Kopi TIMES

Politik Aliran dan Aliran Politik

Kamis, 21 Februari 2019 - 11:13 | 1.21m
Didik P Wicaksono, Pemerhati Dinamika Politik, Aktivis di Community of Critical Sosial Research, Universitas Nurul Jadid (UNUJA) Paiton Probolinggo. (Grafis: Dena/TIMES Indonesia)
Didik P Wicaksono, Pemerhati Dinamika Politik, Aktivis di Community of Critical Sosial Research, Universitas Nurul Jadid (UNUJA) Paiton Probolinggo. (Grafis: Dena/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTAPolitik aliran tidak mungkin hilang dari bumi Indonesia. Sebab politik aliran berangkat dari adanya ikatan primordial. Ikatan yang dibawah sejak kecil. Begitu manusia lahir di dunia ini sudah teringat oleh banyak hal. 

Ikatan itu bisa berupa keturunan, daerah asal kelahiran, adat-istiadat, suku bangsa, ras, agama dan kepercayaan. Kemudian hasil dari proses belajar dari segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertama, lingkungan terdekat dan paling awal tumbuh dan berkembang. Berlanjut pada dunia pendidikan. 

Di medsos ada postingan menarik untuk disimak. “Saya asli keturunan geneologi-X, saya benci orang-orang X, saya maki-maki mereka dari keturunan X, tapi –soal pilihan politik– saya tetap memilih X. Tolong bantu, apakah saya waras”. Mengapa? 

Pertama. Pada diri manusia –sejak lahir di dunia ini– hal utama (primus) dan paling kuat mengikat/menenun (ordiri) adalah nasab keturunan (geneologi). Banyak orang mencari jati diri melalui asal-usul geneologinya. 

Sebaliknya ada pula seseorang yang mengaburkan (bukan membohongi) dan bahkan secara ekstrem memutus identitas asal-usul nasabnya. Tentu punya alasan, baik alasan politis maupun kemaslahatan lainnya. Namun sulit dihapus –meski bisa diingkari– bahwa ikatan –aliran darah– diri pribadi itu mengalir sesuai dengan nasab asal-usul nenek moyangnya.  

Soal nasab keturunan, agama Islam secara tegas melarang menggelapkan asal-usul keturunan. Misalnya asal keturunan orang Arab, tidak bisa otomatis mengklaim sekaligus sebagai habaib. Sebab,  tidak semua orang Arab keturunan Habaib. Habaib dalam arti memiliki garis geneologi kepada Nabi Muhammad SAW. Demikian pula mereka yang punya geneologi Tionghoa, meskipun karena alasan asimilasi atau akulturasi dan tinggal lama di Indonesia, tidaklah serta-merta bisa menghapus geneologis asalnya.   

Tidak boleh melekatkan anak angkat kepada selain ayah aslinya sendiri.  Tidak boleh, karena mengangkat anak, kemudian namanya sendiri dilekatkan sebagai ayah kandungnya. Sebaliknya ayah kandung pun dilarang mengingkari nasab anaknya. 

Kedua. Karakter individu ditenun oleh lingkungan kelahiran. Bagaimana dia tumbuh dan dibesarkan, baik kondisi lingkungan keluarga, sosial-budaya, agama dan keyakinan dan lainnya, maupun lingkungan geografi alamnya. 

Karakter orang dari daerah geografi yang beriklim dingin secara umum berbeda dengan orang yang dari iklim panas. Orang gunung cenderung bicaranya kalem sebab dipengaruhi oleh sunyi semilirnya angin pegunungan. Sebaliknya orang pantai bicaranya cenderung keras, sebab suaranya tertelan oleh deru ombak dan angin laut.  

Ketiga. Preferensi politik pada dasarnya dipengaruhi pula dari produk hasil belajar. Baik belajar informal (dalam keluarga, teman bermain), formal (persekolahan) dan  nonformal (masyarakat). Hasil belajar ini mengantarkan seorang dapat berpikir sehat dan sekaligus berhati sehat. Logika atau penalarannya menjadi jalan/beres pada umumnya ditempuh melalui pendidikan. Politik aliran yang cenderung berpotensi memecah belah bangsa lebih mudah dihindari. Melalui jalan pendidikan membuat kesadaran terpatri tentang pentingnya kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Munculah gerakan politik berdasarkan ikatan primordialisme. Biasanya disebut dengan politik aliran. Dengan kata lain politik aliran terjadi karena adanya kesamaan terhadap apa-apa yang dibawah sejak lahir dan sekaligus untuk menjaga eksistensi primordialnya itu sendiri. 

Politik perlu identitas. Politik berdasarkan primordial identik pula dengan politik identitas. Seperti identitas etnisitas, suku bangsa dan asal-asul daerahnya. Namun yang paling menonjol, politik aliran mengarah pada identitas agama atau aliran keagamaan. 

Siapakah yang akan menjaga eksistensi agama di Indonesia, apabila tokoh agamanya tidak terlibat dalam politik.  Jika orang beragama tidak terjun ke dalam politik, maka dunia politik akan diisi oleh mereka yang tidak beragama dan bahkan anti agama. Suatu hal yang justru berlawanan dengan negara yang berdasarkan Pancasila.   

Semua orang terikat oleh faktor keturunan. Semua orang terikat oleh kerinduan darimana ia berasal dan semua orang ditenun oleh ilmu pengetahuan yang dimilikinya. 

Muncul ikatan alumni berdasarkan asal-usul dari mana ia bersekolah. Namun soal afilian politik, tidak ada satu selolah atau kampus pun –sebagai ruang belajar/akademik– yang berpihak pada politik tertentu. Institusi pendidikan netral dari politik praktis. Civitas akademikanya yang harus paham dengan dinamika politik yang terjadi, kemudian terlibat aktif dalam politik kebangsaan.  

Ikatan-ikatan itu (dari para aktor politik atau seseorang terlibat dalam politik) terlihat dan dapat dirasakan. Baik kuat, terang-terangan maupun samar-samar yang disembunyikan. 

Manuver para tokoh politik pada dasarnya dapat dibaca secara terang benderang. Siapa dan apa yang sedang mereka bela? 

Politik pada dasarnya membawa pada policy (kebijakan). Seperti –mungkin saja–  kebijakan tentang larangan adzan menggunakan speaker, sertifikasi da’i, larangan masjid dijadikan tempat pemberdayaan kebangsaan.

Larangan shalat (Hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha) di tanah lapang atau Monas. Penghapusan agama di kolom KTP, Penghapusan pendidikan agama di sekolah-sekolah dan pelarangan penggunaan hukum syari’at sebagai dasar produk peraturan daerah. Dilarang mengajari agama kepada anak-anak sejak dini karena itu dinilai melanggar hak bermain anak.   

Siapa yang akan menjamin eksistensi keagamaan di Indonesia? 

Disinilah pentingnya penganut agama memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara dengan melibatkan diri dalam dunia politik. “Kalau orang Islam tidak peduli pada politik, maka umat Islam akan dipimpin oleh orang yang tidak peduli kepada Islam. Ini alasan kenapa muslim (umat islam) harus berpolitik”  

Mayoritas rakyat Indonesia sudah diikat atas nama bangsa dan negara. Konsensus Indonesia yang sudah baku adalah negara berdasarkan Pancasila dan UUD 45. Bukan negara teokrasi berdasarkan agama tertentu (seperti Iran atau Vatikan), bukan negara monarki (seperti Arab Saudi), bukan negara sekuler atau liberal (seperti Amerika Serikat) dan juga bukan negara komunis (seperti China). 

Politik aliran, suka atau tidak niscaya akan terus bermetamorfosis menemukan proporsinya dibumi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Beragam politik aliran yang muncul di Indonesia pada akhirnya menemukan konsensus alamiahnya. 

Namun “politik aliran” yang tumpang tindih dengan “aliran politik” perlu disadari bersama. Oleh sebab itu, abaikan (jangan dipilih) aktor politik (individu) yang bersembunyi di suatu partai politik tertentu, yang terang-terangan memperjuangkan aliran politik komunisme, sekulerisme dan liberalisme. Termasuk pula aliran politik khilafah ala suriah.   

Prof. Mahfud MD (2018) memastikan bahwa Indonesia dengan sistem Pancasila adalah khilafah. Khilafah dalam arti sistem pemerintahan yang khas Indonesia (al-khilafah ala Indonesia). Ini merupakan produk ijtihad para ulama. Mengutip pendapatnya KH. Ahmad Azhar Basyir (Tokoh Muhammadiyah). “Indonesia ini sudah sangat sesuai dengan syari’at Islam”

Indonesia adalah Indonesia. Bukan China bukan pula Amerika Serikat. Aliran politik yang menyuarakan antiagama (komunisme), liberalisme (kebebasan individu), sekulerisme (pemisahan agama dan negara) dan isme-isme lainnya yang berseberangan dengan ideologi Pancasila adalah menyalahi konsensus “The Founding Fathers“ pendiri bangsa dan negara Indonesia. 

Oleh: Didik P Wicaksono, Pemerhati Dinamika Politik, Aktivis di Community of Critical Sosial Research, Universitas Nurul Jadid (UNUJA) Paiton Probolinggo.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES