Kopi TIMES

Pubertas Politik dan Syahwat Hoaks Dimedsos

Jumat, 18 Januari 2019 - 12:12 | 83.73k
Muhammad Faishol, Dosen IAI Ibrahimy Genteng Banyuwangi. (Foto Muhammad Faishol for TIMES Indonesia)
Muhammad Faishol, Dosen IAI Ibrahimy Genteng Banyuwangi. (Foto Muhammad Faishol for TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Di era saat ini, medsos seolah sudah menjadi bagian penting dari banyak orang. Setiap hari kita dengan mudah bisa tahu tren terbaru dan berita-berita viral lainnya. Termasuk dalam hal politik.

Bahkan, sejak 10 tahun terakhir ini, obrolan politik bukan lagi dimonopoli oleh elite parpol, pejabat pemerintah atau para aktivis.  Namun sudah menjadi bahasan seluruh lapisan masyarakat. Mulai emak-emak hingga masyarakat. Apalagi sejak menjelang dan berakhirnya debat Capres Cawapres pertama, Kamis malam (17/1/2019).

Memang tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Namun terkadang diruang diskusi yang menggunakan medsos sebagai wadah, sering kita susah membedakan mana pembahasan fakta dan fiksi. Mana yang benar-benar argumen atau hanya sentimen. Tak ayal, alih-alih mencerdaskan, malah membuat ketakutan dan dampak negatif yang lebih besar dibanding manfaatnya.

Ditambah lagi, saat ini banyak politisi kita bicara diranah publik dengan terlalu terburu-buru. Akibatnya, ada beberapa informasi yang kurang tepat, tidak akurat, bahkan terkesan hoaks.

Celakanya lagi, hal-hal tersebut banyak diamini dan dishare oleh pengikutnya masing-masing. Apakah semua itu memang ada kesengajaan untuk menciptakan kegaduhan di grassroot? Saya juga tidak paham. Padahal seharusnya politisi dalam pandangan Plato, sejatinya kata-kata yang keluar dari mulut politisi adalah sarana mengembangkan kesadaran kemanusiaan untuk menyampaikan kebenaran dan keyakinan positif.

Realitas politik seperti inilah, yang membuat masyarakat diarus bawah bingung membedakan mana yang benar-benar realitas atau hanya manipulatif belaka.

Sesungguhnya hal ini bisa diatasi dengan meningkatkan kesadaran dan literasi digital yang lebih massif. Dimulai dari mana?. Tentu dari pribadi kita masing-masing.

Coba kita amati, pengguna facebook atau instagram diantara teman-teman kita? Kira-kira ada tidak yang sering menyebarkan konten-konten hoaks. Setelah itu, coba di amati lebih dalam, ternyata setelah kita telisik lebih jauh banyak juga orang-orang berpendidikan, lulusan strata satu yang menyebarkan konten-konten tersebut. Artinya, bukan hanya orang awam yang terjebak dalam fenomena ini.

Faktor yang paling utama, kita bisa mempercayai hoaks atau berita palsu karena rendahnya budaya literasi. Maka hal sederhana yang pertama harus kita lakukan adalah banyak baca.

Sudah membaca apa anda bulan ini? Apa hanya sekedar membaca status-status facebook atau hanya membaca cation-caption foto di instagram?

Data UNESCO yang pernah dilansir tahun 2012 silam, menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001 persen, atau bisa dikatakan hanya satu orang yang memiliki minat baca dari setiap seribu orang.

Padahal dari lembaga Nielsen, penduduk Indonesia setiap hari dapat menggunakan waktunya untuk berselancar di dunia maya berjam-jam. Dengan rincian, minimal penggunaan internet dengan handphone selama 3 jam 33 menit dan menghabiskan waktu di medsos selama dua jam 15 menit.

Kalau boleh penulis bilang, kita saat ini sedang mengalami pubertas medsos dan politik. Analoginya seperti ini, dulu saat kita masih di pesantren (bagi orang-orang pesantren) saat masuk kelas diniyah, santri kelas wustho yang lagi semangat belajar nahwu pasti senang sekali saat melihat kosakata arab yang i’robnya/ gramatikanya keliru, bahkan terkesan sangat sensi.

Beda lagi bagi yang sudah kelas ulya, mereka hanya senyum-senyum saja sambil bilang, “maklum belum pernah belajar alfiyah,” ujarnya sambil ketawa.

Begitu juga, kita yang dulu di awal-awal mengaji kitab Sulam Taufiq, sedikit-sedikit sering bilang murtad dan syirik. Tapi, setelah mempelajari syarahnya Isy’adur Rofiq sikap kita jadi lebih arif dan bijaksana dalam menyikapi sesuatu. Tidak dengan mudah lagi mengkafirkan orang lain.

Sama halnya dengan orang yang baru belajar agama, menggunakan Alquran terjemah, kemudian membaca ayat tentang jihad yang terbayang hanya tentang peperangan. Padahal kalau sudah mempelajari tafsirnya jihad juga bisa diartikan menahan amarah kita masing-masing.

Nah, inilah yang disebut penulis masa pubertas beragama. Karena baru belajar, dianggap yang dipelajari itu sudah paling benar, padahal jika membaca kitab atau bahan bacaan yang grade-nya lebih tinggi, teryata pemahaman kita selama ini masih keliru.

Dari hal tersebut, mungkin kita sekarang sedang mengalami pubertas politik. Hampir semua orang merasa paling benar analisisnya perihal Pilpres 2019 yang sedang ramai dibicarakan. Padahal tidak memiliki kapasitas dan kompetensi atas hal tersebut.

Maka di akhir tulisan ini, agar dunia medsos sedikit lebih nyaman, mari kita kurangi update status “ujug-ujug”, hanya satu referensi kemudian dengan bangganya membagikan. Padahal belum membaca sumber lain. Jika sudah membaca banyak, barulah kita share. Ya, agar kualitas postingan kita di medsos lebih bermanfaat dan lebih faktual tentunya. (*)

Penulis adalah Muhammad Faishol, Dosen IAI Ibrahimy Genteng Banyuwangi.

Penulis Buku berjudul “Mengapa Harus NKRI? (Menelisik Faham Nasionalis KH. Marzuqi Mustamar)”, “Menggerakkan Ekonomi Kerakyatan dan Berdamai Dengan Jarak”.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rochmat Shobirin
Sumber : TIMES Banyuwangi

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES