sama berangkat dari Nol, maka orang Tionghoa beberapa diantaranya kalah cepat dengan orang Madura ketika belajar bahasa Mandarin.

Orang Madura dua s.d empat tahun sudah mahir belajar bahasa Mandarin. Sedangkan etnis lainnya membutuhkan waktu empat sd delapan tahun baru bisa mahir berbahasa Mandarin.

Kesulitan bahasa Mandarin diantaranya karena pengucapan bahasa Mandarin bernada. Beda “nada” beda “makna”. Nada dalam bahasa Mandarin disebut Shengdioa.

Secara umum terdapat empat nada. Jika ada yang menyebut lima, maka yang kelima adalah nada netral. Keempat atau ke lima nada tersebut sebagai berikut:

1. Nada tinggi, datar dan panjang. Contoh mā, artinya Ibu.

2. Nada tengah ke nada tinggi. Contoh: má, artinya kecebong. (Maksudnya benar-benar kecebong, jangan diartikan lain)

3. Nada yang dimulai dari nada setengah rendah ke nada rendah, kemudian naik ke nada setengah tinggi. Contoh: mǎ, artinya kuda.

4. Nada yang dimulai dari nada tinggi, kemudian langsung turun ke nada rendah. Contoh: mà, artinya marah, memarahi.

5. Nada netral atau ringan. Nada suara rendah dan lembut. Contoh: ma, partikel tanya. Nǐ ài wǒ ma?. Artinya, apakah kamu mencintaiku?

Mā, Má, Mǎ, Mà, Ma bunyinya sama. Tapi nadanya berbeda dan maknanya juga berbeda.

Jangan heran kalau nonton film Mandarin dari Chanel TV China, masih ada Teks bahasa Mandarinnya. Sebab karakter tulisan mandarin sudah baku, hampir tidak ada perselisihan. Namun soal dialek, nadanya bisa tida sama persis. Bisa menimbulkan perbedaan makna terhadap jalannya cerita.

Supaya tidak gagal paham, difilmnya ada tambahan teks bahasa Mandarin. Unikkan? Film Mandarin ada teks bahasa Mandarinnya.

Belajar bahasa tidak lepas dari budaya. Memahami hubungan bahasa dan budaya akan memudahkan dalam mempraktikan berbahasanya.

Seperti penyebutan “Wáng dàmíng lǎoshī” bukan “Lǎoshī  Wáng dàmíng”. Di Indonesia yang baku jabatannya disebut dulu. Perbedaan ini tentu berkaitan dengan cita-rasa budaya.

Terdapat sedikit kemiripan struktur budaya bahasa Mandarin dengan budaya bahasa Madura.

Untuk menyatakan “Tahu Tidak Tahu”, Bahasa Maduranya “Tao Tak Tao”, Mirip bunyinya dalam bahasa Mandarin “zhīdào bù zhīdào”.

Orang madura kalau dipuji atau disanjung, jawabanya mirip dengan jawaban orang Tionghoa.

Bahasa Madura “Yeah de ma’ah kiye” dalam bahasa Mandarin, “Nǎlǐ nǎlǐ”. Yang artinya “dimana/kemana”. Orang Madura kalau ada yang memuji “Sogek bek na Kang?" Jawabannya “Yeah de ma ‘ah kiye”. Bahasa Indonesianya “Gagah kamu Bang?" Jawabnya "Yeah mau kemana?"

Beberapa kata dalam bahasa Madura “Beda nada beda makna”. Contoh “Bede bedena bede bede”, artinya “Ada tempatnya bedak robek”. “Bede olar sabeh sabeh bede e sabeh”, artinya “ada ular Piton betah ada di Sawah”.

Di bahasa Inggris juga banyak kata dan kalimat yang mirip. “He Can can a can into a big can (Dia bisa mengalengkan sebuah kaleng ke dalam kaleng besar). She sent a cent more to her father for living. (Dia mengirim satu sen kepada ayahnya untuk bertahan hidup.)

Pemahaman “beda nada” dan “beda makna” ini bisa menjadi batu loncatan untuk memudahkan belajar bahasa Mandarin.

Bahasa Madura memang terkenal nadanya berbeda. Bahasa Madura baku mengambil dari dialek Sumenep. Nada bahasa orang madura berasal dari Sumenep berbeda dengan bahasa maduranya orang Situbondo dan Bondowoso. Situbondo dan Bondowoso yang berdekatan saja nadanya juga tidak sama. Meskipun maknanya masih sama.

Hal ini secara tidak sadar mempelajari bahasa Mandarin seperti sudah terekam dalam alam bawa sadar, terkait soal perbedaan nada. Bisa jadi membuat orang Madura cepat mengusai bahasa Mandarin.

Pemahaman itu berguna memahami –dari bahasa Madura yang terdiri dari 4-6 kata bernada beda, beda makna bisa melompat– ke-12 beda nada dan beda makna dalam bahasa Mandarin.

Contoh “Shí shì shī shì shī shì, shì shī, shì shí shí shī”. Artinya  “Di sebuah rumah batu, hidup seorang penyair bermarga Shi yang senang makan singa. Dia bersumpah akan makan sepuluh singa”.

Itu sebabnya, banyak orang Madura yang kini melanglang buana ke Negara China, karena penguasaannya dalam bahasa Mandarin. Bisa jadi karena mereka juga terbiasa bercitra rasa budaya yang sama. Beda nada beda makna.

* Didik P Wicaksono. Pemerhati Dinamika Politik. Aktivis di Community of Critical Social Research Universitas Nurul Jadid (UNUJA) Paiton Probolinggo.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES