Kopi TIMES

Antara Seni dan Tirani Politik Negeri

Senin, 21 Januari 2019 - 23:29 | 49.57k
Muhammad Fahmi Hidayatullah Dosen FAI Unisma (Grafis: TIMES Indonesia)
Muhammad Fahmi Hidayatullah Dosen FAI Unisma (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANGDINAMIKA politik tanah air semakin berkembang. Konsep pilkada serentak sebagai suguhan untuk menemukan pemimpin berkualitas. Kesiapan calon pemimpin lima tahun mendatang tengah di uji integritas dan elektaibilitasnya dengan tuntutan partai politik pengusung yang harus memenuhi ambang batas parlemen (parliamentary threshold) minimal 4% jika menginginkan semua program eksekutif terpilih berjalan lancar. Angka tersebut sangatlah berat untuk mencapainya, mengingat pemilu tahun ini diikuti oleh 16 partai politik serta dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden. Padahal pesta demokrasi nasional membutuhkan energi ekstra untuk memenangkan keduanya.

Tahun ini sebagai puncak tahun politik dari proses pilkada serentak yang telah dilakukan tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, presdiksi tahun ini sebagai penentu lahirnya figur baru pemilu lima tahun mendatang. Para pakar banyak memprediksi lima tahun yang akan datang akan lahir figur baru dengan seni (politik) baru yang tentunya ide cemerlang dan prestasi menjadi harga jual yang sangat tinggi serta paling banyak diminati. Jika sejak reformasi disuguhkan dengan figur pemimpin pluralismeelegant, dan merakyat. Maka era baru sejak dimulainya pilkada serentak akan disuguhkan dengan kompetisi pemimpin prestasi dan kemungkinan pemilu lima tahun mendatang dilengkapi dengan representasi figure milenial.

Namun hal paling berpengaruh dalam berpolitik adalah mengedepankan etika dan moral. Mengapa ini penting, karena berkaitan dengan legitimasi rakyat kepada pemimpinnya. Etika dan moral haruslah menjadi prioritas utama calon pemimpin negara.  Kedua istilah tersebut sebagai dasar untuk mengendalikan roda politik tanah air jika menginginkan tatanan negara dengan suasana kedamaian, keharmonisan, ketentraman dan berkemajuan.

Definisi etika dan moral hampir memiliki makna yang sama. Letak persamaannya terdapat nilai baik dan buruk pada kedua kata di atas. Perbedaannya jika etika merupakan suatu aturan atau dasar perilaku baik dan buruk manusia, sedangkan moral didefiniskan sebagai perwujudan dari perilaku baik dan buruk manusia sesuai dengan kondisi mentalnya. Etika lebih normatif sedangkan moral cenderung aplikatif. Oleh karena itu, keduanya harus berjalan selaras agar memperoleh kepercayaan kuat.

Etika dan moral selalu menjadi topik hangat pembicaraan pakar politik tanah air, karena berhubungan dengan perilaku baik dan buruk pemimpin. Mayoritas memandangnya sebagai panutan dimana setiap pembicaraan, sikap dan perilakunya dijadikan sebagai keteladanan. Oleh karena itu politik dan etika tak dapat dipisahkan dengan berbagai macam alasan. Walaupun hal ini berkaitan dengan hak asasi manusia yang harus di junjung tinggi, namun HAM dalam berpolitik memiliki hubungan dengan etika hidup berbangsa dan bernegara berlandaskan ideologi Pancasila bukan ideologi liberal.

Beberapa etika dan moral yang perlu ditunjukkan kepada masyarakat dalam berpolitik diantaranya: pertama, menanamkan sikap optimisme. Sikap ini berdasar pada sila keempat tentang kepemimpinan bijaksana. Sikap bijaksana seorang pemimpin dapat ditunjukkan dengan menanamkan rasa optimisme dan percaya diri membangun negara bersama rakyat.

Berdasarkan survei yang dirilis CSIS (Centre For Strategic And International Studies) November 2017 sebagai berikut: tingkat optimisme terhadap masa depan bagi generasi milenial (17-29 tahun) dan non milenial (di atas 30 tahun) sebanyak 94,8%; tingkat kebahagiaan generasi milenial menjalani kehidupan sebanyak 91,2% dan non milenial 89,3%; dan tingkat optimisme terhadap kemampuan pemerintah meningkatkan pembangunan bagi milenial sebanyak 82,5% dan non milenial 83,8%. Prosentase inilah yang menjadi acuan para calon pemimpin untuk selalu menanamkan sikap optimisme terhadap rakyat agar dipercaya untuk memimpin.

Kedua, menghindari penyebaran hoax. Etika kedua berkaitan dengan sila kedua tentang norma menjadi bangsa beradab. Bangsa yang sesuai dengan sila kedua sangatlah menghindari moral penyebaran berita bohong. Perilaku demikan harus selalu dihindari bagi calon pemimpin mendatang. Berdasarkan survei yang dirilis Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) bahwa perilaku hoax sangat menghambat pembangunan (70,9%), mengambat pembangunan (26,60%), dan tidak menghambat (3,20%). Sedangkan terkait dengan hoax mengganggu kerukunan yang menjawab sangat setuju (75,90%), setuju (22,80%), dan tidak setuju (1,30%).

Angka diatas sangat memprihatinkan. Jika perilaku seperti diatas ditunjukkan kepada masyarakat, maka akan menurunkan reputasinya. Selain itu kehkhawtiran masyarakt terhadap informasi berita bohong angkanya cukup signifikan. Berdasarkan hasil survei LSI Denny JA, 75% masyarakat khawatir dengan maraknya penyebaran hoax. Disinilah peran pemimpin sebagai informan akuratif perlu ditunjukkan untuk mengembalikan kepercayaan publik. Alasannya jika tidak demikian, maka akan menjadi tirani calon pemimpin negeri.

Selain itu Islam mengecam pemimpin yang memberikan informasi menyesatkan. Sebagaimana informasi yang di peroleh Abu Dardak RA berkata: “Telah memberi amanat kepada kami, Rasulullah SAW, bahwa yang aku takuti atas kamu adalah pemimpin yang menyesatkan” (HR. Ahmad). Informasi yang diperoleh dari Rasullah SAW memberikan pesan kepada para calon pemimpin agar selalu menunjukkan rakyatnya kepada jalan yang benar dan tanpa menyesatkan. Dimulai dari penyampaian informasi yang selalu akurat berbasis data sebagai amal kebaikan.

Ketiga, gaya memimpin tegas dan merakyat. Konsep kepemimpinan merakyat menjadi harapan semua masyarakat. Namun, kepemimpinan merakyat tanpa diiringi dengan ketegasan menjadi hal yang bias. Selain itu ketegasan dalam memimpin bukan berarti otoriter, tetapi komitmen terhadap apa yang disampaikan benar-benar dilakukan termasuk menunaikan janji-janjinya saat kampanye. Selain itu yang benar dikatakan benar dan yang salah juga dikatakan salah tanpa memandang jabatan dan kedudukannya. Kepemimpinan tegas dan merakyat sebagai perwujudan kepemimpinan sejati. Dengan demikian konsep kepemimpinan sejati sebagai seni dalam mensejahterahkan dan memakmurkan rakyat. (*)

*Penulis, Muhammad Fahmi Hidayatullah Dosen FAI Unisma

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES