Kopi TIMES

Peristiwa Malari sebagai Refleksi Mahasiswa Membenahi Negeri

Selasa, 15 Januari 2019 - 20:01 | 121.18k
Ad. Mahfud Wahib, Ketua Umum Badan Pengelola Latihan (BPL) HMI Cabang Banyuwangi (FOTO: Rizki Alfian/TIMES Indonesia)
Ad. Mahfud Wahib, Ketua Umum Badan Pengelola Latihan (BPL) HMI Cabang Banyuwangi (FOTO: Rizki Alfian/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – OPINI

Tidak banyak para kalangan muda yang tahu akan sebuah momen penting di Indonesia yang terjadi pada tanggal 15 januari 1974 atau yang lebih akrab dengan sebutan malapetaka lima belas januari (MALARI). Tepat pada hari ini peristiwa 45 tahun silam dapat dikatakan sebagai momen perlawanan terhebat dan perdana terhadap rezim orde baru yang digerakan oleh para kaum intelektual muda yang berujung pada bentrokan serta kerusuhan masal. 

Tak heran jika kejadian ini menjadi titik krusial munculnya wajah-wajah baru yang represif di rezim soeharto. Peristiwa itu sendiri terjadi karena ketidakpuasan mahasiswa atas kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat, apalagi marak terdengarnya isu masuknya pemodal asing dalam progam pembangunan nasional yang dicanangkan oleh presiden.

Gerakan dan protes mahasiswa pada saat itu sangat berapi-api dan kian menjadi karena datangnya Jan P. Pronk sebagai perwakilan pemodal dari Amerika Serikat pada tanggal 13 November 1973 dan memuncak pada tanggal 15 januari 1974 saat perdana menteri Jepang Tanaka Kakuei datang ke Indonesia.

Namun, terlepas dari peristiwa yang telah berlalu tersebut timbul satu pertanyaan besar setelah gerakan mahasiswa (reformasi 1998) yaitu “apakah masih ada kaum mahasiswa yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah  sekarang ini yang tidak pro rakyat”. Apakah masih terbuai dengan jalinan tali asmara lika-liku cinta, atau sibuk dengan binger-binger tugas kampus dan hiruk-pikuk modernisasi teknologi?

Pertanyaan semacam itu mari kita tanyakan pada diri kita masing-masing dan menjadi sindiran keras terhadap mahasiswa zaman now yang digadang-gadang sebagai ujung tombak perlawanan rakyat terhadap kebijakan pemerintah yang tak pro rakyat dan biasa menyebut dirinya sebagai agent of change (Agen Perubahan).

Seharusnya sebagai generasi penerus bangsa di era milenial seperti ini kaum intelektual muda memiliki tingkat intelektualitas tinggi yang bisa dikatakan mumpuni, terlebih lagi diera globalisasi seperti saat ini pola pikir idealis mahasiswa harus sama kritisnya atau bahkan harus melebihi para mahasiswa terdahulu. Terlebih lagi peran pemuda sangat berpengaruh penting terhadap perjalanan negara kita mulai zaman penjajahan, awal kemerdekaan sampai sekarang ini.

Namun realita yang terjadi hari ini, hanya segelintir mahasiswa yang masih peka terhadap jalanya setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah serta mengawasi berlangsungnya pemerintahan. Sementara mahasiswa lainnya sebagian besar hanya memikirkan urusan dirinya sendiri bahkan terkesan apatis.

Padahal, rakyat indonesia masih sangat membutuhkan peran dari kaum intelektual muda terhadap keadaan negeri yang masih kacau seperti saat ini. Mahasiswa harus memiliki idealisme untuk mengawal  bangsa ini untuk terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Allah Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa yang tercantum didalam sila-sila maupun butir-butir dari ideologi bangsa yaitu pancasila dengan cara melakukan pengawasan (agent of control) serta pembenahan terhadap sistem-sistem pemerintah.

Tentu kesadaran tersebut tidak dapat dibangun dengan mudah seperti membalikan telapak tangan, butuh proses yang panjang mulai dari menanamkan kepekaan-kepekaan terhadap lingkungan sosial hingga pengorganisasian mahasiswa dalam ruang lingkup umum sehingga sedikit demi sedikit timbul kesadaran dalam diri mahasiswa untuk kembali peduli terhadap persoalan bangsa ini. Mengutip kata-kata Tan Malaka “Bahwa idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh setiap pemuda”.

Maka dari itu, pemikiran idealis dan sikap kritis yang ada pada mahasiswa terhadap jalannya pemerintahan harus berupa aksi nyata yang jelas sebagai wujud kepedulian serta refleksi akan jiwa muda yang membara bukan hanya sekedar retorika dan sekedar wacana ataupun pemikiran yang hanya didiskusikan saja. Sebab segala bentuk kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap rakyat sekarang ini sudah tidak dapat dipengaruhi dengan cara kompromi ataupun negosiasi. Terlebih ditahun politik (PILEG dan PILPRES) seperti ini semua merasa mampu untuk menuntaskan permasalahan yang terjadi di bumi pertiwi ini, mereka memberikan sebuah konsep-konsep dan janji-janji kepada rakyat agar mendapatkan simpati demi terpilihnya mereka. Dan disinilah peran dari mahasiswa untuk membersihkan apa yang ternoda dan meluruskan apa yang bengkok.

Merujuk dari pidato the founding father (Bung Karno): “berikan aku seribu orang tua niscaya akan kucabut semeru dari akar-akarnya. Tetapi berikan aku sepuluh pemuda maka akan aku guncangkan dunia”.

Karenanya segala macam perubahan itu diawali oleh para pemuda, wabil khusus mahasiswa yang sekarang mempunyai gelar sebagai kaum intelektual muda.  Jangan sampai generasi pemuda sekarang ini malah termasuk ke dalam kriteria generasi gagal. Mahasiswa harus menjadi garda terdepan dalam mewujudkan masyarakat madani sekalipun ditengah-tengah arus modernisasi yang dahsyat. Mari kita menjadi salah satu pemuda dari sepuluh pemuda yang mengguncangkan dunia.

*Penulis adalah Ad Mahfud Wahib, Ketua Umum Badan Pengelola Latihan (BPL) HMI Cabang Banyuwangi

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan
Sumber : TIMES Banyuwangi

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES