Kopi TIMES

Rukun Islam dan Cermin di Ruang Tengah

Selasa, 12 Februari 2019 - 00:01 | 81.52k
Ahmad Dahri
Ahmad Dahri

TIMESINDONESIA, MALANG – Sepertinya memang rizky dari tuhan masih sebatas uang yang dipahami, kaya, menjadi satu kompetisi yang dikejar mati-matian, miskin, menjadi ruang yang dijauhi bahkan seperti penyakit menular, pun usaha menjauhinya mati-matian. Agaknya memang sifat alami manusia, tetapi apakah memang harus rakus, kemudian pekerjaan di dunia adalah mengejar kekayaan dan meninggalkan kemiskinan?

Rasanya tidak pantas bagi makhluk yang dimuliakan oleh Tuhan ini kemudian hanya menggantungkan pada dunia yang nyatanya hanya sebatas pandangan manusian saja. Realistis? Memang manusia hidup dalam keadaan yang nampak dan wujudnya adalah timbal balik dari manusia lain. Tetapi pertanyaannya adalah apakah kehidupan hanya berisi dengan banting tulang atau sekadar memenuhi hasrat kemilikan saja? Bahkan rela menukarkan agama dengan harga yang serendah-rendahnya. 

Jika setiap agama memiliki rukun atau prasyarat, maka islam pun begitu. Pertama adalah bersaksi atas Tuhan dan UtusanNya. Senyampang diucapkan tetapi prosesnya berkepanjangan. Banyak nilai yang berkembang dari hanya sebatas dua kalimat saja. Tapi itukan tafsiran saja, kata siapa? Itu adalah metaetika kepada Tuhan. Metaetika pula kepada manusia dan mahluk yang lain. Tumbuhnya rasa syukur, empati, saling menghargai adalah wujud dari trasformasi pemikiran atas syahadat. Karena menyadari tiada hak di dalam diri selain haknya Tuhan. 

Kedua, shalat tidak hanya menjadi satu kewajiban, tetapi menjadi ruang berpikir yang dilakukan di waktu senggang. Mengapa? Karena dalam shalat terdiri dari berbagai fase penyadaran-penyadaran kalau manusia hanya sebatas hamba, kemudian mengabdi kepada Tuhan. Maka (seharusnya) tidak ada harapan lebih ketika menghamba kepada Tuhan selain mengharap rahmat dan kasih sayangNya.

Ketiga, zakat menjadi media bagi setiap manusia untuk berbagi kepada sesama. Jika pendidikan mengajarkan untuk saling tenggang rasa, tolong menolong, dan bekerjasama dalam berbagai aspek kebaikan. Maka ada situasi di mana setiap orang menunjukkan rasa kemanusiaannya dan saling menjaga satu sama lainnya. Zakat menjadi bukti bahwa ada ruang untuk orang lain di dalam diri manusia. Kemudian dinamakan dengan sikap berbagi saling mengasihi. 

Keempat, puasa adalah sikap menahan diri, mikul duwur mendem jerru, belajar menghormati dan menghargai. Dengan kata lain menahan diri adalah sikap belajar bijaksana terhadap diri sendiri. Untuk mengenali diri memang harus tahu diri. Untuk tahu bahwa diri belum benar-benar tahu maka harus belajar, dan puasa adalah ejawantah dari tumbuhnya kemauan untuk belajar. 

Seperti halnya menahan diri, maka puasa juga merupakan proses menarik diri dari kebiasaan naluriah hewani yang ada di dalam diri. Apalagi yang membedakan manusia dengan hewan hanya pada proses berpikir, dialektik, dinamis, natiq (pemikiran yang maju dan berkembang). Lantas kapan kita tahu kalau rumah kita akan roboh? Kalau tidak keluar dan menarik diri dari dalam rumah. Kemudian melihatnya dari luar. Sehingga tahu mana yang perlu dibenahi atau direnovasi.

Kelima, haji. Ini yang hari ini --atau mungkin sejak dahulu menjadi ibadah yang menggiurkan. Mengapa? Memang tidak semua orang yang menunaikan ibadah haji dan umroh memiliki niat yang sama, ibadah? Sebenarnya dalam hidup ini apa yang tidak bernilai ibadah? Yang paling menggelitik adalah setelah menunaikan haji dan umroh yang paling diharapkan adalah jauh dari kemiskinan, jika kondisi perekonomian sudah baik sebelumnya maka akan tambah baik lagi. Tapi memang bukan rahasia lagi kan? Memang, tetapi apakah pergi ke tanah suci hanya untuk itu? Lantas apa bedanya dengan tempat-tempat mitik di luar tanah suci? Yang kebanyakan orang mengunjungi hanya untuk mendapatkan solusi tentang permasalahan perekonomiannya. 

Haji adalah rukun yang membuat seorang muslim dipandang sempurna. Secara syari'at pastinya. Lantas bagaimana dengan proses ziarah akal budi? Emangnya ada sangkut pautnya? Jika dilihat mengapa ada tawaf, sa'i, lempar jumrah, kemudian wuquf maka, ada perjalan yang seharusnya menjadi titik balik dari sebuah perjalanan kehidupan. Usaha yang luar biasa besar dalam mengabdikan diri kepada Tuhan. Sekali lagi (maaf) mengabdikan diri. Bukan memperkaya diri.

Bagaiman proses Nabiyullah Ibrahim ketika harus mengimani perintah Tuhan untuk menyembelih putranya Yaitu Nabi Ismail, atau ketika Siti Hajar harus berlari-lari kesana kemari hanya untuk mencari air, demi menghilangkan haus Ismail kecil. Perjalanan dan perjuangan inilah yang setidaknya menjadi cermin besar bagi siapapun yang berkesempatan menginjakkan kaki di tanah suci. 

Karena hari ini, dewasa ini, tidak sedikit yang mengira bahwa dengan berhaji dan umrah maka akan mengubah hidupnya, dari yang awalnya miskin kering kerontang, maka akan kaya raya. Begitupun bagi yang sudah kaya dan mapan bersandar ke kayu jati. Maka akan bertambah pula kekayaan yang disandangnya. 

Ah.... Jangan-jangan... Itu sebabnya di indonesia berbondong-bondong rebutan kursi mengantri pergi ke tanah suci, tetapi tidak mungkin, itu hanya Suudzan saya saja.

Dan bagaimanapun juga semoga setiap pribadi menjadi lebih arif dan bijaksana ketika masih diberi rasa ingin belajar dan terus belajar. Apalagi sedikit merenungkan kembali niat dalam mengabdikan diri kepada Tuhan. Karena hidup adalah proses maju terus dan sesekali menahan diri agar tidak tergelincir atau mengontrol kecepatannya. 

Mari ngopi dan menikmati gorengan seadanya!

 

Salim
Ahmad Dahri

______
Ahmad Dahri adalah Santri Pesantren Luhur Bayt al Hikmah Kepanjen Malang, dan menjadi Mahasiswa di STF al Farabi Kepanjen Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES