Kopi TIMES

Kitab Suci Fiksi, Logiskah?

Sabtu, 09 Februari 2019 - 23:45 | 189.47k
Achmad Nur, Ketua Lakpesdam NU Kabupaten Situbondo. (FOTO: Istimewa)
Achmad Nur, Ketua Lakpesdam NU Kabupaten Situbondo. (FOTO: Istimewa)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Hari hari ini, media sosial di warnai oleh perbincangan tentang problematika retorika Rocky Gerung yang mengatakan bahwa kitab suci itu fiksi. Pernyataan ini menuai kontroversi bahkan berlanjut pada ranah hukum.

Jack boyd lapian selaku pelapor menjelaskan bahwa "Saya melihat miris apalagi kita ini di negara Pancasila, khususnya sila pertama, kitab suci dikatakan fiksi, setau saya saudara Rocky Gerung agama Kristen sama dengan saya, saya engggak bicara SARA disini, kitab suci itu sudah baku, dan kita merdeka oleh pejuang dan pahlawan, the point is adalah dasar negara kita ini jangan terkoyak-koyak filsafat yang enggak penting banget di forum yang mulia ini," begitu tuturnya pada acara ILC TV One.  

Menurutnya, pemahanaman kitab suci bagi bangsa indonesia itu bersifat sakral, kebenaran yang di imani bukan khayalan dan rekaan. Terlepas dari kontroversi tersebut, tulisan ini hanya ingin membaca kembali logika berpikir Rocky Gerung yang kerap kali mengatasnamakan akal sehat.

Untuk mengawali analisis, akan disajikan pernyataan Rocky Gerung di ILC. "Kalau saya pakai definisi bahwa fiksi itu mengaktifkan imajinasi, maka kitab suci itu adalah fiksi," dalam pernyataan yang lain diperjelas bahwa "Saya enggak pakai KBBI. 

Sebelum saya mengucapkan kitab suci itu fiksi, sebelum kalimat itu saya ucapkan, saya ucapkan dulu apa yang saya maksud dengan fiksi. Saya pakai keterangan berdasarkan definisi yang saya buat, saya bilang fiksi itu beda dengan fiktif. 

"Dari awal saya sudah kasih tahu beda, kalau ada yang bilang sama, ya silakan bilang itu sama. Tapi, saya anggap itu beda, jadi silakan pakai definisi saya,"

Membaca akal sehat Rocky Gerung

Dalam konteks ilmu logika, pembatasan masalah dan ruang lingkup pemahaman dalam merumuskan suatu peryataan sudah dilakukan oleh Rocky Gerung. 

Oleh karenanya definisi fiksi menurut KBBI dan menurut hasil dialektika Rocky berbeda. Namun dalam melakukan redefinisi dan menyampaikannya di ruang publik, menurut hemat penulis, memiliki beberapa kekurangan dan kelemahan.

Pertama, redefinisi yang dilakukan hanya bersifat searah, hanya meredifinisi kata fiksi, belum melakukan redifinisi kata “kitab suci”. Ketika kata “fiksi” di redifiinisi dengan pemahaman yang baru dan berbeda dengan definisi mainstream, sementara kata “kitab suci” masih berada dalam pemaknaan mainstream, maka akan terjadi keterputusan epistemologis yang akhirnya akan melahirkan kerancuan pemahaman. Sehingga wajarlah pendengar/masyarakat yang masih memiliki pemahaman kitab suci mainstream akan menentang.

Kedua, nalar berpikir bebas dan kritis yang dilakukan Rocky, ternyata masih terbelenggu oleh sistem. Hasil dialektika konseptual tentang  “fiksi” yang dituturkan  secara oralitas pada acara ILC, dalam kajian linguistik Ferdinand de Saussure disebut sebagai parole yang bermakna bahasa tutur.

Menurut Saussure, bahasa tutur lahir dan dipengaruhi oleh langue yang bermakna sisstem bahasa. Ketika kata “fiksi” terlontar dan terdengar ke publik walaupun telah memiliki pemahaman baru, secara implisit masih terpenjara oleh sistem bahasa indonesia yaitu KBBI. Ketika Rocky ingin keluar dari sistem tersebut, maka hendaknya memilih  kata yang baru selain fiksi. 

Ketiga, akal sehat yang dibangun oleh Rocky  diatas logika berpikirnya, belum memliki unsur tepat dan “benar”. Karena pemikiran dikatakan logis, apabila tepat dan benar.

Tidak ada unsur “tepat”, karena pemilihan kata fiksi yang diolahnya masih terikat dengan sistem bahasa indonesia yang tertuang KBBI. Tidak ada unsur “benar”, karena gagasan tersebut disampaikan di ruang publik dengan pskologi audiens yang beragam. Gagasan tersebut akan menjadi benar ketika disampaikan pada forum pelatihan filsafat atau forum sejenisnya secara tertutup.

Dalam penyampaiaan gagasan, bahasa merupakan unsur penting yang sangat menentukan bagi keberlangsungan komunikasi. Menurut Heideger “language is the hous of beings’’ bahasa adalah rumah tempat kita lahir,tingal dan tumbuh.

Di dalam bahasa, warisan dan khazanah nilai-nilai kemanusiaan tersimpan rapi  dan melalui bahasa pula kita mendepositokan prestasi dan nilai-nilai kemanusiaan untuk disampaikan kepada masyarakat.

Dengan demikian, dalam menyampaikan gagasan tidak cukup hanya berlandaskan logika, melainkan juga dilandasi dengan wacana yaitu cara menyampaikan kenyataan atau gagasan. Wacana akan bermakna dan diterima apabila diwarnai dengan etika dan estetika. (*)

*Penulis adalah Achmad Nur, Ketua Lakpesdam NU Kabupaten Situbondo.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES