Kopi TIMES

Aktivisme Baru Mahasiswa

Minggu, 10 Februari 2019 - 14:05 | 92.38k
Hodari Mahdan Abdalla (Grafis: TIMES Indonesia)
Hodari Mahdan Abdalla (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANGJAUH sebelum kemerdekaan, status mahasiswa di Indonesia sudah dikenal sebagai pion-pion perubahan (agent of change). Menjadi mahasiswa bukan hanya duduk manis di kelas lalu pulang mengerjakan tugas kuliah masing-masing. Lebih dari itu, mereka juga turut memikirkan nasib bangsanya. Namun belakangan, banyak kalangan menganggap semangat semacam itu tak nampak lagi. Aktivisme mahasiswa dibilang hampir padam. Betulkah demikian?

Budaya Protes
Sejak awal keberadaanya, sekitar abad ke-20, mahasiswa Indonesia memang memiliki “budaya protes”. Budaya ini lahir dari rahim realitas politik sebagai dampak dari kolonialisasi. Satu sisi, kehadiran Belanda telah membuka kran pendidikan modern bagi mereka, mengenal dunia kampus. Namun di lain sisi, kebijakan politiknya mengharuskan mereka melakukan gerakan perlawanan.

Menariknya, budaya protes ini tak berhenti di era itu. Paska-kemerdekaan, budaya semacam ini tetap terlestarikan. Mahasiswa selalu mengidentifikasi dirinya seolah-olah sebagai “oposisi abadi” penguasa. Seperti ada “dogma tak tertulis”, menjadi mahasiswa adalah menjadi mata dan lidah rakyat yang akan selalu memantau kerja pemerintah dan menyuarakan aspirasi.

Budaya protes yang dilestarikan oleh mahasiswa dari ke zaman ke zaman tentu berbeda. Perbedaan itu meliputi 1) obyek kritik, 2) framing opini, 3) bentuk protes, dan 4) motivasi. Setidaknya terdapat tiga zaman yang dapat ditandai: zaman pra-kemedekaan, Orde Lama (Orla), dan Orde Baru (Orba).

Sebelum kemerdekaan, obyek kritik mahasiswa adalah kolonialisme dan imprealisme. Mereka menentang segala bentuk penjajahan yang dianggap dapat merugikan kepentingan nasional dengan membentuk himpunan dan partai politik. Adapun tujuannya adalah satu: merdeka.

Pada era selanjutnya, yakni paska-kemerdekaan, tepatnya Orla, obyek kritiknya bergeser ke pemerintah. Mereka melawan penguasa yang kebijakannya kerap dianggap tak mewakili aspirasi rakyat dan melanggar konstitusi. Puncak protes di era ini adalah terbentuknya apa yang disebut Angkatan '66. Yakni, gabungan mahasiswa yang melakukan protes keras terhadap Soekarno dan turut menggiring terwujudnya Orba.

Tak jauh beda dengan apa yang terjadi di Orla, pada zaman Orba, kritikan mahasiswa juga kerap dialamatkan kepada penguasa. Opini-opininya 'pun hampir sama. Selalu soal kebijakan yang tak merakyat dan pelanggaran atas konstitusi. Puncaknya adalah Peristiwa '98.

Rangkaian tiga peristiwa besar di atas merupakan penanda sejarah terkait bagaimana pergantian rezim dan perubahan radikal sosio-politik di Indonesia terjadi. Menariknya, pada ketiga-tiganya, mahasiswa selalu terlibat. Mereka bahkan memainkan peran signifikan pada masing-masing era itu.

Era Baru, Cara Baru
Paska-Reformasi, dunia kampus seolah “adem ayem”. Tak ada lagi gejolak aktivisme seperti di tiga era sebelumnya. Mahasiswa terlihat seperti apatis: tak peduli persoalan bangsa.

Asumsi ini benar bila yang dimaksud aktivisme melulu soal budaya protes. Karena, memang, belakangan kita jarang melihat pertunjukan demontrasi massif dan berkelanjutan yang dilakukan oleh mahasiswa seperti pada era-era sebelumnya.

Namun menurut saya, terlalu naif bila menuntut mereka untuk melakukan gerakan persis seperti yang dilakukan para pendahulunya. Mereka berada di zaman yang berbeda. Dan tentu, mereka punya cara berbeda pula untuk mengaktualisasikan semangat kepedualiannya terhadap bangsa.

Tak protes bukan berarti diam. Ini yang perlu kita baca. Kita tak bisa  selalu menerjemahkan aktivisme sebagai budaya protes. Itu hanya salah satu bentuk saja. Masih banyak bentuk-bentuk lain.

Budaya protes merupakan bentuk aktivisme yang dekonstruktif. Aktivisme jenis ini selalu ingin membongkar realitas secara kritis dengan 1) menciptakan oposisi biner, 2) melakukan polarisasi, dan 3) membenturkan kekuatan keduanya.

Dalam konteks politik Indonesia, zaman Orla, mahasiswa mengkritik pemerintahan Sukarno dengan turut 1) memproduksi ketegangan antara TNI dengan PKI, 2) menentukan keperpihakan (misal, HMI ke TNI, CGMI dengan PKI), 3) membenturkan kekuatan keduanya. Di zaman Orba, mahasiswa mengkritik Suharto dengan turut 1) menciptakan ketegangan antar “Klan Cendana” dengan rakyat, 2) menentukan keberpihakan pada rakyat, dan 3) melawan atas nama rakyat.

Puncak keberhasilan aktivisme jenis ini bukan hanya menekan pemerintah untuk memperbaiki kebijakan. Namun lebih dari itu, yakni menggulingkan pemerintahan itu sendiri. Di puncak keberhasilan inilah aktivisme dekonstruktif itu bersifat destruktif. Karena setiap peristiwa kudeta selalu membutuhkan korban. Fenomena perusakan menjadi efek tak terhindarkan.

Untuk dua era itu (Orla dan Orba), aktivisme dekonstruktif memang penting. Pertama, karena hanya mahasiswa yang melek politik. Rakyat yang diwakilinya bisa dikatakan masih gagap. Kedua, tak ada jalan lain untuk mewujudkan perubahan kecuali dengan protes sebab sistem terlampau tertutup, di mana demokrasi terpasung oleh otoriterianisme.

Namun di Era Reformasi ini, apakah bentuk aktivisme semacam itu masih relevan? Sampai kapan mahasiswa terus-terusan kerjaannya protes, sementara tuntutan zaman sudah berbeda? Negeri ini bukan hanya butuh orang kritis tetapi juga solutif. Saya kira, di sinilah aktivisme mahasiswa seharusnya mengambil peran.

Aktivisme Konstruktif
Berbeda dengan aktivisme dekonstruktif, aktivisme konstruktif lebih menekankan pada problem solving, yakni turut berpartisipasi aktif dalam memecahkan masalah bersama. Mahasiswa tak lagi melakukan protes tetapi justru menciptakan kreatifitas-kreatifitas baru yang dapat menyelesaikan persoalan bangsa belakangan ini.

Bila ditinjau dari sisi ini, asumsi bahwa aktivisme mahasiswa telah vakum adalah kurang tepat. Sebab, akhir-akhir ini banyak bermunculan anak muda Indonesia yang lahir dari dunia kampus yang turut memikirkan persoalan bangsa ini dan bahkan berhasil memberikan solusi-solusi kreatif.  Seperti, Nadiem Makarim dengan Go-Jeknya; Muhammad Hablul Bary (mahasiswa ITB) dengan robot pengintainya yang berbentuk kecoa; Evita Martha Dewi (mahasiswa UI) yang berkali-kali mendapat penghargaan bergengsi lantaran ide briliannya tentang ekonomi masa depan; dll.

Mereka, mahasiswa kreatif ini, menurut saya adalah aktivis yang sesungguhnya untuk era sekarang. Karena mereka telah menggadaikan banyak waktunya untuk turut berpartisipasi mengisi Era Reformasi ini dengan temuan-temuan baru yang dihasilkannya. Nadiem “mereformasi” moda transportasi. Temuan Bary dapat mempermudah KPK, BIN, dan Militer untuk melakukan pengintaian dan penyadapan. Begitu juga dengan Dewi, gagasan ekonominya dapat membantu pemerintah untuk terus melakukan terobosan-terobosan baru.

Di era generasi millenial ini, mereka telah memberikan role model  aktivisme baru, yakni apa yang saya sebut aktivisme konstruktif itu. Aktivisme jenis inilah yang sangat relevan untuk konteks generasi mahasiswa sekarang. Saya berharap, aktivisme konstruktif ini dapat melahirkan budaya baru di kalangan mahasiswa dalam melakukan suatu gerakan. Bukan hanya budaya protes seperti dua era sebelumnya, tapi budaya solusi untuk masa depan bangsa yang lebih jaya. (*)

* Penuslis adalah Hodari Mahdan Abdalla (Pengampu pendidikan politik di Akademi Bela Negara Partai Nasdem)

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES