Peristiwa Nasional

Hari Buruh Migran Sedunia, Migrant Care Dorong Kedaulatan Buruh Migran

Selasa, 18 Desember 2018 - 19:56 | 40.31k
Peringatan Hari Buruh sedunia di Jakarta (FOTO: Ahmad Dafit/TIMES Indonesia)
Peringatan Hari Buruh sedunia di Jakarta (FOTO: Ahmad Dafit/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kerentanan yang dialami buruh migran Indonesia, terutama buruh migran perempuan, tak otomatis berhenti ketika pemerintah mengesahkan UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Karena, keadilan dinilai masih jauh panggang dari api. 

Kondisi demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, saat konfensi pers peringati Hari Buruh Sedunia, di Hotel Ibis Stayle Jakarta, Selasa (18/12/2018).

“Vonis ringan yang dijatuhkan kepada pelaku penganiayaan Suyantik, PRT migran yang dianiyaya majikannya di Malaysia, serta vonis bebas bagi pemilik PPTKIS yang memeperbudak ratusan perempuan Indonesia, di industri Pengelolaan Sarang Burung Walet MAXIM, di Malaysia adalah contoh betapa akses keadilan masih jauh bagi para buruh migran Indonesia," Wahyu Susilo.

Berbanding terbalik dengan pelaku penganiayaan, buruh migran Indonesia yang menghadapi proses hukum di luar negeri justru diabaikan hak-haknya.

Hal tersebut dapat dilihat dari Beberapa kasus, Susilo mencontohkan, diantaranya ada eksekusi mati terhadap Zaini Misrin dan Tuti Tursilawati di Arab Saudi.

“Kasus ini memperlihatkan Arab Saudi memang benar-benar kawasan yang tidak ramah bagi buruh migran," katanya.

Rendahnya penghargaan terhadap hak hidup manusia dan keangkuhan diplomasi Arab Saudi adalah buktinya.

"Mereka enggan menandatangani MCN (mandatary Consular Notification), suatu kesepakatan hukum yang mewajibakan negara bersangkutan untuk memberitahukan terlebih dahulu (sebelum proses hukum) apabila ada warga negara asing yang terkena kasus hukum di wilayahnya,” tambahnya.

Selain disebabkan oleh lemahnya penegakan UU perlindungan buruh migran, menurut Susilo, juga dikarenakan tata kelola migrasi yang eksploitatif, kultur patriarkis, ketimpangan sistem dunia (budaya dan hukum) yang tidak adil.

Sehingga menghasilkan kebijakan kebijakan yang diskriminatif serta menguatnya politik anti migran di berbagai negara yang mempersempit ruang gerak buruh migran.

“Bayangkan saja, dari puluhan aturan yang harus dibuat dalam kurun waktu dua tahun sejak diundangkan (11 Peratutan Pemerintah, 2 Peraturan Presiden, 12 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan dan 3 peraturan kepala Badan) baru satu Peraturan Menteri yang disahkan,” katanya.

Atas hal tersebut, kata Susilo, dalam mewujudkan buruh migran yang berdaulat dan bermartabat penting kiranya mendorong kebijakan di berbagai level. 

Di level internasional, melaksanakan segera kerangka kerja global yang di adobsi dari UN Global Compact for Save, Ordery and Regular Migration oleh 164 negara anggota PBB di Marokko. 

Di level nasional, UU No.18 Tahun 2017 yang telah disahkan itu segera dibuat peraturan-peranturan turunnya sehingga dapat di optimalkan peran dan fungsinya. 

Sedangkan di level daerah, inisiatif perlindungan buruh migran juga harus ditingkatkan, sebagaimana praktik baik yang diselenggarakan melalui DESBUMI Summit. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan
Sumber : TIMES Jakarta

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES