Kopi TIMES

Mangrove Menjawab Tsunami

Senin, 31 Desember 2018 - 16:45 | 126.36k
Sanusi, Pranata Humas Madya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. (Grafis: TIMES Indonesia)
Sanusi, Pranata Humas Madya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTAGUNUNG Anak Krakatau masih menjadi topik yang menarik pagi hari ini. Tak ada angin dan awan hitam pertanda hujan. Petir-petir itu muncul bersamaan dengan keluarnya bebatuan dari perut gunung. Anak Krakatau meletus kembali, membelah bahkan memunculkan petir yang saling menyambar.

Meskipun di tahun 2015 pernah mengalami hal yang sama,  tetap saja ujian atau azab menjadi bahasan lain, di tempat lain, di dunia maya. Seolah tuhan telah berfirman langsung kepada satu pihak "ini azab", dan kepada yang lain mewahyukan "ini bencana biasa". Keduanya bergulat dengan berbagai pemahaman dan tentu suasana menjelang Pemilu 2019 sedikit menjadi pemicu pergulatan ini.

Padahal mungkin Tuhan dan alam ini tidak mengatakan itu. Segala hoax pun berhamburan dan menyambar bahkan bisa saja memecah keharmonisan antara saudara dan tetangga. Tetapi kenapa semua tetap menikmati perdebatan ini, perang di media sosial sudah dianggap hal biasa dan dianggap hal menarik.

"Maaf saya tidak tertarik" itulah kalimat sakti dari kami teruntuk fenomena perdebatan yang terjadi. Daripada turut berdebat tanpa solusi dan substansi kami memilih menulis opini.

Opini kami kali ini kembali tentang pentingnya konservasi dalam kehidupan.
Sepulangnya kami pekan lalu dari kampung halaman kami di Jawa Barat, berbeda dengan alat deteksi tsunami yang diberitakan ada yang rusak di beberapa daerah, sepanjang pantura kami melihat banyak pepohonan. Hal ini mengingatkan kami akan kolaborasi antara instansi tempat kami bekerja, LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) bersama Yayasan Kebun Raya Indonesia dan Pemkot Surabaya, yang tengah membangun Kebun Raya Mangrove di Surabaya.

Dalam dua dekade, pembangunan terus berlanjut. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Ke-3 tahun 2015 – 2019, pembangunan Kebun Raya Daerah kembali menjadi program unggulan nasional. Indonesia dengan 47 bioregionnya telah menargetkan minimal 47 kebun raya di seluruh Indonesia. Kebun Raya Mangrove merupakan pusat konservasi mangrove pertama di Indonesia bahkan Asia.

Selain sebagai tempat wisata pantai, juga sekaligus wisata lingkungan, kawasan konservasi di luar habitatnya ini menjadi salah satu penyejuk bagi kota Surabaya dan sekitarnya. Dengan banyaknya tanaman ini, telah mampu menurunkan temperatur udara hingga dua derajat di kotanya Sunan Ampel itu.

Selain itu, Mangrove merupakan tumbuhan yang berfungsi sebagai biofilter zat pencemar khususnya logam berat dan dapat juga dikembangkan menjadi pendukung berbagai jasa lingkungan seperti pengembangan produk-produk warga sekitar pantai. Pendidikan lingkungan juga merupakan fungsi Kebun Raya yang tidak kalah penting dalam memberikan pemahaman tentang manfaat konservasi baik secara in-situ maupun ex-situ.

Mangrove dan Tsunami
Dalam hal Tsunami, Mangrove telah terbukti dapat mengurangi dampak gelombang laut yang melewati pantai. Eko Yulianto dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, dalam sebuah diskusi di University Club (UC) UGM tahun lalu menyampaikan keberadaan Mangrove di sepanjang pantai Thailand Selatan pada saat di terjang gelombang tsunami tahun 2004 tidak sampai memunculkan banyak korban.

Fred Pearce, seorang Jurnalis dan pemerhati lingkungan hidup dalam salah satu artikelnya pada newscientist berjudul Mangrove Forest Planted as Tsunami Shield (2014) menyebutkan : “Mangroves in front of settlements resulted in 8 per cent fewer casualties during the tsunami”.

Setidaknya, hutan Mangrove dapat mengurangi derasnya gelombang laut yang menerpa dan memberi harapan atau peluang menghindari tsunami serta menambah ketenangan penduduk di suatu pemukiman masyarakat pesisir pantai.

Pearce mengutip sebuah hasil penelitian atas citra satelit yang dilakukan oleh Juan Carlos Laso Bayas dari Universitas Hohenheim, Jerman.

Hasil analisis menyimpulkan pemukiman di belakang hutan Mangrove bertahan paling baik pada saat terjadi bencana tsunami.  

Hasil serupa dilaporkan Dahdouh-Guebas (2006), sekitar 93% dari 418 perkampungan yang terlindung oleh hutan mangrove primer di sepanjang pantai Andaman selamat dari terjangan tsunami. Hutan mangrove primer mampu melindungi Pantai Sri Lanka dari tsunami tahun 2004.

Hal serupa dilaporkan Kathiresan dan Rejendran (2005) bahwa kematian dan kehilangan properti lebih rendah pada kawasan di belakang hutan mangrove. Selanjutnya, Kathiresan dan Rejendran (2005) menemukan hubungan terbalik antara korban jiwa dengan luas hutan mangrove di pantai tenggara India, semakin luas hutan mangrove semakin sedikit korban jiwanya.

Kecepatan gelombang tsunami berkurang akibat terhalang oleh tegakan hutan, dan volume air juga berkurang dan terpecah, sehingga gelombang yang mencapai daratan juga jauh berkurang.

Program rehabilitasi pesisir melalui penanaman Mangrove menjadi sangat penting. Sebagai negara dengan panjang garis pantai yang mencapai 95 ribu kilometer, Indonesia memiliki ekosistem Mangrove mencapai 3,49 juta hektare atau 23 persen dari keseluruhan luas ekosistem Mangrove dunia (lipi.go.id).

Sayangnya, walaupun kebijakan pemerintah tentang pemanfaatan  lahan  hutan  Mangrove  sering  dibicarakan   dalam   pertemuan ilmiah,  namun  sampai  saat  ini  masih  tetap terlihat  pemanfaatan  lahan  Mangrove  yang  semakin meningkat dan beragam.

Tanamlah Mangrove Lebih Banyak
Mari Tanam Mangrove di pantai-pantai nusantara. Mari bertanya kepada kita semua, bukan saling pandang dan menodongkan telunjuk ke kiri-kanan, atas-bawah. Jangan lagi bertanya siapa yang terbaik dalam berbuat diantara kita.

Mari hadapi segala permasalahan bangsa ini dengan senyum bersama serta bergerak dalam aksi nyata yang saling menguatkan pencapaian tujuan. Diam pun terkadang lebih baik dan sangat membantu daripada turut memperkeruh suasana.

Kemakmuran, keadilan sosial, dan kesetaraan akan terwujud dalam sebuah kekuatan besar menjawab berbagai tsunami bangsa. Apa yang kita bersama lakukan di 2019. Siapapun Presidennya atau  Kepala Daerah Anda atau Wakil Anda, mereka tetap adalah manusia bagian dari kita, yang bersama tinggal di daerah dengan banyak lempeng, gunung dan laut.

Kepada sesama, saudara sebangsa, setanah-air, apapun pandangan politik kita, hendaknya kita tidak melupakan kata bijak dalam hati kita. Mangrove di pantai-pantai ini tidak akan dapat ditanam dan langsung tumbuh begitu saja tanpa ada faktor alam.

Demikian pula cita-cita kebangsaan kita tidak akan terwujud tanpa ada cinta diantara kita. Tsunami tidak hanya jadi ujian tapi selanjutnya menjadi nilai raport tentang bagaimana sikap kita menghadapi persoalan-persoalan sosial lainnya di tahun 2019.  Tolong lebih menjaga sikap. (*)

* Penulis, Sanusi, Pranata Humas Madya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES