Kopi TIMES

Competitive Advantage, Apa itu?

Rabu, 13 Februari 2019 - 13:56 | 308.96k
M. Deden Ridwan, pegiat konten, penulis & konsultan di CEO Reborn Initiative. (Grafis: TIMES Indonesia)
M. Deden Ridwan, pegiat konten, penulis & konsultan di CEO Reborn Initiative. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANGSECARA sederhana, keunggulan kompetitif (competitive advantage) adalah kemampuan melaju, memenangkan pertarungan dengan basis kekuatan sendiri. Gigih, tangguh, gesit, dan percaya diri. Sebuah keunggulan yang sebenarnya sudah given. Hingga kala terjadi pertandingan, arena persaingan dimenangkan hanya dengan optimalisasi kekuatan-kekuatan alamiah yang bersifat kreatif-inovatif.

Tidak terlalu sulit menemukan competitive advantage Indonesia. Sebagai negeri kepulauan, Indonesia nyaris memiliki segalanya. Populasi relatif tinggi. Pertumbuhan ekonomi cukup stabil. Lebih spsifik dari itu, di Indonesia, hamparan tanah yang subur membentang sedemikian luas. Bak zamrud khatulistiwa. Pun dengan perairan. Kekayaan laut nusantara merupakan cadangan banda yang luar biasa. Dahsyatullah!

Satu hal yang mungkin tidak dimiliki: komitmen penuh untuk menjadi negara pertama. Sejauh ini posisi Indonesia, sepertinya masih malas beranjak dari status negeri berkembang. Mungkin terlalu asyik dengan label itu. Hingga perjalanan menuju negara maju, sedemikian lambat dan bahkan terasa terhambat. Kurang greget dan nendang. Loyo. Lesu. Semacam kekurangan darah. 

Ya, meminjam istilah para pegiat konten, seperti kurang "ngac!" Meskipun demikian, empat tahun belakangan ini, perjalanan menuju itu relatif terarah. Terutama tampak ketika pemerintahan Presiden Jokowi menyiapkan pembangunan infrastruktur secara masif sebagai landasan pacu menuju negara maju. Tentu, di samping apresiasi,  hal itu pula perlu diberikan catatan kritis supaya arahnya ke depan lebih on the track.

Mewariskan "Tradisi" 

Mari kita tengok sekilas sejarah sebagai cermin. Kala modernisme menjadi ideologi masif, adaptasi menjadi negara modern dilakukan dengan pelbagai cara. Turki, terkenal dengan sekularismenya, mengadopsi modernisme dengan membuang catatan historis. Mencoba melepaskan diri dari akar budaya, kemudian berusaha berubah menjadi negara baru. Namun eksperimen ini relatif gagal.

Berbeda dengan Jepang. Ia justru tumbuh dan berkembang menjadi negara maju dengan melakukan kontekstualisasi nilai-nilai historis-kultural. Mereka melaju menjadi negara industri berbasis optimalisasi nilai-nilai budaya dan kearifan tradisional. 

Betul, negara modern yang berakar kuat pada tradisi lokal. Dengan kekuatan itulah, Jepang kini tumbuh-pesat menjadi negara industri super-maju yang sangat disegani.

Indonesia, yang sedemikian kaya dengan nilai-nilai kultural dan tradisi sedikit banyak melangkah dengan gaya Jepang. Eksperimen gerakan pembaharuan pemikiran keagamaan yang pernah dipelopori oleh Nurcholish Madjid, misalnya, adalah bukti dalam upaya ini. Bagi Cak Nur (panggilan akrab Nurcholish Madjid), modernisasi itu bukan westernisasi, tapi rasionalisasi. Menjadi  modern berarti  berpikir  rasional berbasiskan tradisi. Maka, kaidah terkenalnya adalah: "memelihara tradisi lama yang baik, dan mencari tradisi baru yang jauh lebih baik."  Kaidah ini tampak keren dan tetap relevan bagi upaya perumusan strategi kebudayaan Indonesia ke depan.

Sayangnya dampak gerakan modernisasi  itu belum begitu masif. Kurang mengakar dan menyentuh lapisan mental-sosial. Bahkan cenderung berhenti pada tataran teologis-normatif-filosofis saja. Belum menjadi sebuah gerakan sosial. 

Ya, akibatnya, modernisasi Indonesia masih belum terlihat merata; belum pula berdampak pada melahirkan kesadaran "perbuatan baru" (new culture). Masih mencerminkan, memakai istilah Ignas Kleden, kemiskinan budaya. Maka, tidak aneh, jika hingga kini institusi besar seperti negara dan Badan Usaha Milik Negara, masih memiliki kendala klasik: rendahnya etos kerja dan disiplin. Ini tentu menjadi masalah krusial revolusi mental yang acap kali dikhutbahkan.

Jua di sektor pertanian dan kelautan. Dua sektor ini seharusnya sudah menjadi competitive advantage bumi nusantara. Inovasi, persilangan antara pertanian klasik (berbasis tradisi) dengan kemajuan sains masih belum massal. Apalagi persilangan antara pertanian, sains, dan industri. Indonesia bukan saja ketinggalan jauh. Namun cenderung jalan di tempat. Bahkan, mungkin yang sedang terjadi malah involusi. Seperti kasus involusi pertanian di Jawa yang pernah diteliti Cilford Geertz di era 1960-an. Ternyata, kita belum bisa beranjak dari historical block jebakan involusi.

Agaknya inovasi yang lumayan besar terjadi di sektor industri kreatif dan hiburan. Di industri kreatif, misalnya, munculnya start up-star up berbasis teknologi digital yang banyak dipelopori anak-anak muda Indonesia,  sangat membanggakan. Istilah bisnis startup berbarengan dengan munculnya era buble dot-com, saat perusahaan dot-com mulai menjamur.

Raksasa digital seperti Facebook, Ebay, Alibaba, dan Tokopedia pada awal berdirinya memang sebagai perusahaan startup. Dan, inilah yang memberikan inspirasi bagi anak-anak muda Indonesia untuk terjun ke bisnis start up. Modal utama mereka adalah kreativitas sebagai kunci. Karena kehadiran bisnis start up tentu disertai dengan ide-ide unik-kreatif yang menawarkan layanan, kemudahan, dan daya tarik berbeda. Fenomena taksi online dengan GoJek sebagai ikonnya adalah contoh menarik.

Begitu juga di industri hiburan/musik. Perkembangannya terasa sedemikian pesat. Kita lihat minat untuk menjadi idol  tampak meluap-luap. Pun antrean calon artis dan bintang iklan. Rumah produksi diburu. Peserta casting terus  dibanjiri peminat,  terutama anak-anak muda milenial yang berparas cantik dan ganteng. 

Kondisinya kontras banget dengan antrean dan momentum untuk mempersiapkan calon ilmuwan atau editor sebuah penerbitan. Sunyi. Sepi. Tak ada peminat.

Memang di era digital dan medsos ini, mempersiapkan sebuah generasi yang mampu bersaing di zamannya tanpa harus kehilangan tradisi atau akar budaya adalah sebuah agenda berat. Namun hal itu mendesak sekali dan perlu. 

Nah, dalam konteks ini, pembumian Pancasila  bagi generasi milenial  terasa amat  penting. Pancasila mesti dibumikan bukan saja menjadi dasar dan ideologi negara, tapi juga sebagai inspirasi maju. Ia mesti menjadi benteng sekaligus sumber inspirasi untuk berkarya demi Indonesia. Maka, sosialisasi Pancasila di kalangan  anak-anak muda perlu dilakukan secara kreatif dengan memanfaatkan pelbagai platform media.

Menyiapkan generasi yang lebih baik dari sekarang sangatlah mendesak. Karenanya, mereka tidak hanya harus diwariskan pengetahuan, tetapi juga nilai-nilai kebangsaaan, budaya, dan tradisi. 

Tidak hanya membuka informasi. Tetapi juga mampu menyaring menjadi data. Lalu menghadirkan konsep baru. Tentunya harus pula dibekali universalitas nilai-nilai keindonesiaan. Sehingga mereka mampu mengibarkan sangsaka merah putih di tengah pusaran arus global sambil mampu berkata: “Ini dadaku, mana dadamu!”

Bidang ini juga mayoritas merupakan arena di mana kemampuan pemerintah, dari masa ke masa, siapa pun presidennya, diuji kemampuannya. Tidak hanya berkenaan dengan kebijakan soal besaran anggaran. Tetapi juga berhubungan dengan pewarisan nilai. Dengan kata lain, pemerintah sebagai sentral perjalanan kedewasaan dan kemartabatan bangsa, juga harus  menunjukkan tauladan dengan kinerja yang memadai.

Human Capital

Pendidikan sebenarya tidak hanya memiliki fungsi di dalam transmisi sumber daya manusia melalui peningkatan human capital, tetapi juga membentuk sumber daya sosial melalui pembentukan aturan-aturan dan norma. Tentu saja ini bukan hanya berasal dari pendidikan dasar dan menengah, tetapi juga pendidikan tinggi dan profesional. Ia menunjukkan, misalnya, seorang dokter tidak hanya mempelajari obat, tetapi juga prinsip-prinsip etis yang jauh lebih berhubungan dengan moral ketimbang kedokteran.

Pembangunan human capital ini bisa dilakukan dengan cara meningkatkan beberapa hal yang dianggap sebagai aspek yang paling penting bagi kehidupan manusia, di antaranya: usia hidup (longevity), pengetahuan (knowledge), dan standar hidup layak (decent living standard). 

Human capital menyumbang langsung pada penciptaan kekayaan nasional. Semakin tinggi rata-rata tingkat keterampilan dan pengetahuan, semakin mudah bagi individu dalam usia bekerja untuk mengerti, menerapkan, dan mendapatkan hasil dari kemajuan teknologi yang akhirnya meningkatkan standar ekonomi dan hidup bangsa. Suatu bangsa harus menanamkan modal dalam pendidikan serta lebih menyeragamkan materi pengajaran.

Dengan kata lain dalam human capital tidak hanya berkenaan dengan pengetahuan dan keterampilan bagaimana seseorang mempertahankan, tetapi juga berkenaan dengan rumusan nilai mengenai menjalani dan mengembangkan hidup dan kehidupan.

Sumber daya manusia atau tenaga kerja merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi selain sumber daya alam dan modal. Tanpa sumber daya manusia, maka sumber daya alam yang berlimpah tidak dapat dikelola. Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi tidak semata-mata tergantung pada jumlah sumber daya manusia saja, melainkan lebih menekankan pada produktivitas dan kreativitas. 

Sumber kemajuan ekonomi berasal dari peningkatan produktivitas dan kreativitas manusia (lebih sehat, selalu bahagia, kreatif, terampil, skillful, bermotivasi bekerja), mesin baru yang lebih produktif, organisasi produksi (penemuan, keringanan pajak, subsidi BBM dan listrik) dan efisiensi kerja (kesehatan buruh, kursus-kursus atau training dan sistem pendidikan yang lebih baik).

Tentu saja, hanya dengan gerakan pencerahan seperti inilah Indonesia bisa bangkit. Pesan di atas juga menegaskan mengenai keharusan memerhatikan kualitas pendidikan. Bukan hanya sekadar pencapaian dan implementasi kebijakan wajib belajar. Bukan!

Sekali lagi, kualitas pendidikan! Dalam hal ini negara tidak boleh berhenti pada hanya penyediaan sarana kebutuhan publik seperti pendidikan dan kesehatan, tetapi harus mengontrol dan terus memperbaiki kinerjanya sehingga semua itu berkualitas tinggi berbasiskan kearifan nilai-nilai budaya atau tradisi.

*) Penulis: M. Deden Ridwan, pegiat konten, penulis & konsultan serta CEO Reborn Initiative

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES